Jenderal Wiranto dan Prof Mahfud MD membantah Presiden Jokowi diktator di sebuah stasiun televisi swasta, Metro TV.
Tokoh yang dengan gamblang menyatakan Jokowi diktator ialah Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Tudingan itu presisi karena Busyro orang hukum, bukan politisi. Ia ketua KY yang pertama dan mantan Ketua KPK. Dan namanya sudah besar ketika melawan rezim Soeharto di Orde Baru. Antara lain yang monumental adalah ia jadi pengacara korban waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah yang heboh itu.
Sukar memang membantah Busyro. Bagaimana Wiranto mau membantahnya, karena selama hayatnya berada di kekuasaan otoriter, sampai Gus Dur mengasuhnya. Mahfud MD juga takkan mampu, karena Mahfud tak kunjung melawan diktator semasa Orde Baru.
Jokowi sendiri menyatakan dirinya bukan diktator. Bantahan yang wajar dan harus. “Mosok tampang begini disebut diktator?” katanya.
Lho, teori Lambrosso sudah 100 tahun lebih tak dipakai orang. Bahkan majelis hakim kasus Jessica tak menjadikan pertimbangan output teorema Lambrosso. Ilmu kriminologi Lambrosso yang masih dipakai hanya di Hollywood, penjahat mesti tampangnya menyeramkan. Castingnya didasarkan pada Lambrosso. Jessica juga mau dihukum dari Lambrosso. Karena ia garuk-garuk, yang dalam bukti ahli kepolisian, jemari Jessica memanjang dua kali lipat, oleh Hasiholan dipanggil bukti Mak Lampir. Manipulasi bukti luar biasa.
Tampang Hitler secara Lambrosso tak mungkin jadi diktator. Culun, lucu, kumis ditempel yang lalu dibikin lelucon di film Charlie Chaplin. Tak ada model kumis seperti itu sampai Hitler membikinnya.
Juan Peron tak punya tampang diktator, tapi toh dinobatkan oleh sosiolog se-dunia sosok fasis non-militer. Dengan cakapnya, Peron mengekploitasi istrinya Evita Peron, dan mengirim semua tentara radikal ke Malvinas, perang 100 hari, untuk bunuh diri. Orangnya juga culun. Dont cry Argentina, teriak Evita sesaat Peron diturunkan.
Robiespierre juga tak punya tampang diktator yang mampu mengirim 60 ribu orang ke hukuman mati. Bagaimana pendekar keadilan, pengacara yang membela orang kecil itu berubah menjadi diktator dengan juluk reign of terror (pemerintahan teror). Terakhir, Robespierre (Maximilien de Robespierre) digantung massa.
Sepanjang teorema Lambrosso, Jokowi tak terkecuali. Jika Lambrosso disingkirkan, diktator adalah tindakan, bukan style, gesture, maupun penampakan. Yang dimaksud Busyro, adalah tindakan penerbitan Perppu No 2/2017 tentang Ormas yang tanpa proses hukum. Bukan untuk bela khilafahnya HTI.
Saya setuju tindakan itu diktator. Dalam referensi ilmiah, diktator lebih ditinjau dari urusan bagaimana peraturan perundang-undangan dibuat dan dilaksanakan sebagai kebajikan. Dalam istilah Robiespierre ialah virtue (kebajikan). Namun kebajikan tanpa teror, kata Robespierre, adalah kekonyolan.
Perppu tanpa proses hukum adalah kebajikan tanpa teror. Agar tak konyol, negara kudu menteror warganya. Itu baru bajik. Terus? Batas antara negara dengan individu masyarakat hanya satu: hukum, law, rechts. Hilangkan saja itu!
Pemerintahan tanpa batas antara negara dengan individu masyarakat, adalah diktatorial. Itu kebajikan ala Robespierre, presiden pertama yang diproduksi Revolusi Bastille. Reign of teror!
Belajar dari Earl Warren
Tahun 1980, Amerika Serikat melakukan amandemen UU APP (Aksi Pornografi dan Pornoaksi). Rakyat berdebat. Para konservatif menghendaki tindakan lebih keras. Negara diusulkan boleh masuk ke rumah untuk menangkap orang yang lakukan kegiatan APP yang mengancam moral publik.
Para moderat, kaum pro choice menanyakan, sejauh mana negara boleh masuk ke rumah? Perdebatan berlangsung sengit antara kubu pro choice versus pro life.
Kita boleh belajar dari pidato Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren yang menghentikan perdebatan itu. Dan, inilah pidato monumental mantan Jaksa Agung yang paling populer sepanjang sejarah Amerika Serikat.
“Kita tidak boleh mengundang negara ke dalam rumah. Kita harus melindungi keluarga kita dari negara. Kita tak bisa dan tak boleh menangkap orang yang membaca novel porno di rumahnya sendirian“.
Hukum adalah batas antara negara dengan keluarga. Begitu hukum dihilangkan, dinding pembatas itu rubuh diganti dinding lain. Dinding pengganti itu disebut tirai besi di USSR, dan tirai bambu di RRC.
Penulis: Djoko Edhi Abdurrahman, Mantan Anggota Komisi Hukum DPR
Editor: Eriec Dieda/Ach.Sulaiman/Romandhon