NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah heran kubu Jokowi kerap memcibir isi pidato Prabowo Subianto, terutama terkait kesenjangan dan kepunahan sebuah negara. Menurutnya, pidato capres nomor urut 02 tersebut narasinya global.
“Di masyarakat awam, belum terlalu dipahami bahwa antara ketimpangan ekonomi dan negara punah ada hubungannya. Itulah sebabnya pidato Prabowo bukan membawa kajian yang serius, malah dicibir. Termasuk dari yang rada bisa mikir. Kecuali kalau semua sudah nggak mikir,” kata Fahri dikutip dari cuitannya di twitter, Jakarta, Selasa (18/12/2018).
“Narasi yang dibawa Prabowo tentang kesenjangan dan kepunahan negara menurut saya itu narasi global. Sudah disuarakan intelektual kelas dunia. Setidaknya ada 3 buku penting yang ditulis oleh para pakar pembangunan tentang betapa pentingnya dan relevannya isu itu. Capital in the 21st Century (Thomas Piketty), The Price of Inequality (Joseph E. Stiglitz) dan Why Nation Fail (Daron Acemoglu dan James Robinson). Ketiga buku ini mengulas secara teoris dan empiris kesenjangan sampai pada gagalnya sebuah negara,” sambungnya.
Fahri mengaku dirinya mulai menemukan akar ketimpangan yang cukup mengkhawatirkan. “Memang bangsa kita punya daya tahan. Tapi waktu bisa punya kehendak lain,” ucapnya.
“Demikianlah waktu dan sejarah mengajarkan kita, imperium, kerajaan dan negara datang silih berganti, bangkit dan tumbang oleh waktu. Salah satu sebabnya, seperti yang digambarkan oleh sebagian dari 3 penulis di atas adalah soal ketimpangan ekonomi yang menganga,” tambah dia.
Kata Fahri, Thomas Piketty adalah ekonom Prancis yang banyak sekali melakukan studi tentang ketimpangan ekonomi. Salah satu penyebab ketimpangan, katanya hampir di semua negara tingkat pengembalian modal selalu tumbuh lebih cepat 5 sampai 7 kali lipat dari pertumbuhan ekonominya.
Karena itu, pidato @prabowo adalah jalan keluar dan sekaligus katarsis bagi yg cemas bahwa kecemasan itu ada yang mewakili. Kita Harus memikirkan ini, kita harus atasi ini. Negara dalam ketimpangan adalah negara dalam ancaman kepunahan. #NegaraBisaPunah
— #AyoMoveOn2024 (@Fahrihamzah) December 18, 2018
Jadi, lanjutnya, faktor modal jauh lebih diuntungkan dari pada faktor produksi lain seperti tenaga kerja atau upah buruh. Apa lagi di Indonesia, upah buruh per tahun dipatok dan harus mengikuti besaran angka pertumbuhan ekonomi, tidak boleh lebih. Sedangkan keuntungan pemodal bisa naik 5-7 kali lipat dalam tahun yang sama. Makanya Indonesia banyak memiliki konglomerat yang masuk orang-orang terkaya dunia dan mereka menjadi elit ekonomi yang membangun kekuatan dan kendali dengan dengan dukungan elit politik.
Kemudian, kata dia lagi, Global Wealth Report merilis 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% kekayaan penduduk. Dan 10% orang terkayanya menguasasi 75,3% kekayaan total penduduk Indonesia.
“Sehingga ketika Prabowo mengatakan ekonomi kita di kuasasi segelitir elit, itu sangat masuk akal dan gejala ini bukan hanya terjadi di Indonesia, ini sudah menjadi isu dan permasalahan global. Sudah banyak elit dan para intelektual bicara tentang ini,” lanjutnya.
“Sekali lagi, suara Pak Prabowo di Indonesia sangat relevan dan sangat mewakili suatu kecemasan. Beliau adalah anak begawan ekonomi Prof Sumitro Djoyohadikusumo dan keluarga yang sangat melek dengan ekonomi suatu negara,” kata Fahri lagi.
(gdn/wbn)
Editor: Gendon Wibisono