NUSANTARANEWS.CO – Serikat Pemuda Mahasiswa Nusantara (SPMN) dalam rangka menyambut Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September 2016 menyatakan bahwa, semangat menciptakan redistribusi lahan tingga angan-angan.
Sikap tersebut lahir atas refleksi terhadap Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) No. 5 Tahun 1960. Dimana isinya adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia terhadap tanahnya sendiri yang sekian lama telah porak-poranda oleh kolonialisme. Amanat penting yang terdapat dalam UU ini adalah redistribusi lahan eks-perkebunan kepada para petani penggarap untuk dikelola secara bersama sebagai sumber penghidupan mereka.
“Namun, semangat untuk menciptakan redistiribusi lahan tinggal angan-angan. Kenyataannya, hingga puluhan tahun kemudian dan pergantian berbagai rezim, amanat dari UU PA ini nyaris tidak pernah dilakukan. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Petani-petani kita, yang padahal merupakan sokoguru perekonomian, hari ini nasibnya makin terpinggirkan,” terang Ketua Nasional SPMN, Verly Montung, dalam keterangan tertulis yang diterima nusantaranews.co, Jumat (23/9).
Verly mengatakan, konflik agraria merupakan masalah yang tidak pernah terselesaikan. Data yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan dari tahun 2004 hingga 2015 tercatat 1.634 konflik agraria terjadi dengan luasan areal lebih dari 6 juta Ha dan mengancam lebih dari 1 juta rumah tangga.
“Apa yang bisa disimpulkan dari data-data tersebut? Pemerintah hari ini, adalah pemerintah yang sudah tidak lagi berorientasi kepada rakyat kecil. Namun lebih berorientasi kepada korporasi-korporasi besar yang menguasai modal,” cetusnya.
Dengan kata lain, lanjut Verly, pemerintah lebih berorientasi pada penumbuhan perusahaan-perusahaan pertanian yang bercorak pada penguasaan tanah berskala besar atas nama efiesiensi di bawah penguasaan para pemilik modal besar. Jadi, bukan berorientasi pada penumbuhan sektor pertanian yang bersumber dari penguatan kapasitas berproduksi rumah tangga petani.
“Orientasi pada penguasaan tanah berskala luas oleh perusahaan-perusahaan pertanian seperti itu, hanya mengakibatkan semakin cepat dan luasnya proletarisasi kaum tani Indonesia,” imbuh Verly.
Berdasarkan gambaran situasi dan permasalahan-permasalahan tersebut, Verly mencetuskan bahwa, SPMN dengan tegas, pertama mendesak Pemerintah Pusat untuk berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa agraria di Indonesia. Kedua, menolak segala bentuk kebijakan pertanahan yang tidak sejalan dengan prinsip, semangat dan amanat UU PA 5 Tahun 1960.
“Ketiga, mendesak dihentikannya Program Pembangunan yang merugikan rakyat, atau berada ditanah milik rakyat. Keempat, mendesak segera distribusikan tanah-tanah terlantar kepada para petani penggarap. Kelima, mendesak untuk segera menghentikan alih fungsi lahan yang merusak daya dukung lingkungan dan sektor pertanian,” paparnya.
Adapun yang keenam yakhi mendesak untuk segera dihentikan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum petani yang memperjuangkan hak-haknya. “Ketujuh, nasionalisasi aset asing yang menyangkut hajat hidup rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33. Dan kedelapan, wujudkan kedaulatan pangan Indonesia,” pungkasnya. (Sulaiman)