Ekonomi

Berkedok Isu Lingkungan, Minyak Sawit Menjadi Komoditas Perang Dagang UE dan Indonesia

Berkedok Isu Lingkungan, Minyak Sawit Menjadi Komoditas Perang Dagang UE dan Indonesia
Kebun Sawit siap panen

NUSANTARANEWS.CO – Berkedok isu lingkungan hidup, minyak sawit menjadi komoditas perang dagang Eni Eropa (UE) dan Indonesia. UE menyetujui kesepakatan politik pada hari Kamis (14 Juni) yang akan mengurangi biofuel berbasis makanan pada tahun 2030. “Kita harus mendorong pengembangan dan penggunaan biofuel maju, dan mengesampingkan tanaman berbasis pangan dan sebagai gantinya menggunakan bahan-bahan seperti residu hutan, limbah pertanian dan kotoran dari hewan ternak,” kata MEP Jose Blanco Lopez dari kiri pusat.

Pada tahun 2003, UE menggunakan biofuel sebagai alternatif untuk bahan bakar fosil yang digunakan dalam transportasi seperti bensin dan solar. Hal ini sebagai target untuk menciptakan pasar biofuel tanpa membuat perbedaan berbagai jenis biofuel.

Namun dalam perjalanan terungkap beberapa menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca daripada bahan bakar fosil yang mereka gantikan, sementara ada juga kekhawatiran pengaruh buruk pada harga pangan.

Minggu ini, para perunding UE menyepakati target tambahan untuk mencoba dan menjauhkan para investor dari biofuel berbasis pangan.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

“Salah satu masalah paling sensitif selama negosiasi adalah biofuel dari makanan dan tanaman pangan,” kata MEP Basen Eickhout dari Belanda dalam sebuah pernyataan pers.

“Sinyal bahwa Uni Eropa bergerak menjauh dari biofuel yang paling berbahaya, minyak sawit dan kedelai, bahkan lebih kuat,” kata pernyataan itu.

Versi bahasa Belanda dari siaran pers itu lebih hati-hati dikatakan, mengatakan bahwa pada tahun 2030 minyak sawit dan “kemungkinan besar kedelai” akan dilarang.

Ini menunjukkan bahwa rancangan undang-undang, yang masih membutuhkan persetujuan formal oleh parlemen dan dewan, akan memberikan beberapa rincian yang akan ditentukan kemudian oleh komisi.

Salah satu faktor yang harus diperhitungkan adalah peraturan Organisasi Perdagangan Dunia. Juga bisa ada kekhawatiran tentang pengaruh langkah-langkah pada hubungan dengan Indonesia dan Malaysia – dua produsen minyak sawit terbesar yang digunakan di Eropa.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arief Havas Oegroseno, pemerintah Indonesia tidak boleh senang dulu dengan hasil revisi tersebut. Menurutnya, Indonesia harus menganalisa hasil revisi arahan energi Uni Eropa tersebut.

Baca Juga:  Ramadan, Pemerintah Harus Jamin Ketersediaan Bahan Pokok di Jawa Timur

Havas mengatakan pernyataan yang tertuang dalam revisi tersebut belum menjadi jaminan bahwa kampanye negatif dan pembatasan impor yang dilakukan Uni Eropa atas sawit Indonesia akan berhenti begitu saja.

“Menurut pandangan saya pribadi, meskipun tidak ada kata sawit dalam daftar larangan, para analisa di Brussels menyampaikan kepada kami secara pribadi bahwa Uni eropa tetap akan melarang sawit secara disktriminatif,” katanya sebagaimana dilansir CNN.

Menurutnya, persoalan lingkungan hanya digunakan untuk menutup kepentingan dagang antar produk Eropa yang kalah efisien dibandingkan CPO, seperti rapeseed, minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan lainnya. (Aya)

Related Posts

1 of 3,050