NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tim Studi NSEAS menelaah kinerja pemerintahan Joko Widodo khususnya di bidang pendidikan. Urgensi pendidikan di Indonesia mendorong konstitusi haruskan Pemerintah mengeluarkan anggaran pendidikan minimal 20% baik di Pusat (APBN) maupun di Daerah (APBD).
Menurut Ketua Tim Studi NSEAS, Muchtar Effendi Harahap menyampaikan, NSEAS dalam telaahnya mencoba ungkap kinerja jokowi dalam kurun waktu 3,5 tahun dalam mengurus pendidikan. Menurut Muchtar, salah satu standar kriteria evaluasi kritis kondisi kinerja Jokowi yang dapat digunakan selain janji-janji lisan Jokowi sewaktu kampanye Pilpres 2014 juga janji-janji tertulis yang disampaikan kepada rakyat Indonesia.
Baca Juga:
- Hari Pendidikan: 5000 Pelajar Kampanye Stop Ujaran Kebencian, Wujudkan Pendidikan Berkeadaban
- Hari Pendidikan Nasional: Darurat Wawasan Kebangsaan
- Di Hari Sarjana Nasional 2017, STAINU Temanggung Soroti Pendidikan pra-Sekolah
- Hari Sarjana Nasional, Semua Guru PAUD Wajib Minimal Berpendidikan S1
- DPRD Jatim Minta Pendidikan di Madura Ditingkatkan
“Standar kriteria evaluasi kritis kondisi kinerja Jokowi urus pendidikan bisa juga janji-janji tertulis tertuang di dlm dokumen NAWA CITA. Jokowi berjanji membangun pendidikan kewarganegaraan, mengevaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, memberikan jaminan hidup yang memadai bagi para guru khususnya di daerah terpencil, memperbesar akses warga miskin dapat pendidikan tinggi, dan emprioritaskan pembiayaan penelitian yang menunjang iptek,” urai Muchtar seperti dikutip dari catatan hasil studinya, Jumat (18/5/2018).
Muchtar mengatakan, pendidikan kewarganegaraan kepada masyarakat madani sangat penting untuk pendidikan politik dan membangun sikap nasionalisme dan partisipasi politik warga dalam masalah-masalah kenegaraan. Namun, dalam kenyataannya tidak ada bukti Pemerintahan Jokowi secara nasional, terprogram, dan massif melaksanakan pendidikan kewarganegaraan baik dalam bentuk kegiatan pelatihan, kursus, diskusi publik, diskusi panel, lokakarya/workshop, seminar, FGD (Focused Group Discussion), dll. “Jokowi telah ingkar janji dalam hal pendidikan kewarganegaraan ini. Kinerja buruk,” ujasnya.
Soal evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, lanjut Muchtar, belum ada info atau data resmi pemerintah telah melaksanakan evaluasi model penyeragaman pendidikan ini, termasuk apa hasil evaluasi tsb. “Untuk sementara ini, kita boleh menilai, Jokowi tidak laksanakan janji,” kata dia.
Begitu pula dengan janji jaminan hidup yang memadai bagi gurul. “Janji ini sangat baik untuk pemerataan guru di seluruh Indonesia. Namun, belum ada data sudah berapa banyak guru di daerah terpencil memperoleh jaminan hidup yang memadai, atau jumlah gaji atau honorarium yang diterima guru. Janji ini masih gelap realisasinya,” ungkapnya.
Apalagi untuk memperbesar akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi, lanjut Muchtar, janji tersebut sangat baik untukmeningkatkan taraf hidup keluarga miskin, namun dalam kenyataannya, perguruan tinggi negeri (PTN) dengan penerapan manajemen keuangan berdasarkan Badan Layanan Umum (BLU) justru biaya kuliah semakin meningkat yang hanya dapat dijangkau masyarakat klas menengah atas.
“Tidak ada bukti, orang miskin diberi beasiswa secara massal untuk dapat kuliah di PTN. Kalaupun ada, hal itu hanya satu dua orang di suatu PTN setelan anak itu dapat menunjukkan kemampuan akademis. Itu sekedar pencitraan bahwa PTN tersebut perhatian dan membantu masyarakat miskin. Bukan kebijakan struktural yang diambil pemerintah atau PTN. Misalnya, ada kebijakan pemerintah bahwa 20% mahasiswa suatu angkatan berasal dari masyarakat miskin dan terbebas dari biaya kuliah atau biaya administratif lainnya. Karena itu, janji Jokowi ini hanya omongan doang, tanpa realisasi. Hanya untuk mengesankan diri sebagai tokoh berpihak dan perhatian pada rakyat miskin,” urai Muchtar.
Selanjtunya terkait janji jokowi untuk memprioritaskan pembiayaan penelitian yang menunjang iptek, kata Muchtar, janji ini pun tidak ditepati. Dalam kenyataannya, bahkan pembiayaan penelitian melalui APBN jauh dari kelayakan. Juga jauh dibandingkan pembiayaan penelitian negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Tidak ada perubahan berarti dibandingkan era SBY, masih jauh di bawah 0,5% dari PDB. Padahal agar negara itu maju seperti Malaysia saja, pembiayaan penelitian minimal 1% dari PDB.
“Rendanya pembiayaan penelitian Indonesia di era Jokowi membuktikan Jokowi tidak punya visi strategis untuk membuat Indonesia negara maju seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dll. Pembiayaan penelitian adalah satu indikator dari kemajuan suatu negara. Karena itu, boleh diklaim, Jokowi belum juga memenuhi janjinya memprioritaskan pembiayaan penelitian. Kita tunggu akhir 2019, apakah pembiayaan penelitian meningkat signifikan atau tidak?,” kata Muchtar.
DItambahkan Muchtar, standar kriteria evaluasi kritis kinerja Jokowi juga bisa digunakan RPJMN 2015-2019 dan Renstra Kementerian Pendidikan tahun 2015-2019. Pada dasarnya rencana kegiatan bidang pendidikan tertuang di Renstra bersumber dari RPJMN. Rencana-rencana kegiatan tertuang di kedua sumber ini juga tidak jauh dari yang dijanjikan Jokowi di NAWA CITA. Sebagian rencana kegiatan teknokratik yang sudah berjalan selama pembangunan jangka panjang, tentu berjalan sebagaimana biasa.
“Tim Studi NSEAS cenderung berpendapat bahwa Pemerintahan Jokowi tidak memprioritaskan pembangunan pendidikan,dan berdasarkan janji-janji kampanye Pilpres 2014 memiliki kondisi kinerja buruk. Boleh dinilai, semua janji lisan dan tertulis bidang pendidikan diingkari. Karena itu, Jokowi gagal memenuhi janji. Masih ada waktu 1,5 tahun lagi. Mari kita tunggu apakah kondisi kinerja Jokowi akan lebih baik atau tetap buruk,” jelas Muchtar.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana