NusantaraNews.co, Jakarta – Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita berrencana menerapkan kebijakan dimana ritel-ritel modern boleh salurkan barang ke warung-warung tradisional mulai Oktober 2017 mendatang. Alasannya agar warung memperoleh harga yang murah karena langsung memperoleh barang dari distributor besar.
Untuk kebijakan tersebut, menurut pantauan gerakan koperasi bersama seluruh elemen masyarakat sipil, Mendag rencananya akan menggandeng peritel besar seperti Alfamart, Indomaret dan Hypermart yang jaringan gerainya tersebar dimana-mana.
“Kebijakan tersebut nampak menolong warung tradisional dan masyarakat sebagai konsumen. Namun sesungguhnya dengan kebijakan tersebut, Mendag justru memuluskan jalan bagi ritel-ritel modern untuk mengkooptasi warung-warung tradisional melalui skema distribusi barang,” tegas Firdaus Putra, HC. selaku Direktur Kopkun Institute yang tergabung dalam Elemen Masyarakat Sipil melalui pernyataan bersama yang diterima, Kamis (28/9/2017).
Elemen Masyarakat Sipil menemukan sesuai hasil analisanya bahwa, selama ini keberadaan pasar dan ritel/ warung tradisional tergerus dengan massifnya ritel modern berjejaring di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perindusrian pada tahun 2007 dan Kementrian Perdagangan pada tahun 2011 jumlah pasar tradisional di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis dari tahun 2007-2011. Pada tahun 2007, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450. Tapi pada tahun 2011, jumlahnya tinggal 9.950. Di sisi lain Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga merilis kenaikan jumlah retail modern yang cukup signifikan tahun 2007-2011. Kenaikannya hampir delapan ribu retail modern.
“Jadi, pasar tradisional mengalami penurunan lebih dari tiga ribu, sedangkan pasar modern mengalami kenaikan sekitar delapan ribu,” kata Firdaus.
Menrut dia, tergerusnya pasar dan ritel/ warung tradisional disikapi oleh berbagai Pemerintah Daerah (Pemda) dengan melakukan moratorium pendirian ritel modern khususnya skala mini market. Beberapa kota yang melakukan moratorium seperti: Kab. Banyumas, Kab. Sumenep, Kab. Sukoharjo, Kab. Kuningan, Kab. Bogor, Kab. Sragen, Kab. Pangandaran dan berbagai kota/ kabupaten lain di Indonesia.
“Ditambah Pemerintah Pusat melakukan pembatasan pemilikan ritel modern yang melakukan penambahan jaringan. Dimana 40 persen harus dimiliki oleh masyarakat selaku pemawara laba yang akan dimasukkan dalam revisi Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan Pasar Modern dan Tradisional.” imbuhnya.
Kebijakan-kebijakan tersebut, kata dia, membuat ritel modern berjejaring tidak bisa menambah toko yang secara mandiri dimilikinya. Hasilnya adalah mereka membuat strategi berbeda: distribusi barang. Darah dari bisnis ritel adalah turn over barang atau tingkat penjualan produk suatu toko. Sehingga toko sekedar ruang pajang (display) bagi produk-produk tersebut. Dengan cara demikian, distribusi produk ritel modern ke warung tradisional sama dengan melakukan kooptasi pasar tradisional.
“Dengan dukungan jalur distribusi dan sistem yang modern, kooptasi tersebut akan berdampak sistemik secara jangka panjang dimana pasar tradisional akan semakin tergerus omsetnya. Sedangkan bagi pemilik warung tradisional, kooptasi hanya memposisikan mereka sebagai gerai mini dari ritel modern. Masyarakat mungkin akan menikmati harga yang lebih kompetitif dari skema distribusi tersebut,” papar Firdaus.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman