NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Rumah Amanah Rakyat, Ferdinand Hutahaean mengungkapkan, rasanya tak ingin pikiran kembali ke tahun kebodohan 2002 dimana Presiden RI kala itu Megawati Soekarno Putri dengan senyum mengembang indah saat berdansa dengan Presiden Cina Jiang Zemin, berujung pada di tanda tanganinya kontrak ekspor Gas LNG Tangguh ke Cina dengan harga super murah yaitu kisaran USD 2,4 / MMBTU flat selama 20 tahun kemudian paling tinggi USD 3,35 / MMBTU. Padahal kala itu semestinya LNG berada dikisaran harga diatas USD 5 / MMBTU.
Murahnya harga jual Gas Tangguh tersebut, kata Ferdinand, kemudian terus bergulir hingga berganti presiden. Pada era kepemimpinan SBY, Indonesia berusaha terus melakukan negoisasi dengan Cina agar merevisi harga gas LNG Tangguh. Dan pada akhirnya pihak Cina menyetujui kenaikan harga dari USD 2,4 s.d USD 3,3 / MMBTU naik menjadi USD 8 / MMBTU. Sebuah negoisasi yang berbuah manis dan dinikmati oleh rejim berkuasa sekarang.
“Begitulah sedikit kisah usang pembuka tentang Gas yang sekarang menjadi ramai meski gas yang diributkan bukan Gas Tangguh namun Liquified Petroleum Gas atau LPG. Program diversifikisi energi dengan melakukan konversi dari minyak tanah ke gas yang sukses dilakukan perintahan SBY pada tahun 2012 telah mampu menekan subsidi dan mendukung penggunaan energi ramah lingkungan. Selama bertahun-tahun rakyat menikmati program tersebut tanpa kesulitan mendapatkan gas,” ungkap Ferdinand dalam tulisannya “Nasib Rakyat di Negeri Langka”.
Sayangnya, lanjut dia, program tersebut kini terusik karena pemerintah gagal dan tidak mampu menjaga penerimaan negara untuk bisa terus memelihara rakyatnya dengan bentuk memberi subsidi kepada rakyat tidak mampu. Tiba-tiba saja LPG 3 kg yang bersubsidi seperti menghilang dari pasar. LPG 3 Kg Subsidi tiba-tiba langka di beberapa tempat. “Rakyat bingung dan hanya pasrah ikut mengantri pada operasi pasar Pertamina untuk menutupi kelangkaan. Rakyat bertanya tapi tak terjawab, rakyat resah karena harus kesulitan mendapatkan gas yang selama ini tidak pernah sulit ditemukan karena memang Pertamina sudah punya sistem yang baik terkait distribusi LPG ini hingga ke pelosok nusantara,” ujarnya.
Ia pun bertanya, lantas mengapa tiba-tiba terjadi kelangkaan? Apakah karena ekonomi rakyat meningkat tajam hingga makin rajin memasak dan butuh gas lebih banyak? Ataukah langka karena faktor cuaca seperti kata Waken ESDM Archandra Tahar? Padahal selama bertahun-tahun cuaca yang sama menemani Indonesia tapi tak mengakibatkan kelangkaan.
“Tampaknya hanya ada satu alasan dan jawaban atas kelangkaan ini, yaitu kebijakan pemerintah. Beban subsidi LPG 3 Kg yang saat ini rata-rata Rp.30 Trilliun lebih pertahun akan dikurangi dan dipangkas Pemerintah. Penyaluran gasnya pun akan di robah dari dijual terbuka menjadi penyaluran tertutup langsung kepada orang miskin sesuai data TNP2K. Maka tidak heran kalau akibatnya adalah LPG 3 kg tabung hijau akan berkurang banyak dari sekitar 58 juta tabung saat ini. Program ini direncanakan akan berlangsung tahun 2018,” urainya.
Dengan demikian, tambah Ferdinand, tentu pemerintah akan menyiapkan penggantinya yaitu LPG dengan tabung 5,5 kg dan 3 Kg non subsidi dengan tabung warna pink. Rakyat tidak boleh manja dengan subsidi, begitulah kira-kira pemikiran pemerintah. Sebuah kabinet yang memang bermazhab neo liberal anti subsidi sehingga subsidi di sektor energi semakin dicabuti dan dipangkas setelah beberapa waktu lalu subsidi Listrik dari sekitar 19 juta pelanggan 900 VA dicabut pemerintah.
“Begitulah nasib rakyat di negeri langka ini. Sebuah negeri yang langka dengan kebijakan pro rakyat. Negeri yang langka dengan subsidi, negeri yang langka dengan berbagai kebutuhan rakyat. Dan parahnya, langka dengan pemimpin yang berpikir kerakyatan,” ujarnya lagi mengakhiri.
Pewarta/Editor: Achmad S.