NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerintah Indonesia nyaris tak bersuara terhadap peristiwa serangan militer di Suriah yang dilancarkan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis pada 14 April lalu. Melalui sebuah statemennya, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu RI) justru cenderung mengeluarkan pernyataan diplomatis terkait isu dan konflik yang berkecamuk di Suriah. Pernyataan itu pun dilontarkan sebelum serangan dilancarkan. Ambil contoh misalnya Menlu RI Retno Marsudi menyebut Indonesia menyampaikan kecaman keras penggunaan senjata kimia di Suriah oleh pihak manapun. Padahal, isu soal senjata kimia ini, seperti disampaikan Rusia, Suriah dan Iran adalah sebatas propaganda yang tak berdasarkan fakta. Di sisi lain, konflik di Suriah pun dinilai banyak pihak murni karena persoalan gas dan minyak.
Pengamat geopolitik M Arief Pranoto mensinyalir, Suriah menjadi rebutan negara-negara adidaya seperti AS, Uni Eropa, Rusia dan Cina lantaran negara yang dipimpin Presiden Bashar Al-Assad memiliki geoposisi yang berada di pertengahan simpul jalur sutra (silk road).
Baca juga: Motif Serangan AS dan Sekutu Terhadap Suriah Bukan Faktor Senjata Kimia
Sebab kedua, kata Arief, perebutan Suriah ialah faktor geopolitics pipeline. Tak boleh disangkal, bahwa akibat geoposisi yang strategis tersebut, Suriah itu dilalui banyak pipa minyak dan gas yang sifatnya lintas negara bahkan antarbenua. Setiap hari, berapa juta barel dari berbagai negara menuju negara lain yang melintasi Suriah? Menurut salah satu sumber Global Future Institute (GFI) di Jakarta, pemerintah Suriah mengutip sekitar $5/barel. Uang jago atau fee,” kata dia dikutip dari catatan bertajuk Memaknai Serangan Militer Barat ke Suriah, Jakarta, Rabu (17/4/2018).
Tiga wilayah yang terkenal paling melimpah kekayaan minyak di Suriah ialah Deir ez-Zor, Hasakeh dan Homs. Sialnya, usai AS dan sekutu membombardir Suriah harga minyak justru turun. Mengutip Reuters, Selasa (17/4), harga minyak mentah Brent berjangka turun ke level USD 71,42 per barel di mana sebelumnya USD 72,58 per barel. Begitu juga harga minyak berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) dari USD 67,39 per barel menjadi USD 66,22 per barel. Padahal, sebelum serangan dilancarkan ke Suriah harga minyak meningkat hampir 10 persen.
Baca juga: Selain Dalih Senjata Kimia, Serangan AS dan Sekutu Ditujukan Kepada Presiden Assad
“Selama ini perang memang selalu menjadi landasan bagi kenaikan harga minyak mentah. Harapan yang memang terdengar keji, namun itulah kenyataan bahwa sistem ekonomi dianut dan rezim minyak selama ini adalah serangan terhadap kemanusiaan,” kata pengamat ekonomi Salamuddin Daeng dikutip dari keterangannya, Rabu (18/4/2018).
Lalu siapa saja yang paling berharap harga minyak mentah dunia naik? Menurutnya sejauh ini dua negara yang terang-terangan mengharapkan harga minyak naik adalah Arab Saudi dan Indonesia. Pasalnya, kedua negara ini sangat menggantungkan penerimaan negara dari minyak. Kedua negara ini mengalami tekanan fiskal yang cukup hebat akibat pelemahan harga minyak dalam dua setengah tahun terakhir.
Baca juga: AS, Inggris dan Perancis Telah Memulai Perang Dunia Ketiga
Dia menjelaskan, Arab Saudi membutuhkan kenaikan harga minyak mentah dalam rangka mencapai keseimbangan dalam anggaran belanja negaranya yang tengah sekarat dan sekaligus sebagai landasan valuasi Saudi Aramco dalam melakukan IPO dan landasan bagi pemerintah negara ini untuk mencetak utang besar di tahun 2018.
Sementara Indonesia jelas membutuhkan kenaikan harga minyak mentah global untuk menambah kantong APBN yang berada pada situasi yang sangat buruk akibat tekanan utang jumbo. Sri Mulyani menyatakan setiap kenaikan 1 dolar harga minyak dunia, penerimaan APBN naik Rp 1,1 triliun netto.
Baca juga: Tahun 2030, Semua Mobil Yang Dijual di Jerman Harus Bebas Emisi
“Harapan Menteri Keuangan Indonesia ini cukup membahayakan bagi nasib hampir separuh rakyat Indonesia yang menginginkan agar harga minyak mentah turun agar biaya produksi BBM dalam negeri menjadi rendah dan harga BBM pun bisa diperoleh rakyat dengan harga yang lebih murah,” bebernya.
Sialnya, Dewi Fortuna tampaknya sedang tidak berpihak setelah serangan 105 rudal jelajah AS dan sekutu terhadap Suriah. Sebab, serangan dahsyat yang menggunakan rudal jelajah JASSM, Tomahawk dan Storm Shadow ternyata tidak memicu kenaikan harga minyak. “Padahal, dalam pengalaman sebelumnya rencana serangan saja sudah sanggup membuat harga minyak melompat tinggi. Sekarang serangan telah terjadi berkali-kali harga minyak malah turun,” ungkapnya.
Kata dia, dunia memang tengah berubah. Rezim minyak adalah masa lalu. Penguasa penguasa minyak sudah tua renta untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Rezim Petrodolar telah berakhir, minyak telah ditendang menjadi bahan bakar semata, sebagimana dolar menendang emas menjadi perhiasan semata ketika rezim Petrodolar dimulai.
Baca juga: Indonesia Tidak Boleh Menjadi Negara Gagal Dalam Globalisasi Gelombang III
Minyak telah mengalami over suplay sehingga negara-negara OPEC berebut peningkatan kuota yang semakin menghantam minyak ke level harga yang lebih rendah. Di luar OPEC, Amerika Serikat malah meningkatkan produksi mereka di saat harga minyak jatuh dam membawa negara konsumen minyak terbesar di dunia tersebut menjadi produsen terbesar saat ini.
Bukan hanya itu, dunia telah berubah lebih dalam lagi. Berbagai negara sudah mulai meninggalkan minyak dan beralih ke mobil listrik Tesla. Baru-baru ini, Elon Musk meluncurkan truk semi-tesla all-electric dengan jangkauan 500 mil dan semi-otonom, yang akan beroperasi dengan biaya per mil, lebih rendah dari kereta api.
Baca juga: Membaca Tanda-tanda Zaman Ambruknya Rezim BBM Dunia
Bulan lalu, Royal Dutch Shell mengakuisisi Amsterdam yang berbasis NewMotion yang memiliki titik pengisian kendaraan listrik terbesar di Eropa dengan lebih dari 50.000 stasiun. Kesepakatan ini memberi Shell penetrasi langsung ke pasar pengisian. NewMotion beroperasi di 13 negara dan telah meluncurkan poin pengisian EV cepat ke jaringan SPBU Shell.
“Ini adalah the last oil. Jangan kebanyakan ngelindur, selamatkan minyak untuk bangsa sendiri saja,” cetusnya. (red)
Editor: Eriec Dieda