Cerpen: Agus Hiplunudin
(2)
Aku celingkukan, antrian itu begitu panjang. Sebagai pembuat autobiografi instingku dengan cepat bekerja, sambil menunggu giliran, diadili Tuhan, baiknya aku terlebih dahulu menulis autobiografi seseorang.
Tampak olehku, seorang tua dengan wajah sumringah, sedangkan kedua tangannya bersedakap dan dadanya sedikit membusung, seperti angkuh. Aku pikir barangkali dialah orang yang tepat untuk aku buatkan sebuah autobiografi. Akupun mendekatinya.
“Kok Bapak kelihatan gembira?” tanyaku dengan pena dan kertas tulis di tangan.
“Ia, dong. Aku’kan pewaris surga,” jawabnya pongah.
Dalam pikirku, kok Pak Tua ini, bisa tahu bahwa ia masuk surga, sedangkan Tuhan belum pula menghisabnya (menimbang amal baik dari amal buruknya). Tapi tak apalah, tugasku hanya membuat autobiografi.
“Siapa nama Bapak? Sekalian dengan tempat tanggal lahirnya,” tanyaku, tak mau membuang waktu.
“Namaku Kasiman, karena aku pernah ke Makkah sebanyak 2 kali, maka orang-orang sekampungku memanggilku ‘haji’. Tambah pula, karena aku memiliki banyak pondok pesantren, karenanya orang-orang memanggilku ‘kiai’. Jadi, nama lengkapku adalah: Kiai Haji Kasiman, atau bisa kau singkat menjadi K.H. Kasiman,” katanya sedangkan matanya melirik pada seorang perempuan cantik di mana ia menangis tiada henti.
“Oh aku lupa! Tempat lahirku Banten, 19….” sambungnya.
“K.H Kasiman, kenapa kau melirik pada perempuan itu?” tanyaku penasaran.
“Hahahaha, ia akan masuk neraka?” jawabnya mengejutkanku.
“Lah, kok Pak Kiai Haji bisa tahu?”
“Ia’kan pelacur.”
“Oh!”
Kini tibalah giliran Kiai Haji Kasiman, menghadap Tuhan, untuk diadili. Dan aku tetap sibuk dengan catatanku.
“Namamu Kasiman?”
“Betul, Tuhanku Yang Maha Tahu. Namun, karena aku sudah menunaikan haji sebanyak 2 kali, maka orang-orang memanggilku “haji”. Serta, karena aku memiliki banyak pondok pesantren orang-orang di negriku memanggilku ‘kiai’ jadi lengkap sudah namaku: Kiai Haji Kasiman,” ujarnya dengan nada suara yang lantang, penuh kepercayaan diri.
“Hahahahahaha,” Tuhan malah tertawa, dengan suaranya Yang Maha Agung. Membuat Kiai Haji Kasiman kebingungan.
“Semua gelar yang kau sandang selama kau hidup di dunia—semua itu tak perlu bagiku, dan tak usah kau sombongkan di hadapanku,” ujar Tuhan dengan gelegar suaranya Yang Maha Dahsyat. Membuat Kiai Haji Kasiman, merunduk, dari sekujur tubuhnya keluar keringat dingin, karena ketakutan. Namun, ketika angin neraka menerpa tubuh Kiai Haji Kasiman, seketika tubuhnya menjadi kering, dan Kiai Haji Kasiman menangis ketakutan.
“Apa yang telah kau perbuat di dunia?” tanya Tuhan.
“Aku hanya beribadah padamu Tuhan, aku berhaji, membangun pesantren agar manusia mengenalmu, aku shalat, dzikir, dan berpuasa,” jawab Kiai Haji Kasiman, kepercayaan dirinya tumbuh kembali.
“Selain itu?” tanya Tuahan, selanjutnya.
“Aku santuni anak yatim piatu.”
“Selain itu?”
“Aku kasih makan orang miskin.”
“Selain itu?”
Kiai Haji Kasiman, terdiam, ia merasa bingung, perasaannya tak ada lagi yang mesti ia katakan, selanjutnya ia kembali berujar: “Kau Maha Tahu, Tuhanku. Intinya seluruh hidupku hanya untuk-Mu.”
“Kau bohong!” bentak Tuhan, membuat Kiai Haji Kasiman terkencing-kencing dan hawa angin neraka kembali menerpa sehingga mengeringkan celana Kiai Haji Kasiman.
“Masukan, Kasiman kedalam neraka,” perintah Tuhan.
Kiai Haji Kasimanpun dijewer malaikat, diseret ke pintu neraka.
Secara diam-diam, dengan penuh hati-hati, mengendap-endap—seperti maling; aku mengikuti malaikat yang menjewer Kiai Haji Kasiman. Dan, ketika perjalanan ke neraka, Kiai Haji Kasiman sempat bertanya pada malaik tersebut.
“Malaikat, kenapa aku masuk neraka?”
“Karena kau pembohong!” jawab sang malaikat, kali ini matanya merah saga dan dari kupingnya mengeluarkan api menjilat-jilat. Dalam pikirku, ternyata malaikat tampang dan mukanya sangat menakutkan, bagi mereka penghuni neraka.
“Apa maksud Tuhan mengatakan aku pembohong?”
“Kau, beribadah selama di dunia bukan untuk Tuhan. Namun, untuk dirimu sendiri. Kau berhaji—hanya karena kau gila hormat dan ingin dipanggil haji. Kau membangun pesantren, mengurus anak yatim-piatu kemudian kau membentuk yayasan—tujuannya agar kau dapat bantuan dari sana-sini; dan bantuan itu kau pakai untuk dirimu sendiri. Kau bersedekah demi kehormatanmu, agar orang-orang mengenalmu sebagai dermawan. Bahkan dzikir dan doamu, hanya karena kau takut neraka dan inginkan surga. Jadi Tuhan tak sedikitpun bersarang di hatimu,” malaikat itu menjelaskan.
Selanjutnya, Kiai Haji Kasiman dilemparkan ke bara api neraka, di sana Kiai Haji Kasiman tidak sendirian, namun para koleganya selama ia hidup di dunia, ada juga di sana, terkapar-kapat di panggang siksa.
….Bersambung…
Baca: 3 Buah Cerita Bohong Dari Penulis Autobiografi (Bag. I)
Agus Hiplunudin, lahir di Lebak-Banten, 1986. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Etika Administrasi Negara di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung. Sekaligus sebagai Direktur Eksekutif SAF (Suwaib Amiruddin Foundation) periode 2017-2019. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) Politik Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017), Politik Era Digital (2017), Kebijakan, Birokras, dan Pelayanan Publik (2017), Filsafat Eksistensialisme (2017)—diterbitkan oleh Grahaliterata Yogyakarta. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015 SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017, Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Aroma Kopi dan Asap Rokok (NusantaraNews, 2017) tercecer pula dalam buku antologi kumcer. Adapun novelnya yang telah terbit; Dendam yang Indah (2017, JejakPublisher.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].