Politik

Nasionalisme Terjadi Erosi, NU Upayakan Sejumlah Solusi

NusantaraNews.co, Lombok – Situasi kebangsaan di Indonesia mutakhir dinilai cenderung diwarnai oleh gejala erosi nasionalisme. Gejala negatif ini sebagai akibat dari berseminya ideologi fundamentalisme agama yang memupuk radikalisme serta dominasi ideologi fundamentalisme pasar yang memproduksi ketimpangan dan frustasi sosial. Gejala ini mendorong lahirnya tema “Menguatkan Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga”.

Demikian hal disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA. dalam pidato pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama Tahun 2017 (Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017), Lombok, Jumat, 23 November 2017.

“Dalam situasi ekonomi di mana yang kuat memangsa yang lemah, sindrom kalah dan tersingkir akan memicu radikalisme dan amuk sosial yang bisa dibungkus dengan jargon-jargon agama. Selain faktor paham keagamaan, deprivasi sosial-ekonomi jelas berperan penting di dalam tumbuhnya radikalisme,” terang Prof Said.

Dalam kaitan ini, lanjut Kiai Said, PBNU mengapresiasi dan mendukung pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai ikhtiar mengatasi radikalisme, tetapi upaya deradikalisasi harus berjalan seiring dengan ikhtiar Pemerintah meningkatkan kesejahteraan sosial melalui penyediaan lapangan kerja yang luas, menekan kesenjangan dan mendorong pemerataan, memperbanyak pelayanan dan fungsi jaminan sosial, serta menggalakkan program pembangunan ekonomi inklusif.

Baca Juga:  Tak Netral di Pilkada, LMP Laporkan PPDI Tulungagung Ke Bawaslu

PBNU pun, tegas Kiai Said, mendukung upaya-upaya Pemerintah menekan ketimpangan dengan pembangunan infrastruktur yang massif di berbagai daerah, menjalankan restrukturisasi agraria melalui program legalisasi aset (sertifikasi) dan redistribusi lahan, serta meningkatkan basis penerimaan pajak dari kalangan kaya dan pemilik uang. Upaya deradikalisasi melalui jalur politik kekuasaan dengan mencegah radikalisme dan menindak para pelaku teror harus simultan dengan jalur redistribusi kesejahteraan melalui program-program pembangunan ekonomi inklusif.

“Hal ini agar NKRI berdasarkan Pancasila semakin bersatu dan terhubung bukan hanya raganya tetapi juga jiwanya, bukan hanya politiknya tetapi juga ekonominya, bukan hanya teritorinya tetapi juga pembangunannnya. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Islam menjadi kekuatan integratif bukan disintegratif. Islam bersenyawa dengan nasionalisme, bukan Islam yang subversif terhadap NKRI dan ingin menggantikannya dengan Khilâfah. Inilah pokok gagasan Islam Nusantara menuju Indonesia bersatu, adil, dan makmur,” terangnya.

Kiai Said menambahkah, bahwa PBNU juga mengapresiasi Presiden Jokowi yang mengakui jasa dan saham santri dalam berdiri dan tegaknya NKRI dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Baca Juga:  Debat Pilgub di Pilkada 2024, Polda Jatim Siagakan 1.284 Personel

“Santri dan pesantren telah terbukti dan teruji dalam perjuangan nasional dengan mengusung slogan Hubbul Wathan minal Iman (nasionalisme bagian dari iman). Sebelum menggelorakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, kaum santri telah menetapkan Nusantara sebagai Dârus Salâmpada tahun 1936, yang mendasari legitimasi fikih bagi berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila pada 1945. Pada 1953, kaum santri menggelari Presiden Indonesia sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati, karena itu pemberontakan DI/TII berarti bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/84, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan NKRI final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah),” ungkapnya.

Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 30