NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada kesempatan diskusi di kawasan Jakarta Pusat (24/12) pakar ekonomi makro, Ichsanuddin Noorsy melihat dalam konteks geopolitik, bangsa Indonesia sedang berada dalam dua provokasi. Pertama Barat memprovokasi Indonesia agar membenci Cina. Begitupun sebaliknya, Cina memprovokasi Indonesia untuk membenci Barat.
“Ini sudah saya sampaikan pada April 2016, ketika Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dipersepsikan sebagai gubernur non muslim yang berhadap-hadapan dengan kelompok muslim,” kata Ichsanuddin Noorsy.
Saat itu sebanyak 17 media asing kompak, mem-blow up secara besar berasan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok dengan framing pertentangan antara muslim dan non muslim. “17 media asing, tidak 1!” tegasnya.
“Saya tidak mau diprovokasi bahwa berdebatan ini menjadi perdebatan non moslim diprovokasi melawan muslim. Muslim diprovokasi melawan non muslim.”
Sinyalemen kuat upaya provokasi Barat agar Indonesia membeci Cina makin kentara ketika Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence dalam hajatan KTT ke-20 di Papua Nugini beberapa waktu lalu memberikan warning agar Indonesia berhati hati terhadap jebakan hutang Cina.
“Saya tanya balik, apakah Barat juga tidak menjebak hutangnya?” tanya Noorsy.
“Siapa bilang? Menjebak banget. Bahwa Barat itu menjebak habis-habisan. Dan nginjek-nginjek leher lebih sadis dari pada Cina.”
Dalam diskursus ini, dirinya hanya menginginkan agar Indonesia kembali berpedoman pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif sebagaimana dulu yang pernah digunakan Bung Hatta maupun Soekarno dalam bersikap.
“Artinya, kita tidak ingin diinjek injek Barat, tapi kita juga tidak ingin diinjek injek Cina. Gak mau kita! Dua duanya, kita harus ambil sikap. Gak ada cerita itu yang namanya Barat. Gak ada cerita itu namanya Cina,” ujarnya.
Ketika Mike Pence di Papua Nugini mengatakan untuk berhati hati dengan jebakan hutang Cina, “Saya saya tersenyum goblok. Goblok lu, sudah lama Barat ngejebak lu. Lu baru ngomong sekarang,” cetusnya.
Dari kasus itu, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Noorsy berpendapat, dengan mencermati Perang Dunia I, Perang Dunia II, peristiwa krisis 1998, Krisis tahun 2015, kemudian berlanjut sampai perang dagang sejatinya adalah perang ekonomi.
“Saya sampai pada satu kesimpualan, yang disebut dengan ekonomi terbuka pada hakekatnya adalah perang ekonomi. Saya ulangi yang disebut dengan ekonomi terbuka pada hakekatnya adalah perang ekonomi,” terangnya.
Apa buktinya? “Gampang buktinya!” kata dia. “Kalau kita lihat jalan raya (di Indonesia) berapa banyak mobil Jepang? 68 persen. 68 persen dikuasai, didominasi oleh produk Jepang. 68 persen itu akan meningkat kalau kita lihat posisi bagaimana Jepang mendominasi yang namanya mantenance kita di segala posisi. Lalu kemudian masuk ke Eropa, masuk ke Korea baru ke negara lain,” jelasnya.
Apa artinya? Artinya kata dia, “Ketika kita menyatakan terbuka habis habisan atas moda transportasi, Jepang mendominasi habis-habisan. Dan Jepang selama itu pula tidak pernah memberikan keleluasaan kepada kita untuk yang namanya transfer teknologi. Moda transportasi di bawah Jepang mendominasi moda transportasi darat dan habis habisan Jepang tidak memberikan kesempatan bagi kita.”
“Bukan sekedar tidak melakukan transfer teknologi, membangun alternatif saja tidak boleh,” tandasnya.
Editor: Romadhon