NUSANTARANEWS.CO – Siapa yang berwenang mengeksekusi hukuman kebiri? Tugas Polisi melalui Dokter Polisi atau kah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hal ini menjadi perdebatan hangat.
Menanggap perdebatan tersebut, IDI menolak jika ditunjuk pemerintah sebagai eksekutor hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hal itu disampaikan Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/6/2016) lalu dengan pertimbangan pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia. “Kita tidak menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter,” ujar Marsis.
Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Netas S Pane menuturkan penolakan IDI sebagai pelaksana hukuman kebiri merupakan hal yang wajar. “Tugas eksekusi kebiri terhadap narapidana predator seks adalah tugas Polri, melalui Kedokteran Kepolisian (Dokpol) dan bukan tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jadi wajar jika IDI menolak melakukan kebiri,” ujar Neta di Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Indo Police Watch (IPW) mengingatkan, salah satu tugas Polri adalah melakukan eksekusi, setelah kejaksaan mendapat ketetapan hukum yang inkracht dari Mahkamah Agung (MA). “Dalam pelaksanaan hukuman mati misalnya, aparat kepolisianlah yang melakukan eksekusi. Sebab itu dalam eksekusi kebiri terhadap pelaku kejahatan seks, sangat wajar jika Polri yang melaksanakannya,” terangnya.
Baca: Hukuman Kebiri Melanggar Kode Etik Kedokteran
Menurut Neta, dalam hal ini tentu Dokpol sebagai unit kerja Polri, yang profesional di bidangnya yang harus menjadi pelaksana eksekutor. Untuk itu Dokpol perlu menyiapkan tim secara profesional agar eksekusi berjalan lancar. Jika negara sudah memutuskan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seks, Dokpol segera melakukannya. Pelaksanaan eksekusi kebiri tentunya harus dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk Dokpol. “Tim inilah yang datang ke lokasi pelaksanaan eksekusi,” sambungnya.
“Memang ada beberapa kendala yang dihadapi tim Dokpol dalam rangkaian pelaksanaan kebiri ini. Yakni, anggota Dokpol adalah para dokter. Setiap dokter pasti sudah mengucapkan sumpah dokter. Selain itu hukuman kebiri harus dilakukan oleh dokter yang kompeten (spesialis) karena kalau terjadi komplikasi merupakan risiko medik. Pertanyaannya kemudian, apakah dokter Polri yang melakukan tindakan kebiri melanggar sumpah dokter atau tidak, terkait dengan masalah etika atau tidak?,” jelas Neta melanjutkan.
Ditambahkan Neta, pada prinsipnya pelaksanaan eksekusi terhadap pelaku memang harus Polri yang melakukannya, termasuk eksekusi kebiri. Ketika negara sudah memberlakukan hukuman eksekusi mati atau kebiri, tanggungjawab etika dan masalah lainnya sudah diambil negara dan aparatur negara hanya sebagai pelaksana. Tentunya semua harus dilakukan setelah proses persidangan yang seadil adilnya, dengan hakim yang memegang teguh nilai nilai keadilan.
“Soal kebiri ini pemerintah sudah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang Peraturan Perlindungan Anak. Tujuannya untuk melindungianak anak Indonesia dari perilaku kekerasan seksual yang keji. Ada tiga PP di Perpu ini, yakni rehabilitasi sosial, PP kebiri, dan PP untuk pemasangan chip,” tandasnya. (er)