Oleh: Yanwi Mudrikah*
NUSANTARANEWS.CO – Sejak kecil, Ibu selalu menceritakan kisah-kisah lucu dan mengharukan bahkan menggetarkan hati. lebih tepatnya dongeng dan cerita rakyat dari berbagai daerah. Biasanya ketika beliau akan menidurkan anaknya (bahasa Jawa : ngeloni) selalu bercerita dan tidak lupa mendoakan keselamatan anak dan keluarga kecilnya sampai esok bisa bangun dengan keadaan sehat, selamat dunia-akhirat. Begitulah Ibu yang kami kenal dari kecil hingga sekarang, yang kerap meluangkan waktu untuk anak-anaknya. Sekecil apapun pengorbanan seorang Ibu tidak akan bisa diganti oleh kita (sebagai anak).
Masuk kelas 4 (empat) Sekolah Dasar, saya ada PR (pekerjaan rumah) dari bapak guru untuk membuat puisi lalu dibaca di kelas. Nah, akhirnya saya berdiskusi dengan Ibu perihal PR tersebut. Karenanya, saya dibuatkan puisi oleh beliau, begini bunyinya :
Adikku
adikku yang lucu
matanya lebar
pipinya merah berseri
mawar merah waktu pagi
kubelai rambutnya
kuusap tangannya
diberi nama Akhyar Musofa
adikku bunga bangsa
jadilah anak berjasa
darmakradenan 1998
Baca Juga:
Puisi di atas adalah puisi yang ditujukan untuk adikku yang bernama “Akhyar Musofa”. Ketika itu adikku belum lama lahir (baru hitungan hari). Akhirnya, jadilah puisi demikian. Dan puisi berjudul “Adikku” merupakan doa seorang Ibu kepada anaknya yang terakhir (laki-laki) dan paling ganteng sendiri. Kelahiran adik saya disambut baik oleh keluarga kami. Terutama bapak yang sudah lama menanti-natikan anak laki-laki.
Sehingga dari rentetan peristiwa tersebut membuat saya ingin menangis dan menimbulkan rasa penasaran pada setiap kejadian yang saya alami semasa kecil. Tentu saja dalam otak saya menjadi lahir tanda tanya-tanda tanya. Semacam peristiwa-peristiwa kecil yang harus saya telusuri dan amati. Siapa, kenapa, dimana, bagaimana, mengapa dan seterusnya. Rasa penasaran inilah yang kemudian saya rawat menjadi puisi sederhana.
Kitab-kitab Bapak dan Bacaan Kakak Perempuan
Keseharian bapak saya mengajar mengaji di mushola depan rumah dan guru agama (Islam) di sebuah Sekolah Dasar (desa : Paningkaban dan Semingkir). Sehingga, tidak sedikit kitab-kitab yang berbaris rapi di rak buku dan juga kisah-kisah para nabi. Berbeda dengan koleksi kakak-kakak perempuan saya (mbak Lutfi dan mbak Maria), yang lebih fokus ke media cetak (koran, majalah), majalah musik, majalah remaja, novel remaja, dan majalah bobo. Dari situlah saya mulai menyukai bacaan fiksi dan non-fiksi.
Saya mulai mengkliping beberapa puisi yang ada di majalah ‘Mop’ milik kakak perempuan saya (mbak Lutfi). Dan kemudian, saya bukukan jadi satu (tulisan tangan) untuk dibaca setiap waktu. Kegiatan demikian membuat saya menyukai puisi dan ingin menulis di Mading sekolah. Akhirnya, bertemulah saya dengan Guru bahasa Indonesia (Bu Ning Wahyuni) selaku pembimbing Mading di SMP Negeri 2 Ajibarang. Ketidaksengajaan ini menjadi wasilah ilmu. Lalu, Kami pun berbincang-bincang mengenai puisi dan mading sekolah. Masuklah saya di dalam organisasi itu. Saya dan kawan-kawan mading (selanjutnya disebut espero) mulai menulis dan memajang tulisan di kolom ‘Cucur Hati’ (curahan-curahan hati).
Lulus dari espero, saya sempat mendaftar di SMA Negeri 1 Ajibarang (SMA Pancoer) ditemani bapak. Tuhan berkehendak lain, bahwasanya aku tidak diperkenankan sekolah di SMA Pancoer, sebab nem saya kurang beberapa centi (1 koma sekian). Dalam hitungan hari saya dan bapak pun meluncur ke kota mendoan (Purwokerto). Entah bagaimana ceritanya saya dinasehati bapak untuk mendaftar di MAN 1 Purwokerto (sekarang MAN 1 Banyumas).
Sebetulnya ada kisah yang menggelikan tetapi akan saya sampaikan di lain kesempatan. Terimakasih.
Salam,
(Yanwi Mudrikah)
anwi Mudrikah, Penyair ini dilahirkan di desa Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, 12 Agustus 1989. Cerpennya terdokumentasi dalam antologi Bukan Perempuan (STAIN Press, 2010). Sepuluh sajaknya terdokumentasi dalam antologi Pilar Penyair (Obsesi Press, 2011); duapuluh sajaknya terdokumentasi dalam antologi Pilarisme (Obsesi Press, 2012); dan Sembilan sajaknya terdokumentasi dalam antologi Pilar Puisi (Penerbit STAIN Press, Purwokerto, 2013).
Rahim Embun buku puisi tunggalnya, menghimpun 64 judul sajak, dengan kata pengantar Hanna Fransisca, dan kata penutup Dimas Indianto S (Penerbit Mitra Media, Yogyakarta, 2013). Menjadi Tulang Rusukmu, buku puisi keduanya yang menghimpun 41 judul sajak, dengan kata pengantar Nia Samsihono, dan Catatan Penutup Wahyu Budiantoro (STIMIK-AMIKOM Press, Purwokerto, 2016).
Penyair ini lulus Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I.) dari Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan lulus Magister Pendidikan (M.Pd.) dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).
Penyair ini juga berprofesi sebagai Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Diponegoro Purwokerto, sebagai Dosen Bahasa Indonesia di IAIN Purwokerto, dan sebagai Dosen Agama Islam di STIMIK-AMIKOM Purwokerto. E-mail: [email protected].
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].