NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), menurut Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng terus menunjukkan performa yang mengkhawatirkan. Ini menyusul utang-utang BUMN listrik ini terus menumpuk.
Daeng menjelaskan kinerja PLN sendiri sebelumnya telah menaikan tarif dasar listrik (TDL) atau mencabut subsidi terutama untuk golongan 900 volt ampere (VA). Menurut dia, mestinya kebijakan berutangnya tak terlalu tinggi yang berdampak membebani rakyat.
“Tapi anehnya, kebijakan tersebu terus dilakukan, agar bisa punya kemampuan untuk berhutang. Seperti melakukan revaluasi aset. Itu dilakukan hanya untuk memperlebar ruang berhutang bagi PLN,” ungkap Daeng dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat (8/12/2017).
Dengan melakukan revaluasi aset, sambung dia, memicu aset PLN jadi memabengkak. Nilai assetnya kini menjadi Rp. 1.250 triliun. Tapi tujuan dari kebijakan itu hanya untuk mempermudah perseroan untuk berhutang saja. Makanya, kata Daeng, pihak PLN selalu berdalih rasio utangnya atau debt to equity ratio (DER)-nya selalu diklaim masih aman.
“Padahal dari sisi capaian laba PLN, mereka tidak mungkin membayar utang raksasa yang PLN menggunung itu. Bahkan yang ada, cepat atau lambat PLN akan habis dijarah dan jatuh ke tangan asing, oligarki politik dan kartel serakah,” sambungnya.
Menurut catatan, total utang PLN telah mencapai Rp. 500,175 triliun. Belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang bakal menerbitkan surat utang (obligasi dan sukuk) senilai Rp. 10 triliun.
“Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi asset itu telah lebih dari 100% dari total assetnya,” ungkapnya.
Pertanyaannya, sampai kapan perusahaan ini dapat membayar utangnya? Meskipun seluruh keuntungan perseroan dialokasikan untuk bayar utang, namun dalam tempo 50 tahun belum tentu bisa lunas.
Makanya, itulah mengapa harga listrik terus digenjot naik tanpa memikirkan daya beli masyarakat. “Bahkan kenaikan listrik sendiri telah mengesampingkan kondisi penurunan harga batubara, gas dan minyak yang merupakan unsur biaya terbesar dalam PLN selama ini,” tandasnya. (*)
Editor: Romandhon