Opini

Ancaman dan Tantangan TNI

ribuan personel tni, amankan pelantikan, dpr-mpr, presiden-wakil presiden, panglima tni, nusantaranews
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat memimpin apel gelar kesiapan pasukan pengamanan pelantikan Presiden dan Wapres serta pelantikan DPR/DPD/MPR periode 2019-2024 di Skadron 17 Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (30/9/2019). (Foto: Puspen TNI)

Ancaman dan Tantangan TNI. DIRGAHAYU TNI (selanjutnya disebut Militer) ke-74 tahun. Fokusnya prestasi, ancaman dan tantangan Militer di masa lalu dan 30 tahun kedepan. Objek observasi kemampuan Militer menangkal ancaman dan merespons tantangan yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia sebagai prestasinya. Sementara kemampuan menangkal ancaman dan mersepons tantangan masa depan masih menjadi harapan prestasi untuk kembali menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia. Semoga Militer di bawah kontrol Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto berhasil mulai menangkal ancaman dan mulai merespons tantangan yang berat dan rumit.

Pertama, Historikal Militer Menangkal Ancaman dan Tantangan Masa lalu

Teori evolusi Darwinisme sosial struggle for life sempurna dicapai Militer melahirkan kemerdekaan, membela kemerdekaan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Tak mungkin dipungkiri bahwa Militer menjadi simbol integrasi nasional yang berlatarkan Bhinneka Tunggal Ika mirip motto Amerika Serikat E Pluribus Unum sebagai politik negara. Inilah keunikan militer Indonesia di Dunia bersama Vietnam, Aljazair, dan Israel setidaknya dibuktikan 74 tahun terakhir dalam rangka penegakkan kedaulatan negara menuju tujuan nasional, masyarakat adil makmur dan makmur dalam keadilan. Observasi itu ialah realitas sosial hingga 5 Oktober 2019.

Historikal tahapan evolusi Darwinisme sosial Militer Indonesia diawali PM Jepang, Tojo, menggagas Poesat Tenaga Rakyat (Poetra) 9 Maret 1943. Poetra berpusat di Jawa dan Madura, dipimpin Soekarno-Mohammad Hatta Ketua dan Wakil Ketua plus dua pemimpin Islam terkemuka Ki Hadjar Dewantoro dan Kiayi H. M. Mansoer dari Madura. Jepang mengarahkan Poetra kelak mengelola pemerintahan sendiri. September 1943 Poetra mendirikan organisasi nasionalis bernama Pembela Tanah Air (PETA) dipimpin Gatot Mangkupradja. Pertengahan 1945 PETA telah memiliki anggota 120.000 orang bersenjata dan gagah berani. Tepat 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat untuk memperkuat peranan keamanan umum disebut Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dipimpin Letjen Urip Sumohardjo mantan Major KNIL, berpusat di Yogyakarta. Mobilisasi dinamikanya, 12 November 1945 Kolonel Sudirman terpilih sebagai Panglima Besar dan Menteri Keamanan Rakyat.

Saat itu, ancaman dan tantangan terus berubah, 25 Januari 1946 TKR diganti namanya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Belum berhenti di situ, 3 Juni 1947 secara resmi TRI dijadikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) meleburkan TRI, Kesatuan Biro Perjuangan, dan semua pasukan bersenjata lainnya. Sukar didebat, bahwa dinamika itu sebagai evolusi Darwinisme sosial Militer menangkal ancaman dan merespons tantangan Militer pada eranya sangat mencengangkan Dunia. Hasilnya adalah wajah NKRI hingga tanggal 5 Oktober 2019. Ciri Militer Indonesia dalam politik negara Indonesia, sesungguhnya profesional sebagai aparatus Militer dan profesional pula sebagai aparatus politik negara. Itu sebabnya politisi sipil senantiasa tergoda dengan citra profesionalisme Militer Indonesia.

Baca Juga:  Inggris Memasuki Perekonomian 'Mode Perang'

Semuanya itu ialah pengetahuan bertautan dengan evolusi Darwinisme sosial dan tahapan historikal Militer Indonesia yang menakjubkan Dunia setidaknya di Asean melalui pimpinan fenomenalnya masing masing tahapan. PETA dengan Gatot Mangkupradja, TKR dengan Urip Sumohardjo, dan TNI dengan Panglima Besar Sudirman semuanya dari Angkatan Darat. Kini Militer dengan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dari TNI Angkatan Udara. Ini fenomena evolusi pola rekrutmen kepemimpinan Militer Indonesia kuat tidak melumpuhkan menuruti aliran fatwa Ronggo Warsito.

Kedua, ancaman dan tantangan Militer 30 tahun ke depan

Bagaimana Militer di bawah kontrol Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai titik awal menangkal dan merespon ancaman dan tantangan 30 tahun ke depan? Eranya juga dalam ruang evolusi Darwinisme sosial, struggle for life untuk menciptakan predikat mulia the struggle for power and peace bagai para pendahulunya. Ancaman pertama, Xi Jinping Presiden Cina Komunis berniat menganeksasi NKRI dari kuasa Pribumi.

Misi Xi Jinping ini menurut perspektif intangible operation diemban Ministry and Security State (MSS) dan Military Intelligence Department (MID) Cina Komunis. Xi Jinping, MSS, dan MID menggunakan ECI sebagai kaki tanganya untuk mempengaruhi semua national stakeholders di Trias Politica, Partai Politik: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP; Ormas yakni NU, organisasi Gereja, MUI dipecah; kalangan organisasi profesi Kadin, HIPMI, Gapensi, Apindo, dan IDI; pada aparatus Kamnas di Militer, Intelijen dan Polri; Universitas yakni UI, Atmajaya, dan UKI; sejumlah LSM Lembaga Eijkmen melalui riset DNA-nya, yang membawakan misi Hukum, HAM, Demokrasi, dan Kemanusiaan. Sering kita dengar slogan hoax dari pemerintah anak bangsa, ujaran kebencian, intoleran, diskriminatif, SARA, Rasis, manusia tidak pernah minta jadi etnis tertentu dari Tuhan dan lain seterusnya, lahir, hidup, berusaha, dan mati di Indonesia; Walisongo adalah ECI dan Laksamana Cheng Ho penyebar Islam di Nusantara. Tetapi karena aparatus Kamnas manggut manggut merespons semua hoax itu, maka masyarakat menerimanya sebagai kebenaran juga. Pribumi menyebut Cina ditangkap Polisi, dituduh Rasis, ujaran kebencian, SARA.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Semuanya itu adalah ancaman politik etnisitas kaum imigran ECI dan Cina Komunis serta bangsa bangsa lainnya yang menjadi warga negara Indonesia juga asing tentunya. Mereka bertujuan mendekris hak kedaulatan politik Pribumi atas negaranya: Pribumi pendiri negara; Pribumi pemilik negara; Pribimu penguasa negara. Propaganda itu mereka tempuh melalui aktivitas operasi intelijen asing yang langsung menohok kedaulatan negara dan meruntuhkan kewibawaan pemerintah. Negara asing ini ialah Amerika Serikat-CIA, Russia-FSB, Inggris-MI6, Perancis-DGSE, Israel-Mossad, Jerman-BND, Jepang-CIRO, Korsel-NIS, Australia-ASIS dan Singapura-SIS. Mereka melemahkan makna national power Hans J. Morgenthau di Indonesia melalui global current issues Demokrasi, Konstitusi, Hukum, dan HAM. Mengapa begitu mudah mereka melakukan aktivitas Positive Clandestine Intelligence (PCI) di Indonesia? Lantaran tidak ada Undang-undang Kamnas.

Tantangan Militer dewasa ini ialah bisakah Militer bertindak bagai Panglima Besar Sudirman dan Natsir untuk tetap memberitahukan kepada dunia bahwa Negara Proklamasi masih ada? Padahal saat itu Soekarno-Hatta ditangkap Belanda. Keberhasilan keduanya menjadi dua titik historikal Bela Negara dan PBB menolak klaim Belanda telah mengauasai NKRI kembali. Militer mestinya berketetapan hati mengingatkan Jokowi yang asyik hand in hand dengan ECI dan Cina Komunis karena bujuk rayu investasi proyek infrastruktur di seluruh Indonesia 223 proyek? Tetapi kemudian Jokowi menghinakan Pribumi memuliakan ECI dan Cina Komunis. Padahal Pribumi pemegang kedaulatan negara yang diajarkan oleh J.J. Rousseau pada teori Kontrak Sosialnya bahwa kedaultan tak boleh dicabut juga dilarang dibagikan kepada bangsa lainnya khususnya ECI dan Cina Komunis, karena berbedaan asal usul kebangsaan menurut perspektif politik etnisitas.

Tantangan Militer Indonesia 30 tahun kedepan. Pertama, pengamanan sepenuhnya seluruh teritorial Darat, Laut, dan Udara. Kini semua teritorial (Laut misalnya), ini sangat mudah diterobos oleh maling ikan sekalipun. Apa lagi bila terobosan Militer bangsa lain akan sangat mudah. Kedua, pengadaan alutsista memanfaatkan kemampuan industri strategis pertahanan karya anak Bangsa Indonesia sendiri tetapi industri baja sebagai bahan dasar industri alutsita, Krakatau Steel sedang collaps. Ketiga, adaptatif dengan kekuatan teknologi industri strategis pertahanan AS, Inggris, Perancis, Russia, Jerman, Turki, Jepang, dan Korsel yang sudah menggunakan tekologi hasil Revolusi Industri 4.0. Keempat, tampil menjadi Militer the struggle for power and peace di Asia Pasifik bersama dengan AS, Rusia, Jepang, Korsel, Australia, dan Cina Komunis. Kelima, tetap menjadi alat negara yang profesional sebagai Militer dan profesional mengemban politik negara bagai para pendahulunya Gatot Mangkupraja, Letjen Urip Sumohardjo, Panglima Besar Jenderal Sudirma, Jenderal Nasution, Jenderal Soeharto, dan Jenderal A.M. Jusuf.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Militer agar konsisten dengan motto NKRI Harga Mati yang ditulis besar di gedung Sesko TNI, sekolahnya para pemimpin Militer saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa titik temu NKRI Harga Mati pada Pribumi bukan pada warganegara yang terbagi dua: Bangsa Indonesia dan Bangsa lainnya seperti ECI, Cina Komunis, Australia, Eropah, Afrika, AS, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu motto Militer dari Rakyat, untuk Rakyat, oleh Rakyat seyogyanya dirubah menjadi Militer dari Pribumi, untuk Pribumi, oleh Pribumi. Jadi apa bila Pribumi ada yang tersiksa bangsa lain untuk pembebasannya adalah NKRI Harga Mati dan yang maju di depan adalah Militer. Bukan seperti sekarang Pribumi penguasa negara dihinakan, ECI pengkhianat dimuliakan Jokowi.

Karena rakyat dalam perspektif politik etnisitas terbagi dua yakni rakyat pribumi dan rakyat asal bangsa lainnya. Itu sebabnya Militer seyogyanya menyadari perspektif ini agar Militer tidak terlibat dalam ruang pikir politisi yang masih tidak paham politik tetapi mereka menyandang predikat politisi nasional. Kini realitas sosial ini sedang menggiring aparatus Kamnas masuk ke ruang liberaliasasi kedaulatan NKRI dan melibatkan Militer melegitimasi NKRI sebagai Negara Koloni Bangsa Bangsa melalui penghapusan kata ‘asli’ pada pasal 6 ayat (1) UUD 1945 saat amandemen pada tahun 2002 serta terbitnya Impres Nomor 26/1998/tentang larangan penggunaan istilah Pribumi dan Non pribumi. Begitu juga di Kabinet, RT, RW, Kepala Desa, Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan wakil wakilnya seyogyanya tak satupun di antaranya dari kelompok ECI. Jika mereka keberatan, dengan tuduhan diskriminatif, Rasis, SARA, Intoleran, tidak Demokratis, melanggar HAM, persilahkan ECI keluar dari Indonesia mencari negara lain yang mau membagikan kedaulatan negaranya dan yang mau menjadikan negaranya sebagai Negara Koloni Bangsa Bangsa.

Oleh: M.D. La Ode adalah Ahli Politik Etnisitas, Dosen Universitas Paramadina Jakarta

 

 

 

 

 

Catatan Redaksi: Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak mewakili redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,081