Budaya / SeniCerpen

Berpelukan dengan Qin Ying

Cerpen Aqin Jejen*

Malam ini, Qin Ying bisa leluasa meniupkan gairah di sudut-sudut celah kulitku. Tangannya melingkari sebidang dadaku yang luas. Tak ada dingin menelusup di balik selimut sutra Beijing yang membelit tubuh kita di ranjang berukiran sebuah naga biru. Naga pertanda kehancuran. Kita menyakininya sejak pertama kali bersama di rumah bersusun ini.

“Kau semakin tua, Sayang.”

Kemudian Ying meraba wajahku. Menyentuh kerutan kulitku yang mulai melapuk. Seperti halnya ia melihat ada masalalu yang ranggas sepuluh tahun lamanya. Matanya ada kobaran api menyala-nyala yang siap membakar segala kemurkaan. Kepalanya menyimpan jutaan peristiwa yang siap meledak-ledak seperti bom waktu.

“Jangan menyentuh tubuhku jika tak setampan nabi Yusuf,” ucapnya lagi.

Memang, ia begitu mencintai kulitnya yang mulus tanpa ada bekas luka sedikit pun. Meski bagiku tidak secantik Cleopatra, putri Masir yang disanjung sanjung.

Akhh… Aku mendesah, perlahan kurapalkan do’a di telinganya. Sesekali kubisikkan kata-kata manja nan mesra. Ying, bergidik. Tubuhnya terpintal-pintal membuat irama ranjang semakin keras berderit-derit; menghanyutkan kita pada sebuah perjalanan panjang malam itu. Memang, takdir tak sebagaimana kita duga dan tak seindah yang kita harapkan. Ying menyakini itu menurut kitab Injil yang dibawa Yesus. Perasaan itu yang kerap menggelisahkan kita berdua sepanjang pernikahan kita.

Seorang wanita yang berbaring di sebelahku itu bukan semata-mata orang yang aku cintai sejak awal kita menikah. Itu sebabnya, kita tak percaya dengan cinta. Dan lebih percaya bahwa takdir Tuhan lebih kejam membuat kita menderita sepanjang hidup. Menyiksa, mengepalkan tinju ke wajah-wajah istriku yang tak berdosa.

“Apa Tuhan memang buta dan tidak tau kebahagiaan hambanya, Mas?” ucapmu sangat marah. Sebelum kita tidur nyenyak, hampir tiap malam, tak ada percintaan yang membuat kenikmatan untuk kita berdua. Seperti malam pertama seorang pengantin. Kita hanya mengisi dengan perdebatan yang tidak pernah selesai-selesai. Dan mengganti topik dari satu ke satu topik yang lain.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Kusentuh saja bibirmu dengan bibirku. Perlahan kau mengulumnya. Mulutmu menjadi basah dengan liur yang meleleh. Ying, memang tak pernah percaya dengan takdir itu. Takdir baginya spekulasi dan bayang-bayang semu yang dibuat oleh kepala manusia. Pikiran manusialah yang membuat takdir-takdir itu ada. Bagi Ying, takdir sama halnya dengan setan-setan yang tiap malam menggerayangi tubuh kita di ranjang. Yang kerap meniupkan benih kemarahan dan menyaksikan kita bertengkar tiap ingin berpelukan. Karena itu Ying tidak mempercayai jika setan adalah mahluk yang diciptakan Tuhan. Jika agama menganggap setan itu mahluk, menurut Ying itu tidak benar. Karena Tuhan tidak adil menetapkan ketentuan nasib mahluknya, setan itu dikutuk dan tak terampuni sampai akhir zaman kerusakan. Jadi ia tidak punya alasan untuk memilih surga dan neraka. Karena surga dan neraka hanya bagi orang yang diberi keleluasaan untuk berfikir, bertindak dua hal antara baik dan buruk. Bukan bagi mahluk yang memang sudah ditetapkan masuk neraka oleh Tuhan.

“Hmmm….” aku mendesah lagi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Ying mulai gelisah dan bergeliat. Kuhentikan ciumanku sesaat. wajahnya mulai memerah, ada bekas ciuman di leher pualamnya.

“Dasar bodoh, jangan kira aku mau. Aku melampiaskan segala hasrat padamu.”

Ying, membalikkan tubuhnya segera. Kita bersebelahan saling menyibukkan dengan pikiran kita sendiri-sendiri. Kulihat foto pernikahan Ying dulu di dinding rumah, bersama mendiang Cung He, Ibu mertuaku. Dialah orang yang memaksa kita untuk bersama, membangun rumah tanggah sakinah. Akhirnya, kita menikah tanpa saling mengenal sebelumnya. Karena menurut orang tuaku, cinta akan lahir dengan sendirinya ketika kita sudah bersama. Maka di situ akan saling mengenal dan muncullah perasaan kasihan yang disertai rasa cinta pada pasangan kita, katanya. Nyatanya, itu hanya bayangan semu dan sampai saat ini Qin Ying belum mau aku setubuhi. Dia rupanya lebih terhormat dengan status keperawananya. Meski bagiku itu sangat menjijikkan. Sangat. Terlalu menyebalkan bagiku.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Cobalah mengerti, Ying. Aku ini suamimu,”  ucapku. Ying tak pernah menganggapku sebagai suaminya. Ia menyebutku siluman Ular Putih. Yang setiap saat menerkam dari belakang, menjepit kedua pahanya. Kemudian ia meronta-ronta kesakitan dengan gigitan manja di lehernya. Itu rupa paling jelek yang ia berikan selama aku hidup di dunia

“Orang tua tidak pernah berfikir logis ya. Dia tidak tau bahwa yang menjalani hidup ini adalah kita berdua bukan mereka. Yang merasa bahagia adalah kita bukan mereka yang ogah. Ada baiknya, tidak harus semua perkataan orang tua itu diikuti”.

Kemudian, kudekatkan sebatang tubuh ini. Kubelai-belai rambutnya dengan halus. Kudekap tubuh Ying yang mulai gemetar. Di luar rumah hujan mulai berjatuhan berdesing-desing di atap rumah. Guntur bergelegar memecah keheningan langit seakan ingin melahirkan bencana yang lebih besar. Rasa dingin menyatu pada lapisan kulit kita. Seolah kita tengah berada di penghujung sebuah musim semi. Kurapatkan pelukanku dengan Ying. Dia tidak meronta lagi dan tidak memukul-mukuli dadaku. Matanya berbinar bak cahaya kunang-kunang kesepian malam itu. Nafasnya semakin tak teratur yang sesekali menimbulkan rintihan lirih dari mulutnya.

“Apa jawabmu ketika ditanya orang, kenapa belum hamil, Ying? Padahal sudah sepuluh tahun kau menikah?” tanyaku sedikit merayu.

“Kukatakan saja jika suamiku itu mandul,” jawab Ying menggoda.

“Mandul?”

“Ya, suamiku seorang waria,” kata Ying disertai tawa meledak-ledak yang tidak bisa ditahan. Ternyata, seganas itulah Ying memperlakukan diriku. Tiba-tiba kemarahanku membuncah. Kurengkuh tubuh Ying. Lalu kuikat kedua tangan Ying di setiap sisi ranjang. Ia hanya bisa meronta-ronta dengan mulut terkunci. Kusentuh dadanya, tak ada payudara yang membesar di sana, hanya sebatas mengeras menumpuk berbagai bentuk kesalahan yang musti tidak aku cari di sana. Namun, di rimba-rimba hutan yang belukar. Memang, aku tidak pernah menyentuhnya sama sekali selama aku menikah dengannya. Ia lebih suka aku menyentuh pipinya, dan memberikan kejutan yang ganas disetiap kita ingin terlelap tidur.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Dengan sangat bernafsu kulakukan perkelahian hebat malam itu. Kulihat Ying tak berdaya lagi. Tubuhnya begitu lemas setelelah ada bercak darah mengalir di seprai ranjang. Ternyata kita bersetubuh dua jam lebih. Segala otot kukerahkan hingga mencapai klimaks yang bertubi-tubi

Setelah kuperkosa istriku. Semoga saja ia mengerti bahwa di balik cinta yang besar butuh hubungan seksual yang besar pula. Tak ada cinta, bagiku, yang ada hanya kenikmatan  dunia. Cinta itu sebatas kata-kata puitis yang lahir dari para pujangga bodoh.

Kemudian kukatakan pada Ying, bahwa kita tidak perlu melakukan ritual Sanjit[1] untuk mensakralkan pernikahan kita sepuluh tahun silam. Cukup rasakan saja betapa jantanya seorang lelaki yang dikira gay. Benarkan, Ying!

Annuqayah, 19 November 2017 M

Aqin Jejen, lahir di Sumenep Jawa Timur. Menulis Essai, Puisi, dan Cerpen. Tulisan-tulisannya dimuat di Radar Madura (Jawa Pos Group), Buletin Jejak, Majalah Sastra Horison (Kaki Langit), terantologi bersama Penyair Kopi Dunia, The Gayo Institut (TGI), Aceh Culture Centre (ACC), dan Ruang Sastra (RS), terpilih sebagai 10 Kontributor Puisi terbaik Gebyar Bulan Bahasa 2016 tingkat Mahasiswa Se-Jawa Timur, IKIP PGRI Bojonegoro, Terantologi dalam Lomba Cipta Puisi Nasional 2016, Hari Puisi Indonesia, Jawa Barat, Juara Lomba menulis Cerpen Writing Festival, SM’s Day se-Madura Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan 2017, dan Juara Cipta Puisi Penerbit Aksara Aurora Media  2017.

[1] Tradisi Cina ketika proses berlangsungnya pernikahan antara dua mempelai

 

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

 

Related Posts

1 of 39