Budaya / SeniCerpen

Biduri Warman (II)

Kepergok Mesum/IStimewa
Ilustrasi Cerpen Biduri Warman II, (Istimewa)

Cerpen: Azzam Kaizen

Lalu pulanglah Abah Rohadi ke dukuh Binangun setelah dijemput perangkat dukuh dengan iming-iming keadilan. Di balai dukuh sudah tampak penuh sesak warga yang ingin tahu kebenaran sebenarnya. Abah Rohadi diantar ke tengah balai, didudukkan di kursi pesakitan yang terbuat dari rotan. Di depan Abah Rohadi tampak duduk kepala dukuh, sesepuh, dan ‘umbuk patuah’. Merekalah yang akan menghakimi. Mereka yang akan menakar kebenaran. Memutus nasib Abah Rohadi. ‘Umbuk patuah’ adalah gelar bagi orang yang dipercaya untuk memangku adat sampai akhir hayatnya.

Penghakiman digelar. Saksi-saksi dihadirkan. Argumen-argumen dilontarkan. Sanggahan bantahan tak terelakkan. Sorakan, teriakan, gelak tawa, dan tangisan bersatu-padu di balai yang penuh sesak. Rasanya tidak ada satupun warga dukuh yang rela melewatkan momen bersejarah ini. Sundari, janda kaya yang digadang telah bercumbu rayu dengan Abah Rohadi dihadirkan sebagai saksi pemberat. Beberapa warga mengusulkan agar Sundari juga duduk di kursi pesakitan lantaran Ia juga pelakunya. Namun kepala dukuh kekeh dengan keputusannya menjadikan Sundari sebagai saksi dan lebih menganggap Sundari sebagai korban rayuan gombal Abah Rohadi. Dibawah sumpah keyakinannya Sundari bersaksi.

“Awalnya saya acuh, saya cuek, dan menganggap Abah Rohadi sebagai guru spiritual saya. Tidak lebih. Tapi, Abah Rohadi terus saja merayu. Berhari-hari, berminggu-minggu saya dirayu, bahkan dijanjikan untuk menikah siri. Sebagai wanita biasa, saya luluh juga setelah dirayu dan dipuji bertubi-tubi. Maka, akhirnya siang itu, saya dan Abah Rohadi khilaf bermesraan di sana. Tak kami sangka, ada yang melihat kami. Yang saya sedihkan, Abah Rohadi tidak mau mengakui. Abah Rohadi inkar janji”. Terang Sundari sambil sesekali menyeka air matanya. Raut wajahnya tampak sendu antara sedih dan malu. Wajahnya menunduk, menutupi kemelut di hatinya.

Timpal-menimpal kesaksian dan argumentasi terus terjadi. Kebimbangan menggelayuti pikiran setiap warga. Sebentar-sebentar warga yakin Abah Rohadi memang melakukan perbuatan keji. Sebentar kemudian mereka percaya itu hanya fitnah belaka.

Kini, tibalah saatnya Warman dihadirkan untuk bersaksi. Semua mata menatap kearah pria paruh baya yang digotong ke tengah balai. Terdengar jelas desas-desus warga saling berbisik. Mengasihani nasib Warman yang dianiaya. Bekas-bekas luka masih tampak jelas di tubuhnya. Jahitan sambung lidahnya pun masih basah.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

“Untung tabib Ma’in sakti. Kalo nggak, pasti Warman sudah bisu.” Celetuk seorang warga.

“Untung juga hansip kita cakap. Pelakunya cepat tertangkap.” Ujar warga lainnya.

“Untung juga Umbuk Patuah kita adil dan bijak. Beliau tegas menghukum potong lengan dan mengusir para penganiaya Warman. Biar kapok tuh orang-orang jahat.” Timpal yang lainnya.

Lalu, setelah disumpah atas kesaksian yang akan disampaikan, Umbuk Patuah mempersilahkan Warman berbicara. Semua hening, diam, dan siap mendengarkan. Mereka yakin betul bahwa kesaksian Warman benar adanya, musabab demi kesaksiannya sampai ada orang yang berusaha membungkam Warman dengan memotong lidahnya. Orang-orang dari kubu seberang tampak gusar. Mereka khawatir jika akhirnya para penghakim memutus tidak bersalah pada Abah Rohadi, habislah mereka.

Terbata-bata Warman menerangkan sesuai apa yang Ia pahami. Lidahnya masih terasa kelu, namun demi kebenaran Ia harus terus berbicara. Ia jelaskan duduk perkara dengan lugas dan tegas. Mulai dari kiprah Abah Rohadi yang mengajaknya dan murid-murid lain untuk menghentikan sabung ayam di sudut dukuh, mendobrak pelacuran di pinggir sawah, memporak-porandakan warung tuak di pinggir-pinggir jalan setapak, menghentikan judi, dan mengajak ngaji. Sejenak Warman diam untuk meluruskan lidahnya yang kian kelu.

“Setelah itu kami didatangi orang untuk negosiasi. Abah ditawari sawah, beliau cegah. Dikasih rumah, Abah ogah. Ditawari uang, Abah buang. Mungkin mereka gerah dan mulai meneror kami. Mengancam akan membunuh. Tapi murid Abah banyak, jadi keselamatan Abah terlindungi. Lalu mereka mengancam akan membuat Abah terhina dan terbuang.” Terang Warman berapi-api.

“Siang itu, saya, abah dan beberapa murid lainnya pergi keluar dukuh untuk membeli peralatan bangunan untuk memberbaiki saung. Kami baru pulang menjelang Ashar. Ini bukti kwitansinya. Dan kami juga mengajak hadir disini pemilik toko bangunan yang kami datangi untuk turut bersaksi. Lalu, bagaimana mungkin Abah yang sedang di luar dukuh bersama kami bisa melakukan hal keji seperti yg mereka tuduhkan?” Lanjut Warman sembari menyerahkan bukti dan menunjuk orang yang Ia sebut pemilik toko bangunan.

“Demikian yang dapat saya sampaikan dengan sebenarnya. Semoga para penghakim dapat berlaku adil.” Warman menutup kesaksiannya.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Semua saksi telah dihadirkan, bukti-bukti dipertontonkan. Pendapat, pandangan, dan argumentasi sudah diperdengarkan. Kini tampak kepala dukuh, para sesepuh, dan Umbuk Patuah khusuk berdiskusi. Segera mereka akan mengadili. Menghakimi persoalan yang menimpa Abah Rohadi. Para warga sibuk mengobrol ringan sembari menunggu akhir dari penghakiman.

Hari telah larut ketika para penghakim akan kembali berbicara. Semua warga diam. Abah Rohadi tampak bersahaja. Bibirnya terus bergerak sedari pagi, berdzikir mengagungkan asma Allah. Orang-orang yang menuduh Abah Rohadi tampak harap-harap cemas. Bahkan ada yang tidak tahan untuk tidak keluar meninggalkan penghakiman.

“Semua sudah diberi kesempatan berbicara. Sudah dipersilahkan menguatkan ucapannya dengan bukti. Sudah disumpah sebelum bersaksi.” Ucap Sesepuh dukuh memulai pembucaraan. Kemudian dilanjutkan kepala dukuh yang meminta warganya untuk dapat menerima keputusan dengan lapang dada.

“Berdasarkan kesaksian dan berbagai bukti. Kami sepakat menyatakan bahwa permasalahan yang menimpa Abah Rohadi.” Umbuk Patuah mulai membacakan putusan penghakiman, lalu berhenti sejenak.

“Permasalahan yang menimpa Abah Rohadi adalah fitnah keji dan upaya penjegalan terhadap kebenaran. Oleh sebab itu, kami sepakat untuk membebaskan Abah Rohadi dari tuduhan ini. Dan kami sepakat untuk menjatuhkan hukum pengasingan terhadap orang-orang yang telah menebar fitnah dan menyebar kebohongan. Selanjutnya kami juga akan membentuk regu intai untuk mencari dalang dibalik ini semua, termasuk dalang atas penganiayaan yang dialami Warman.” Ucap Umbuk Patuah dengan arif dan tegas disambut dengan sorak-sorai warga yang senang dengan akhir dari penghakiman. Sementara itu orang-orang yang memfitnah Abah Rohadi tampak gusar dan menatap ke arah para penghakim. Kepala dukuh yang merasa ditatap tampak berkeringat dingin lalu bergegas meninggalkan balai dukuh.

“Alhamdulillah….” seru warga bahagia. Abah Rohadi hanya tersenyum dan tetap bersahaja. Sedangkan Warman, tak henti-hentinya bersyukur karena pengorbanannya berbuah hasil.

Semua bergembira, bahagia, tersenyum bahkan tertawa. Kecuali Biduri. Ia menangis. Kelu. Warman yang matanya terpejam lantaran khusuk bersyukur, perlahan membuka matanya demi mendengar tangisan gadis belianya yang selama ini Ia kenal tegar. Lalu Warman menatap Biduri yang terus menangis kelu. Ia tatap sekelilingnya tampak warga tak henti mungucap syukur dan menatap bahagia kearah Warman. Sejenak kemudian Warman mulai menyadari bahwa mereka bukan sedang berada di balai dukuh tempat digelarnya penghakiman tadi. Dari balik kerumunan warga, muncul Tabib Ma’in membawa sekantung ramuan.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Ah, aku di rumah Tabib Ma’in lagi. Aku kenapa lagi.” Warman membatin.

“Alhamdulillah pak Warman sudah sadar. Syukurlah. Semua orang khawatir pak. Sebulan yang lalu, pagi-pagi sekali kami melihat Bapak dan Biduri di depan rumah kami. Bapak terluka parah. Sangat kecil kemungkinan Bapak untuk selamat. Tapi syukurlah Allah menolong dan Bapak bisa sembuh. ” Ucap Tabib Ma’in dengan pelan. Kemudian Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan.

“Saya turut menyesal atas kejadian yang menimpa Bapak dan maaf karena tidak bisa berbuat banyak. Semoga Bapak bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada. Bapak tidak akan bisa berbicara lagi karena… maaf lidah Bapak terputus. Bapak juga akan sedikit kesulitan beraktivitas lantaran pergelangan tangan dan kaki bapak terpaksa saya amputasi. Kawat yang mengikat tangan dan kaki bapak berkarat dan membahayakan nyawa Bapak. Saya sarankan untuk rutin meminum ramuan ini, semoga lekas pulih. Setiap kejadian pasti ada hikmah di dalamnya.” Lanjut Tabib Ma’in sembari meletakkan sebungkus ramuan di samping Warman.

“Allah ya Rabb… cobaan apa ini. Aku kira semua baik-baik saja. Aku kira semua telah selesai. Tapi ternyata, bahkan aku tidak bisa berkata kebenaran. Untuk menuliskannya pun aku tidak memiliki jari.” Batin Warman sembari memejamkan mata, masih berharap ini sekedar mimpi pasca penghakiman. Biduri memeluk ayahnya dan menghapus air mata Warman yang meleleh ke pipi.

Lalu, bagaimana nasib Abah Rohadi? Ia masih terasingkan.

Mengenai orang-orang yang yang berbuat keji terhadap Abah Rohadi dan Warman? Ah, mereka sedang ketawa-ketiwi sambil mabuk dan berjudi. Sedangkan sang majikan sedang asik bercumbu dengan janda Sundari.

Azzam Kaizen, penulis amatir. Lahir di Lampung 25 tahun lalu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sriwijaya, Ia bekerja di perusahaan swasta dan sesekali menulis fiksi dan opini.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39