Opini

Mengapa Harus Peduli Palestina? Ini Jawaban Dina Sulaeman

NUSANTARANEWS.CO – Ada sebagian kalangan menganggap enteng langkah Trump. Menurut mereka, dunia sudah jenuh dengan isu Palestina; negara-negara sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Jadi dunia tidak akan peduli dengan masalah ini dan langkah Trump ini tidak akan memunculkan gejolak apa-apa.

Kalau benar demikian, maka itu, baiklah, saya akan jelaskan lagi (dan lagi), mengapa kita harus peduli Palestina?

Pertama, mari kita dengar dulu apa yang diceritakan John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man (ditulis tahun 1980-an, terbit 2004).. Menurut kesaksiannya, modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang.

Kata Perkins: —-Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.—–

Lalu siapakah pemilik Halliburton atau Bechtel yang disebut Perkins? Sebagian saham Halliburton dikuasai Soros, bisnismen Yahudi yang berperan penting dalam ambruknya perekonomian Asia (termasuk Indonesia, tentu saja) tahun 1997. Bechtel pun dimiliki oleh keluarga Yahudi Amerika. Ini baru dua di antara sekian banyak perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di seluruh dunia.

Anda juga bisa mulai mengecek siapa saja pemilik saham perusahaan-perusahaan transnasional yang mengeruk minyak dan barang-barang tambang kita. Coba google apa itu Big Oil. Mereka mengeruk minyak kita, kemudian dijual di pasar internasional, lalu kita harus beli dengan harga pasar. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan transnasional itu mengeruk kekayaan alam bangsa-bangsa di berbagai penjuru dunia.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

John Pilger dalam film dokumenternya The New Rulers of The World menyebutkan, sekelompok kecil orang ternyata lebih kaya dari seluruh orang di benua Afrika. Hanya dengan memiliki 200 perusahaan, ¼ perekonomian dunia sudah dapat dikuasai para pemodal. General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dari Denmark, Ford lebih kaya daripada Afrika Selatan.

Perusahaan-perusahaan kaya itu dipuji karena menanamkan investasi di negara-negara berkembang. Padahal yang terjadi, semua produk bermerek dibuat di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, nyaris seperti budak. Seperti dikatakan John Pilger, “Yang miskin semakin miskin sementara yang kaya semakin kaya luar biasa.”

Dalam film itu memang tidak disebut siapa orang-orang yang sangat kaya di dunia itu. Tapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang terkaya di dunia (tapi sebagiannya tidak muncul di list majalah Forbes, tentu saja) adalah pengusaha Yahudi. Lebih dari 90% media dunia dikuasai oleh enam perusahaan besar yang pemiliknya adalah Yahudi. Gilad Atzmon pernah menulis, “Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi.”

Tentu saja, sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi dan mereka menjadi donatur kampanye para politisi AS. Misalnya, salah satu donatur utama Trump adalah Sheldon Adelson (menyumbang lebih dari 100 juta USD). Para kandidat presiden AS akan sowan ke organisasi-organisasi lobby Yahudi pro-Israel, seperti AIPAC dan di sana mereka berpidato menjanjikan akan menjaga kepentingan Israel.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Inilah sebabnya pemerintah dan parlemen AS selalu mengeluarkan kebijakan yang pro-Israel. Perang-perang yang dilancarkan AS (dan ini tentu saja menguntungkan perusahaan produsen senjata) adalah demi Israel. Ini kesimpulan banyak pemikir AS sendiri, termasuk dua prof HI, Mearsheimer dan Walt. Artinya, rakyat AS pun sangat dirugikan karena akibat perang, jaminan sosial dan subsidi dikurangi.

Uang raksasa yang didapatkan orang-orang kaya Yahudi dari berbagai penjuru dunia itu, sebagiannya disumbangkan ke Israel. Dalam sebuah artikel di koran Haaretz dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial, sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari ‘tzedakah‘ (sedekah). Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah‘ sebagai sebuah kewajiban moral.

Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai negara dunia.

Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond‘ (berlian berdarah). Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.

Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia –dulu- termasuk pembelinya!). Gilad Atzmon pernah membahas tentang ‘Gaza’ di Brazil. Rupanya, ada kawasan kaum miskin di Brazil yang dinamai ‘Jalur Gaza’. Brazil adalah importir senjata terbesar Israel dan dengan senjata itu polisi Brazil menyerbu warganya di ‘Jalur Gaza’. Israel bahkan juga mendapatkan uang dari penjualan organ tubuh manusia.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor. Inilah yang membuat rezim Zionis Israel ‘hidup’ hingga hari ini, mampu melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.

Namun, meskipun ekonominya maju, orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmatinya. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60% perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar,” tulis Atzmon.

Karena itu tak heran bila di tengah sebagian warga Israel sendiri sudah muncul kesadaran untuk mengecam pemerintah mereka dan menyerukan perdamaian dengan bangsa Arab-Palestina.

Jadi, membela Palestina pada hakikatnya adalah membela diri (bangsa) sendiri. Hutang berat yang melilit kita hari ini adalah warisan hutang yang dibuat rezim Suharto (seperti ditulis di buku Perkins). Kita pun adalah korban dari tatanan ekonomi dunia yang tidak adil, yang diatur oleh para pebisnis global pro-Israel. Karena itu, pembelaan pada Palestina seharusnya dilakukan dalam kerangka ekonomi-politik internasional.

Atas dasar itu semua, Gilad Atzmon, seorang penulis Yahudi-Israel (tapi sudah ‘tobat’ dan saat ini tinggal di Inggris) pun menyatakan, “Kita semua adalah Palestina karena kita menghadapi musuh yang sama.”[]

Penulis: Dina Sulaeman
Source. Dina Sulaiman

Related Posts

1 of 16