NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sidang praperadilan Setya Novanto Jilid II digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, (7/12/2017). Agendanya adalah pembacaan petitum permohonan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya.
Dalam permohonannya, Setnov mempermasalah status penyidik Ambarita Damanik. Ambarita merupakan penyidik KPK yang turut menangani penetapan tersangka Setya Novanto yang kedua kalinya ini.
Ketut Mulya Arsana menuding bahwa Ambarita telah menyalahgunakan wewenang atau abuse of power. Pasalnya Ambarita dinilai tak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dari kasus korupsi e-KTP yang menetapkan kliennya sebagai tahanan KPK.
“Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang tidak berwenang melakukan penyidikan,” tutur Ketut.
Abuse of power itu, kata Ketut, bermula pada 1 Oktober 2012 silam, di mana termohon dalam hal ini KPK, mengeluarkan keputusan KPK No. 572/01-54/10/2012 tentang pengangkatan pegawai negeri gang dipekerjakan menjadi pegawai tetap pada KPK.
“Yang pada intinya, termohon mengangkat 28 orang, baik dari polisi atau PNS. Dalam pengangkatan itu para penyidik yang berasal dari kepolisian, statusnya masih sebagai penyidik polri dan belum mengajukan pemberhentian sementara dari polri,” katanya.
Kemudian, Ketut melanjutkan, bahwa pada 11 Juni 2014, termohon mengirimkan surat kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian dengan register surat bernomor R-2289/01-51/06/2014 perihal usul pemberhentian dengan hormat dari dinas polri atas nama Ambarita Damanik.
“Tanggal 25 November 2014, Kapolri mengeluarkan salinan keputusan Kepolisian Negara Republik Indonesia No.Kep/948/XI/2014 tentang pemberhentian dengan hormat dari dinas polri,” ujarnya.
Menurut Ketut, Ambarita atau penyelidik dan penyidik lainnya yang diangkat sendiri oleh KPK bukan merupakan penyidik yang berwenang untuk menyidik kasus korupsi e-KTP. Karena faktanya, Ambarita bukan penyidik polri dan penyidik PNS yang berwenang menjadi penyidik secara Undang-undang (UU), baik KUHAP maupun UU KPK.
“Sehingga pengangkatan penyidik sendiri di luar penyidik polri yang dipekerjakan pada KPK dan PNS adalah bertentangan dengan UU dan merupakan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power,” ucap Ketut.
Ketut berdalih, apabila KPK ingin memiliki penyidik sendiri tentu harus mengubah UU. Selama ini, kata dia belum ada aturan yang tegas mengenai pengangkatan penyidik sendiri atau independen oleh KPK.
“Penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah dan cacat hukum karena penyelidik dan penyidik yang ditunjuk tak sesuai ketentuan UU,” kata Ketut.
Karenanya, Ketut menegaskan surat perintah penyelidikan (Sprindik) dan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Setya Novanto adalah tidak sah, sesuai Pasal 39 ayat 3 UU KPK.
“Yang hanya mengakui penyelidik, penyidik, dan penuntut umum dari instansi kepolisian kejaksaan yang diberhentikan sementara dari instansi tersebut selama menjadi pegawai KPK, sehingga Sprindik dan SPDP itu tidak sah menurut hukum,” pungkasnya.
Reporter: Restu Fadilah
Editor: Romandhon