NUSANTARANEWS.CO – Momentum Kebangkitan Nasional yang ke-108 di tahun 2018 ini dan diinspirasi oleh lahirnya sebuah organisasi pergerakan pribumi Budi Oetomo seharusnya menjadi semangat pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membenahi berbagai kebijakan ekonomi melalui gerakan self help (menolong diri sendiri) demi kemandirian ekonomi nasional. Sayangnya, kepedulian pemerintah saat ini pada pembangunan ekonomi konstitusi belum tampak, bahkan justru deviatif.
Sebagai contoh, adalah kebijakan pembiayaan sektor UMKM dan Koperasi yang porsinya masih kecil, serta kebijakan penguasaan negara atas sektor energi dengan akan berakhirnya kontrak pengelolaan blok minyak Rokan oleh Chevron. Hal ini penting menjadi perhatian serius bagi pemangku kepentingan (stakeholders), sebab urusan pangan dan energi merupakan dua di antara tiga isu utama yang menjadi perhatian dunia yaitu pangan, energi dan air (food, energy and water/FEW).
Baca juga: Tiga Sukses Semu Ekonomi Jokowi
Kedua isu sektoral dan entitas ekonomi itu adalah perintah konstitusi pasal 33 UUD 1945 yang menjadi penguasaan negara serta soko guru bagi perekonomian nasional.
Alokasi kredit perbankan
Berdasarkan data dan informasi yang telah dipublikasikan secara luas bahwa selama 3 tahun terakhir pemerintah telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 5 persen lebih per tahun. Walaupun secara faktual tumbuh signifikan, masih terdapat ketimpangan kebijakan alokasi kredit perbankan antara kelompok usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dengan kelompok bisnis korporasi yang semakin mendominasi perekonomian nasional di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perlu konsolidasi bagi entitas ekonomi konstitusi dalam menghadapi ketimpangan ekonomi di Indonesia terkini agar tak kembali menjadi sumber petaka keuangan dan politik sebagaimana yang terjadi di masa lalu.
Baca juga: AEPI: Kebijakan Ekonomi Jokowi Akan Semakin Memperlebar Ketimpangan
Perbaikan kebijakan alokatif dan distributif atas entitas ekonomi konstitusi ini harus menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama untuk cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dan sesuai janji Trisakti dan Nawacita, maka kebijakan pemihakan ekonomi (economic affirmative action) harus diarahkan setidaknya pada entitas ekonomi dan bisnis yang diperintahkan oleh konstitusi pasal 33 UUD 1945 yaitu BUMN dan Koperasi. Agak aneh rasanya, jika di negara-negara lain seperti Canada, Denmark, Swiss, Jepang, Korea Selatan justru entitas bisnis koperasi yang berskala besar.
Tingkat deviatif kebijakan pemihakan kredit perbankan terlihat pada tahun 2017 berdasarkan data Bank Indonesia (BI) atas pertumbuhan total alokasi kredit yang sebesar 8,1 persen. Dari 8,1 persen itu, alokasi pembiayaan perbankan didomimasi untuk pasar modal sebesar 35 persen yaitu hanya untuk korporasi yang menguasai pasar modal tersebut.
Sedangkan alokasi kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan menengah (data Juli 2017) adalah sebesar Rp 884,63 triliun atau hanya 19,63 persen dari total kredit yang disalurkan perbankan yang mencapai sebesar Rp 4.507 triliun. Di lain pihak, tunggakan pinjaman (Non Performing Loan/NPL) dari UMKM ini hanya 4,64 persen sedangkan NPL kredit usaha menengah dan korporasi mencapai 5,6 persen. Bahkan NPL kredit usaha mikro hanya 2,56 persen atau di bawah rata-rata NPL nasional yang sebesar 3 persen.
Baca juga: LMND Sebut Kebijakan Ekonomi Jokowi Rugikan Rakyat Kecil
Alokasi kredit terbesar pun disalurkan pada skala usaha menengah sebesar 46,49 persen, alokasi untuk usaha menengah 30,24 persen dan usaha kecil hanya sebesar 23,27 persen saja. Berbagai kebijakan paket ekonomi yang telah diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo ternyata implementasi kebijakannya tak memihak pada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Padahal entitas bisnis dengan skala usaha mikro dan kecil ini paling kecil persentase tunggakan pinjamannya. Seharusnya alokasi pembiayaan kredit perbankan untuk UMKM ini diperbesar sebagai penghargaan (reward) kedisiplinan pengembalian pinjaman.
Menyoal Permen ESDM
Pertamina sebagai BUMN yang penting bagi penerimaan negara dan mengelola cabang produksi yang penting bagi kemakmuran orang banyak juga dihadapkan pada kebijakan yang tidak memihak bagi tegaknya soko guru perekonomian nasional. Ketidakonsistenan dan ketidakteguhan (uncommited) pemerintah menjalankan Perpres Nomor 191 Tahun 2014 yang dikenal sebagai kebijakan satu harga BBM ini justru memperburuk kinerja Pertamina dalam jangka panjang. Deviasi antara kebijakan dan prakteknya menunjukkan lemahnya posisi pemerintah dalam tawar-menawar (bargaining) dengan korporasi yang berkepentingan menguasai sektor minyak dan gas sebagai cabang produksi penting bagi negara.
Baca juga: 12 Paket Ekonomi Jokowi Belum Realisasi Maksimal
Artinya, pemerintah sangat mudah diintervensi oleh kepentingan pihak tertentu yang dibuktikan oleh mudah berubahnya kebijakan strategis bidang energi, terutama yang mampu dikelola BUMN pada umumnya, dan khususnya Pertamina.
Kebijakan terbaru yang tak berpihak ekonomi konstitusi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri tentang pengelolaan Blok Rokan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang sangat mengusik perasaan nasionalisme anak bangsa. Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018 yang disiapkan untuk menghadapi akan berakhirnya kontrak karya pengelolaan Blok Rokan oleh Chevron jelas keputusan yang melanggar konstitusi secara absolut.
Terkesan sekali Kementerian ESDM mengabaikan prestasi kinerja Pertamina mengelola kebijakan BBM Satu Harga selama 3 tahun ini. Apalagi berdasarkan publikasi yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktur Jenderal Anggaran, Askolani di bulan Mei 2018, bahwa penerimaan negara dari sektor Minyak dan Gas meningkat sebesar 34,3 triliun dibanding Tahun 2017 lalu. Jika pemerintah melalui Kementerian ESDM tetap menerima proposal Chevron, maka Menteri ESDM melalui Permen Nomor 23 Tahun 2018 secara nyata dan terang-terangan melakukan pelanggaran atas konstitusi.
Oleh karena itu, Presiden diharapkan dapat memberikan perhatian yang serius atas permasalahan Blok Rokan ini untuk kepentingan bangsa dan negara di masa depan, terutama dalam mengatasi defisit APBN. Deviasi kebijakan pro kemandirian ekonomi bangsa (pro ekonomi konstitusi) dengan realisasi pembiayaan UMKM oleh kredit perbankan dan kebijakan Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018 yang memberi peluang penguasaan Blok Rokan pada Chevron jelas bukan pemihakan pada pengembangan ekonomi untuk kemakmuran orang banyak dan akan semakin memperlemah dan membuat ketergantungan keuangan negara pada utang luar negeri. Sebab potensi penerimaan negara dari minyak dan gas tak seluruhnya mengisi pundi-pundi keuangan negara karena harus dibagi porsinya dengan pihak asing.
Baca juga: INDEF: Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Mandul
Bahkan peluang Pertamina mengerjakan proyek sektor hulu secara mandiri melalui penguasaan Blok Rokan agar dapat memberikan harga BBM yang layak bagi masyarakat konsumen diamputasi oleh Permen ESDM ini.
Mungkinkah janji politik Trisakti dan Nawacita dapat terealisasi dengan posisi ketimpangan alokasi kredit perbankan untuk UMKM dan penyimpangan Permen ESDM atas pengelolaan Blok Migas Rokan yang akan diberikan pada korporasi Chevron (bukan negara) tersebut? Sebaiknyalah pengelolaan Blok Rokan menggunakan konsepsi penguasaan negara yang dulu pernah dijalankan saat mengambil alih BUMN Inalum dari NAA Jepang.
Pemihakan pada UMKM dengan kebijakan alokasi kredit perbankan yang lebih besar di satu sisi, dan pengelolaan Blok Rokan yang mutlak diberikan sepenuhnya pada Pertamina di sisi yang lain sebagai entitas ekonomi konstitusi tanpa reserve apapun harus diberikan atas kinerja masing-masingnya sehingga kebangkitan dan kemandirian ekonomi nasional terwujud.
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi