Opini

Elite Politik Kian Menggelitik Publik

elite politik, menggelitik publik, oposisi, nurul fatta, nusantaranews
Presiden Jokowi dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto saat menyampaikan keterangan kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). (Foto: Setkab/OJI)

Elite Politik Kian Menggelitik Publik. Pertemuan elite-elite parpol makin intensif menjelang pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Hal itu juga ditunjukkan oleh partai-partai oposisi yang kian merapat ke koalisi Jokowi-Amin. Jika pertemuan itu lebih dari sekadar silaturahmi, lantas siapakah yang akan mengisi kekosongan keranjang oposisi?

Berturut-turut kita saksikan pertemuan elit-elit parpol, sejak terealisasinya pertemuan Presiden Joko Widodo dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono yang katanya sudah lama direncanakan. Meskipun belum jelas hasil dari pertemuan Jokowi-Yudhoyono, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syariefuddin Hasan mengatakan terkait penyusunan kabinet, jika diminta, Demokrat telah menyiapkan kadernya untuk menduduki salah satu kursi menteri.

Baca juga: Penggerusan Oposisi

Berlanjut pada hari berikutnya, Presiden Joko Widodo bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Negara. Dalam peremuan tersebut, pernyataan tegas ditunjukkan oleh Prabowo terkait kesiapan Gerindra membantu dan memberikan gagasannya apabila diperlukan. Kalau umpamanya kami tidak masuk kabinet, kami tetap akan loyal di luar sebagai, apa istilahnya, check and balance, sebagai penyeimbang. Kan, kita di Indonesia tidak mengenal istilah oposisi, kata Prabowo yang kemudian disambut Jokowi dengan jawaban, enggih.

Dua hari kemudian, Prabowo menemui Surya Paloh di kediaman Paloh di Permata Hijau, Jakarta Selatan. Perjalanan Prabowo belum selesai, dilanjutkan pada hari berikutnya, ia menemui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Pada hari yang sama, Presiden Jokowi juga bertemu dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Kita melihat dalam pertemuan tersebut, selain memperbaiki komunikasi politik di tingkat elite-elite parpol pascapemilu, satu sisi juga menunjukkan adanya sinyal bergabungnya partai-partai yang selama ini berseberangan dengan pemerintah. Analisa positif penulis, hal itu dilakukan untuk menyatukan semua elemen masyarakat serta mengenyampingkan perbedaan-perbedaan mendasar untuk masa depan Indonesia lebih maju.

Relevan dengan tulisan Gde Dwitya. Dwitya menggambarkan dua skenario yang salah satunya adalah konsosiasi. Dia mengutip analisis ilmuan politik Arend Lijphart (1963) yang membahas kemungkinan posisitif dari pembagian kekuasaan dan kartelisasi partai. Menurut Lijphart (Dwitya, Esai) dalam sebuah negara yang masyarakatnya sangat terfragmentasi, elite politik dapat sengaja membuat koalisi besar dengan tujuan menstabilkan sistem.

Baca juga: LP3ES Sebut Absennya Sipil yang Kritis Hingga Hilangnya Oposisi Adalah Masalah Krusial

Sementara bila Gerindra, Demokrat dan PAN benar-benar masuk ke dalam koalisi yang makin gendut itu, tentu posisi PKS yang berada di luar pemerintahan tidak akan mampu menjalankan mekanisme kontrol secara horizontal pada kekuatan pemerintah. Kembali pertanyaan saya, siapakah yang akan memperkuat oposisi?
Harapan selanjutnya adalah peran civil society bersama-sama elemen masyarakat melakukan mekanisme kontrol secara vertikal. Sebab melihat perjalanan sejarahnya, civil society berperan penting dalam melakukan tindakan-tindakan revolusioner.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah bangsa ini, civil society yang kuat ditunjukkan oleh gerakan kelompok pemuda khususnya mahasiswa, yang terakhir telah melahirkan sejarah reformasi dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 itu. Kemudian gerakan persatuan yang kuat dari kalangan mahasiswa itu, kembali ditunjukkan baru-baru ini di berbagai daerah dengan tuntutan pencabutan RUU yang dianggap ngawur.

Selain mahasiswa, perlu terbentuknya kaum buruh, yang masih terfragmentasi, menjadi satu kesatuan sebagai civil society yang kuat pula. Akan semakin kuat lagi dalam menjalankan proses controlling secara vertikal ini, jika elemen-elemen kelas menengah baik individu maupun kelompok yang mempunyai kemandirian secara ekonomi politik seperti kaum profesional, intelektual, akademisi, seniman, jurnalis, pengacara dan sebagainya.

Sebab, menurut Suroto Eko dalam kata pengantarnya dalam buku Developing Democracy Toward Consolidation: Larry Diamond versi terjemahan, kelompok-kelompok di atas dinilai sebagai kekuatan utama demokrasi. Sebagaimana di dalam demokrasi perlu adanya proses check and balance. Hal itu diperkuat oleh Barington Moore yang menghubungkan kelas menengah dan demokrasi, dengan melontarkan diktum terkenal bahwa tidak ada borjuis, tidak ada demokrasi.

Baca juga: Mardani Ali Pastikan PKS Istiqomah Jadi Oposisi Jokowi-Ma’ruf

Jika itu terjadi, tinggal kita lihat bagaimana dialektika civil society terhadap negara dalam menjadi penyeimbang dan pengontrol kualitas kebijakan pemerintah.

Mengenai civil society, menurut Hadiz (2005) bahwa ia mencatat ada beberapa asumsi utama yaitu adanya dikotomi antara civil society dan negara, matangnya ekonomi pasar akan bertendensi membuat civil society lebih kuat, kontestasi antara civil society dan negara ini akan berakibat pada mundurnya negara sehingga demokrasi dapat tumbuh, elemen penting dalam civil society itu adalah kelas menengah dan borjuis, dan gelobalisasi membuat hal itu semakin cepat. Bila ditinjau dari literatur di atas dengan fenomena yang belakangan terjadi, gelombang besar gerakan mahasiswa dan masyarakat, maka seharusnya civil society lebih
kuat dalam mengawal kebijakan pemerintah sampai 5 tahun mendatang.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Namun pertanyan selanjutnya, civil society yang manakah akan konsisten mempertahankan gerakan dan kekuatannya? Sementara selain elite-elite parpol yang bersatu, ada pula civil society dan kelompok-kelompok yang tergabung dalam Aliansi Relawan Jokowi-Amin (yang terdiri dari kelangan kelas menengah dan masyarakat umum), serta terbentuknya aparat keamanan negara yang solid, dengan satu alasan klasiknya mengawal pertahanan dan keamanan negara. Dimana mereka-mereka belakangan ini sering menunjukkan sikap anti-kritiknya kepada kelompok yang mengkritisi pemerintah. Artinya posisi pemerintah ke depan
benar-benar kuat. Adakah civil society yang lebih kuat dari negara? Atau malah menjadi penonton kesewenang-wenangan para penguasa?

Penulis: Nurul Fatta, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta

 

 

 

 

Catatan Redaksi: Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak mewakili redaksi nusnataranews.co

Related Posts

1 of 3,051