NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasa menjelaskan bahwa upaya membatasi pemanasan global kurang dari 1.5°C membutuhkan perubahan nyata dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini lanjut dia, dinilai mampu berimplikasi pada strategi nasional implementasi NDC Indonesia.
Ia mengatakan bahwa berbagai perbedaan tingkat transisi hutan, karakteristik ekologis antar pulau, disparitas ekonomi antar wilayah dan perbedaan kondisi demografi serta dampaknya pada lingkungan, seperti kebutuhan air, pangan dan energi perlu menjadi pertimbangan dalam menterjemahkan hasil the Spesial Report on Global Warming of 1.5°C (SR15) di tingkat nasional maupun subnasional.
Berdasarkan dokumen First Nationally Determined Contribution (NDC) pada kondisi business as usual (BAU) emisi gas rumah kaca (GRK) mencapai 2,869 giga ton CO2e (equivalent) di tahun 2030 atau dengan pertambahan emisi tahunan sebesar 5% untuk periode 2010-2030.
“Total emisi GRK diproyeksikan berkurang menjadi 2,034 giga ton CO2e (reduksi 29% dari BAU) untuk unconditional motivation scenario. NDC Indonesia terdiri atas sektor yaitu energi, sampah, industrial process and product uses (IPPU), pertanian, dan kehutanan,” ungkap Mahawan Karuniasa dalam ketarangan persnya, Rabu (10/10/2018).
Baca Juga:
Indonesia Segera Ratifikasi Perjanjian Paris
AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris
7 Kunci Perjanjian Iklim Paris
Dirinya menjelaskan, total reduksi emisi yang ditargetkan pada tahun 2030 yaitu 0,834 giga ton CO2e (29%) untuk unconditional mitigation scenario dan 1.081 giga ton CO2e (38% sampai dengan 41%) dengan conditional mitigation scenario. Target reduksi emisi dalam implementasi NDC pada periode 2020-2030 memiliki berbagai tantangan baik pada tingkat nasional dan subnasional.
“Laporan The Third National Communication (TNC) of Republic of Indonesia mencatat bahwa total emisi CO2e di tahun 2014 sebesar 1.844 giga ton, atau setara dengan pertambahan emisi tahunan sebesar 13% pertahun pada periode tahun 2010-2014. Lebih tinggi dari perkiraan 5% pertahun untuk kondisi business as usual. Sebagai konsekuensinya, pada periode tahun 2015-2030, Indonesia perlu menjaga agar laju emisi GRK tahunannya berada pada tingkat 1% untuk mencapai target unconditional scenario dengan reduksi sebesar 29%,” terangnya.
Mahawan menambahkan, untuk mencapai target reduksi emisi 41% dibutuhkan laju emisi GRK -1% (minus 1%) dalam conditional scenario. “Artinya, puncak emisi GRK nasional perlu tercapai pada periode implementasi NDC di tahun 2020-2030 untuk mampu berkontribusi pada upaya membatasi pemanasan global kurang dari 1.5°C,” kata dia.
Menggeser beban sektor kehutanan pada sektor energi dalam NDC Indonesia akan menjadikan upaya yang lebih besar dalam pengendalian perubahan iklim menjadi rasional. Disisi lain, restorasi ekosistem hutan jelas memberikan manfaat pada masyarakat, antara lain menjaga keanekaragaman hayati, menjaga dan memperbaiki sumber daya alam serta jasa lingkungan.
Mempertimbangkan tantangan saat ini dan yang akan datang dalam menghadapi beberapa tahun ke depan yang sangat penting bagi umat manusia, pemerintah Indonesia bersama seluruh pemangku kepentingan perlu membangkitkan kesadaran dan meningkatkan kapasitas nasional dan subnasional dalam menghadapi perubahan iklim. Para ahli perubahan iklim Indonesia juga mendesak penguatan kemitraan global terutama untuk mendukung negara berkembang dalam implementasi NDC dalam konteks Paris Agreement.
APIK Indonesia Network adalah jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia termasuk para praktisi dengan cakupan kegiatan meliputi bidang pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. APIK Indonesia Network beranggotakan 472 ahli dan praktisi yang berasal dari 101 universitas, lembaga penelitian, institusi pelatihan, kementrian daerah, dan entitas terkait lainnya dari seluruh Indonesia.
Editor: Romadhon