Oleh: Emha Ainun Nadjib
NUSANTARANEWS.CO – Jelas pandangan sahabat saya itu adalah hasil pikiran orang yang hidup di tengah hutan. Kurang pergaulan. Ketinggalan zaman. Indonesia sudah gebyar-gebyar, gedung-gedung canggih, cahaya berpendar-pendar, teknologi tinggi dan canggih menjadi urat saraf dan aliran darah Indonesia. Tapi sahabat saya itu seperti makhluk pra-sejarah. Ultra-ortodoks. Jumud bin mbegugug.
Pernah saya sindirkan itu, tapi sahabat saya tersenyum dan menjawab: “Siapa tak tahu Indonesia makin gebyar? Tapi rajinlah menghitung: berapa persen dari Indonesia yang milik Indonesia? Apakah Indonesia semakin menjadi milik Indonesia atau semakin menjadi bukan milik Indonesia? Saya tidak mengerti kenapa makin banyak manusia yang bahagia dan bangga menjadi jongos…”
Ketika di hadapannya saya mendengarkan omongan sahabat itu, hampir semuanya ingin saya bantah. Tetapi, ini masalahnya, begitu saya berkumpul dengan anak-anak, hampir semua omongan sahabat itu rasanya saya setuju. Seakan-akan semua pandangan sahabatku itulah yang diperlukan untuk masa depan anak-anakku. Mungkin karena bersama sahabat itu saya adalah seseorang yang berpikir. Tetapi di tengah anak-anak, saya adalah Bapak yang harus bertanggung jawab.
Sahabat saya itu contoh ekstrem dari seorang radikalis. Keberangkatan pemikiran dan praktik hidupnya sangat fundamentalis. Eksplorasi intelektual dan spiritualnya sangat liberal. Dan setiap kali berdialog dengannya saya benar-benar merasa dan mengalami berhadapan dengan seorang teroris, yang membuat kepala saya retak-retak, isi otak saya diaduk-aduk.
Dia juga sangat intoleran terhadap hidupnya sendiri: bersemadi di tengah hutan rimba, berselang-seling menyepi bersama keluarganya di rumah yang tertutup. Ia punya tempat tersendiri untuk menemui tamu-tamu. Ia sangat otoriter kepada dirinya sendiri, tetapi sangat memerdekakan siapapun di luar dirinya. Ia sangat diktator kepada dirinya sendiri, tetapi santun dan menyayangi siapa saja. Ia sangat militeristik atas dirinya sendiri, tetapi lembut kepada sesama manusia.
Kami lima bersaudara. Yang pertama “pancer” kami. Yang kedua selalu berada di depan saya. Ketiga di belakang saya. Keempat mengamati kami dari berbagai koordinat dan arah. Di antara mereka ada yang punya semua perangkat untuk melakukan revolusi di Negeri ini, bahkan kudeta, tanpa menyentuh kulit pihak yang dikudeta. Tapi tak pernah ia mengizinkan kakinya untuk melangkah menuju kemungkinan itu. Meskipun ia sangat fundamental dan radikal, namun setiap keluar dirinya ia hanya menggunakan dan menyebarkan kebijaksanaan.
Dari merekalah saya mengerti “nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake” (menyerbu tanpa tentara, menang tanpa merendahkan) dari urutan sejarah dan pengalaman hidupnya. Ia pernah melelehkan puncak gunung yang berdiri kokoh puluhan tahun hanya dalam beberapa saat. Meredakan amuk binatang-binatang di hutan, yang amukannya tidak dipicu oleh sesuatu dari dalam diri binatang-binatang itu, melainkan karena makhluk di luar mereka. Ia tidak pernah mengganggu berlangsungnya hukum rimba, karena hukum rimba adalah ekosistem ciptaan Tuhan.
Sahabat saya itu kalau ada singa di depannya, ia menjinakkannya tidak dengan berkelahi, atau mengakalinya dengan makanan dan rayuan. Begitu singa mencium baunya, tak perlu melihatnya atau bertemu langsung: sang singa menjadi jinak, lembut dan memancar kasih sayang dari sorot matanya dan seluruh pori-pori tubuhnya. Sahabat saya itu bersahabat dengan alam dan semua ciptaan Tuhan.
Karena belajar kepada empat sahabat itulah demi Tuhan Yang Maha Esa saya getol memperjuangkan agar anak-anak saya menjadi Pancasilais. Tanpa menunggu Indonesia ber-Pancasila. Meskipun seandainya Pancasila dihapus dari prinsip kenegaraan Indonesia, atau Indonesia memunafiki Pancasila — berlagak Pancasilais padahal melakukan hal-hal yang mengkhianati muatan-muatannya — saya tetap perjuangkan agar anak-anak saya punya watak dan kepribadian Pancasilais.
Bahkan andaikan Indonesia tetap belum merdeka kedaulatannya, keuangannya, martabat kebangsaannya, harga diri kenegaraannya: saya tetap sinau bareng anak-anak saya agar menemukan formula dan strategi tetap merdeka sebagai manusia, tanpa menunggu atau bergantung kepada merdeka tidaknya Indonesia.
“Kalian semua sekarang sudah mulai belajar menjadi Aqil Baligh”, saya membuka diskusi dengan mereka.
“Saya kan sudah sunat, sudah khitan”, kata si bungsu, “berarti sudah aqil baligh…”
Mereka memang diajari oleh masyarakatnya bahwa Aqil Baligh itu dimulai sesudah khitan, mimpi basah, atau menstruasi bagi kakak perempuan mereka. Kami harus menemukan kelengkapan substansi dan keluasan makna Aqil Baligh. Mana tega saya membiarkan anak-anak menyangka Aqil Baligh adalah perkara kelamin, dan kedewasaan adalah pasal seks.
Aqil (‘aqil) adalah ketika manusia sudah mendayagunakan akalnya untuk ‘menguasai’ pengetahuan, pemahaman, pendalaman dan penghayatan atas sesuatu hal. Baligh adalah tahap ketika pengetahuan, pemahaman, pendalaman dan penghayatannya membawa manusia sampai ke kesanggupan untuk mewujudkannya, melakukannya, mengaplikasikan atau memanifestasikannya di dalam atau menjadi kehidupannya.
Secara bertahap anak-anak saya ajak menapaki itu: Pengenalan (tadris, madrasah). Menuju pemahaman (tafhim, mafhamah) di level pengetahuan (ta’lim, ma’lamah). Kemudian pendalaman (ta’rif, ma’rafah). Sampai pada pemberadaban (ta`dib, ma`dabah) atau pelaksanakan dalam kehidupan. “Ngelmu kuwi kelakone kanti laku” kata orang Jawa. Semacam urutan kenal, tahu, mengerti, mampu dan mau. Atau dialektika “learning by doing”, “doing by learning”.
Kalau ini kita anggap sebagai metodologi, maka tampak Indonesia belum Aqil Baligh Pancasila. Terdapat inkonsistensi yang mendasar antara apa yang dilakukan oleh Indonesia dengan Pancasila. Terdapat diskontinuitas dan diskoneksi serius antara perilaku Indonesia dengan Pancasila.
Tidak berarti 72 tahun NKRI ini pencapaiannya masih balita atau remaja, karena kita tahu betapa berjuta-juta jumlah kaum intelektual yang cerdik pandai. Mungkin lebih tepat kalau rumusannya adalah kecendekiawanan modern Indonesia enggan untuk berada dalam perspektif nilai Pancasila.
Dan memang tidak diperuntukkan atau bertujuan Pancasila. Karena tujuan Indonesia adalah Aqil Baligh Materialisme dan Hedonisme. Cari hidup enak, kalau bisa tanpa berjuang. Siapa saja, Iblis pun tak apa Dajjal pun oke, yang kasih uang dan fasilitas hidup enak, disembah, diangkat jadi pemimpin, bahkan dikasih podium, peci dan serban.
Sekolahnya, Universitasnya, lembaga-lembaga pendidikannya, para sarjana dan kiainya, ormas dan parpolnya, para pejabat dan institusi kepemerintahannya, aspirasi pikirannya, cita-cita masa depannya, perilaku budayanya, pertimbangan-pertimbangan kariernya — tidak di-aqil-kan berdasar Pancasila dan tidak di-baligh-kan menuju pencapaian Pancasila.
Saya kaget sendiri kok pikiran-pikiran saya jadinya seperti pandangan-pandangan sahabat saya. Ia pernah mengatakan: “Kalau engkau mampu bersedekah ikut memerdekakan Indonesia, terpujilah Tuhan yang menganugerahkan kemampuan itu. Tapi kalau tak bisa, berjuanglah agar engkau merdeka dari Indonesia. Merdeka dari ketidakmerdekaan Indonesia. Seberapapun kadarnya.” (sumber caknun.com)