Budaya / SeniCerpen

CAPPUCCINO DAN TUNA SANDWICH

Cerpen: Agus Hiplunudin

(1)

Alunan musik country diiringi lagu yang dilantunkan penyanyi legendaris, Iwan Fals. Mampu menyapa jiwa Mustafa, tubunya yang telah ringkih dirasakannya muda kembali. Tampak, Mustafa memejamkan pasang matanya, dan punggungnya ia sandarkan ke kursi kafe itu, ia kembali membuka kelopak matanya ketika seorang pramusaji cantik mengantarkan pesanannya, “silakan dinikmati Pak,” katanya sambil meletakkan segelas cappuccino dan sepiring tuna sandwich di atas meja, hadapan Mustafa, “terima kasih,” balas Mustafa sambil menyunggingkang senyum keriputnya, “sama-sama,” lirihnya dan membalas senyum Mustafa, setelah itu Mustafa kembali sendiri.

(2)

Mustafa menghela napas, dan mata cekungnya, karena usia senja—lagi dan lagi dilirikan, memperhatikan pramusaji yang menghidangkan pesanannya barusan.

“Dasar tua-tua keladi. Kakek lupa diumur—mata julingnya tetap liar ketika melihat perempuan berjidat licin,” bisik ibu muda pada suaminya yang sama mudanya.

Setelah menyeruput beberapa seruputan cappuccino dan menyicipi beberapa gigitan tuna sandwich Mustafa mengangkat tubuhnya dan menghampiri pramusaji tadi.

Kata Mustafa; “Maaf nona. Bolehkah saya mengganggumu sebentar?” jawabnya; “silakankan Pak! Ada yang dapat saya bantu?” Dan pramusaji itu berdiri, kemudian mereka enyah dari keramaian, pergi ke pojok yang sunyi di sekitar kafe itu.

“Tua bangka itu mau ngapain?” bisik salah-satu pemudi pada teman muda-mudinya—yang duduk melingkar dalam kafe, dan  timpal pemuda sebelahnya;  “Ah, kau! Kayak gak tahu kelakuan lelaki ujur berduit, zaman sekarang ini. Bro, tubuh boleh bungkuk dan umur boleh tua. Tapi, naluri dan nafsu tetap muda. Paling banter dua ronde—langsung ngos-ngosan. Setelah itu. Barulah ia tahu rasa dan sadar diumur.” Pembicaraan demikian disambut tawa lepas mereka—ciri khas manusia muda merdeka.

(3)

Tiap malam minggu, Mustafa mendatangi kafe itu, memesan cappuccino dan tuna sandwich serta yang menghidangkannya selalu pramusaji yang sama—seakan antara mereka telah terjalin sebuah kesepakatan.

Suatu ketika di pojok kafe yang sepi itu. Mustafa duduk bersandar di kursi. Dan pramusaji cantik rupa menemuinya dengan air muka gembira, yang selalu terpahat dari sungging pasang bibirnya dan lekuk lesung pipinya yang khas dan menawan.

Elisa, nama asli pramusaji tersebut. Ia tak menghiraukan pesan singkat dari Juna manager kafe itu—yang menyuruhnya tuk segera melayani pelanggan lain. Namun, Elisa tak bergeming dari tempat duduknya, ia menemani pria tua, Mustafa.

Pesan singkat dari Juna ke Elisa, kini bukan lagi bernada perintah seorang atasan pada bawahannya. Melainkan, bernada cemburu layaknya seorang pemuda pada perempuan, kekasihnya. Namun, Elisa tetap mengacuhkannya.

Tengah malam, Mustafa baru pergi dari kafe itu. Juna datang memburu, menghampiri Elisa. Namun, Elisa acuh tak acuh, dan karenya Juna menyuruh Elisa menemunya di meja kerja pribadinya. Tanya Juna; “Elisa siapakah tua bangka itu??”

Jawab Elisa; “Jangan bicara lancang seperti itu padanya!”

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Dengan geram Juna bicara; “Elisa, saya tak mengerti cara kau berpikir. Perempuan secantik kau, ternyata cintamu digadaikan pada seorang bandot!”

“Tutup mulutmu. Kau tak berhak berkata seperti itu padaku. Aku bukan istrimu, bukan pula kekasihmu. Entah dengan cara apa lagi aku menjelaskan padamu; bahwa aku tak mencintaimu, walau setetes, dan hubungan kita tak lebih dari sebatas hubungan kerja—seorang manager terhadap bawahannya,” kata Elisa sambil tersedan, dan ia enyah—dari meja kerja Juna, menuju kamar mandi, barangkali tuk membasuh mukanya, tuk sekedar menyembunyikan bekas tangisnya.

“Elisa tapi kau tak profesional, menyambi cinta murahan pada saat jam kerja,” teriak Juna sembari membenting buku laporan yang tergeletak di atas meja kerjanya, sedangkan Elisa tak lagi duduk di depannya.

(4)

Malam minggu berikutnya, Mustafa kembali bertandang ke kafe yang sama, cappuccino dan tuna sandwich pun segera terhidang di meja, dihidangkan pramusaji cantik bernama Elisa. Mustafa dengan ditemana Elisa. Dan setelah Mustafa menyeruput beberapa seruputan cappuccino dan beberapa kunyahan tuna sandwich. Mereka pun berjalan sejajar beriring mesra menuju keremangan pojok kafe itu, seluruh pasang mata pun mengikuti jejak langkah pasangan ganjil tersebut—di mana perempuannya muda belia, sedangkan lelakinya tua renta danmereka duduk berhadap-hadapan tanpa canggung di pojok sana.

Juna, yang nampak gundah sedari tadi, semakin nyata kegundahannya, karena pasang matanya melihat; lelaki tua itu, telapak tangan kanannya mengenggam mesra telapak tangan kiri Elisa, sedangkan telapak tangan kirinya mengenggam mesra telapak tangan kanan Elisa.

Setelah sekian lama. Tampak dari keremangan, Elisa menangis dan Mustafa menyeka air mata Elisa dengan sapu tangannya.

Bisik seorang perempuan muda pada seorang om-om; “Om, barangkali perempuan itu hamil diluar nikah ya? Dan ia minta pertanggungjawaban, agar lelaki tua itu menikahinya.”Om-om itu hanya tersenyum dan membenamkan muka pasangannya ke dadanya yang bidang.

Perempuan itu menggelinjang dan merapatkan bibirnya ke telinga om-om itu; “Om, bila aku hamil apakah, Om akan bertanggungjawab?” bisiknya.

“Tentu,” jawabnya, sambil celingukang, dan wajah om-om itu nampak risih, sebab ia kuatir istri atau keluarga istrinya melihat aksi keserongannya tersebut.

“Elisa, anakku. Tahukah engkau cappuccino itu merupakan minuman favorit ibumu dan tuna sandwich merupakan makanan paling disukainya?” kata Mustafa pada Elisa.

“Ibu tak pernah berkata padaku; bahwa cappuccino dan tuna sandwich merupakan minuman dan makanan yang paling disukainya. Namun, ia tak pernah putus-putusnya bicara padaku, bahwa ia selalu merindukan lelaki yang selalu membawanya ke kafe dan membelikan cappuccino dan tuna sandwich teruntuknya di sana, selagi Ibu masih muda dan perawan,” kata Elisa dalam sedan tertahankan.

Hening sejenak. Kemudian Elisa kembali menyambung kata-katanya itu; “ketika aku bertanya pada Ibu; ‘siapakah lelaki itu?’ Ibu langsung diam membisu hanya air matanya saja yang menggenangi dua bilah pipi keriputnya. Dan aku tak berani melanjutkan tanyaku itu. Sungguh. Aku pernah marah-marah pada Ibu, sebab dirinya tak pernah buka mulut—membeberkan tentang ayahku yang sejati. Dan kini aku baru tahu, bahwa ayahku adalah pria tua yang selalu memesan cappuccino dan tuna sandwich di kafe tempatku bekerja. Jujur, hal yang paling menyedihkanku; ternyata ayahku tak lain adalah makhluk egois yang tak punya hati nurani, terbuki dirinya memesan cappuccino dan tuna sandwich hanya untuk dirinya sendiri. tidak membagikannya pada anak dan istrinya yang nyaris kelaparan karena kepengecutannya itu!”

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Bukan. Bukan maksud hati Ayah, mengabaikan ibumu dan engkau, anakku. Sungguh!” lirih Mustafa.

“Ayah. Berhentilah mengelak! Sebab nyatanya engkau telah mencapakan aku dan Ibu!” sendu suara Elisa.

“Dengar kata-kata ayahmu, sayangku.”

Sejurus hening. Dan Mustafa mulai berkisah, mengulas masa lalunya; “aku dipertemukan dengan Kapor—gadis desa yang anggun dan jelita, ketika diriku sedang mengabdi—mengamalkan ilmu kedokteranku di sebuah desa terpencil. Aku dan Kapor, gadis desa itu. Teseret kedalam indahnya cinta asmara, aku menikahinya tanpa sepengetahuan ibu dan ayahku—sebab aku tahu mereka tak akan merestui hubungan kami, dan mereka telah memiliki seorang gadis pilihan mereka untuk diperjodohkan denganku. Akhirnya pernikahanku dengan Kapor diketahui juga oleh kedua orangtuaku. Aku tanya ayahku; ‘siapa yang memberi tahu bahwa aku dan Kapor telah menikah?’ ayaku menjawab; Abidinlah yang membocorkan rahasia besar itu. Aku marah dan aku tak menyangka, karibku tega menghianatiku, dan aku sempat menghajar Abadin hingga bebek belur. Setelah diselidik ternyata Abidin pun menaruh cinta pada Kapor.”

Mustofa menghentikan kisahnya, dan genggamannya semakin erat pada putrinya, setelah memandangi wajahnya, Mustafa kembali menyambung kata-katanya; “singkatnya, ayah serta ibuku memaksaku tuk memutuskan tali pernikahanku dengan Kapor. Namun, aku tak mau. Akhirnya ayah dan ibuku memaksaku meninggalkan Kapor dan desanya. Aku pun tak dapat menolak sebab mereka mengancamku; bila saja aku tak menginggalkan Kapor dan desa itu, jangan harap diriku diakui anak lagi oleh mereka. Aku pun menemui Kapor dan menceritakan semuanya, Kapor tersedan, ia menganjurkan padaku tuk menyeraikannya. Namun, aku tak mau. Akhirnya kupilih alternatif ke-dua, aku kembali ke kedua orangtuaku, namun tak menceraikan Kapor yang telah hamil tiga bulan pada waktu itu. Dan anak yang dikandungnya tak lain adalah dirimu.”

Mustafa kembali menghentikan ceritanya, kali ini air matanya tak dapat ditahan-tahan lagi menitis dari kelopak matanya.

“Ayah, kenapa engkau tak lagi menemui Ibu?” tanya Elisa kekecewaannya mulai melumer.

“Elisa, putriku. Aku kembali ke desa ibumu. Namun, ibumu telah enyah dari rumah, dengan linangan air mata—kedua mertuaku pun tak mengetahuinya kemana putrinya itu pergi. Dua puluh lima tahun lamanya, aku mencari-cari Kapor, baik di desa maupun kota. Namun, keberadaan Kapor tak pernah kuketahu jejak langkahnya menghilang bagai ditelan bumi. Hingga pada akhirnya; aku melihat seorang gadis pramusaji kafe ini, yang raut wajahnya mewarisi kecantiakn Kapor. Elisa, putriku. Maafkan aku yang telah mengerang cerita—membohongimu. Aku katakan padamu; bahwa raut wajah engkau mengingatkanku pada raut wajah putri tunggal kesayanganku yang telah meninggal karena kangker payu dara, hingga engkau pun menaruh empatik padaku. Itu semua aku lakukan, agar engkau tak menaruh curiga padaku, yang sedang meneliti jati dirimu—asal-usulmu yang sejati. Setelah semuanya terurai dan gamlang terpampang nyata, aku simpulkan; bahwa engkau tak lain adalah putriku, yang aku cari selama ini.”

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

(5)

Keesokan harinya. Pada sebuah pagi, selekas menyelesaikan pekerjaannya di kafe. Elisa langsung memburu ibunya yang sedang melihat televisi di ruang dalam.

Seruak kata Elisa; “ibu lihat. Apa yang aku bawa?”

Ibunya Elisa menolehkan pandangannya ke tangan kanan putri tunggalnya yang menenteng sebuah pelastik hitam. Dan Elisa segera mengeluarkan isinya, diberikannya segelas cappuccino dan sewadah tuna sandwich pada ibunya yang tersenyum dan matanya berkaca-kaca karena merasa tersanjung oleh Elisa yang tak lain permata hidupnya itu.

“Ibu. Masih rindukah Ibu pada lelaki yang selalu membelikan ibu cappuccino dan tuna sandwich sewaktu ibu muda dahulu?” tanya Elisa dan menatap tulus kedua bola mata ibunya yang mulai menitikan air mata. Elisa pun menyelipir tepat ke belakang ibunya, ia mengunci pasang mata ibunya dengan kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian. Perlahan Elisa melepaskan telapak tangannya yang menututupi kedua bola mata ibunya. Dan, tepat di hadapan ibunya—Mustafa bersimpuh di sana. Tanpa malu-malu lagi. Dua ujur itu. Mereka saling berpelukan, mencurahkan rasa rindunya mesing-masing, yang sekian lama mengendap di dasar hantinya masing-masing.

Selesai

Yogyakarta, 1 Oktober 2015 

Agus Hiplunudin 1986 lahir di Lebak-Banten, adapun karya penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) dan Politik Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017)—Calpulis Grahaliterata. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015 SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017, Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Edelwis Merbababu yang Merindu (Suara Merdeka, 2016). Kumcernya yang telah terbit Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut (Graha Literata, 2018).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39