NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri ESDM sedang bekerja untuk siapa setelah tambang Newmont jatuh ke tangan taipan? Apakah sektor migas akan jatuh ke tangan taipan juga?
Demikian pertanyaan kritis yang dilontarkan pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng seperti dikutip keterangan tertulisanya, Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Salamuddin mengungkapkan, sektor migas Indonesia tengah berada dalam situasi krusial, bukan hanya karena semakin menurunnya produksi migas nasional, namun juga akan berakhirnya kontrak migas atau Production Sharing Contract (PSC) yang selama ini memproduksi migas untuk Indonesia.
Namun, kata dia, situasi krusial ini seolah lepas dari pantauan publik. Konsentrasi masyarakat malah beralih ke perilaku Menteri ESDM yang belakangan ini heboh di media sosial dan menjadi bahan perbincangan di jajaran kementrian sendiri.
Baca: Krisis Energi, Pemerintah dan DPR Dituntut Segera Tuntaskan Revisi UU Migas
“Mengapa? Belakangan ini Mr. Green penguasa ESDM sedang heboh di media sosial karena postingan foto, video yang selalu didampingi oleh perempuan cantik puteri Indonesia dalam berbagai pertemuan resmi, kunjungan resmi dan agenda perjalanan dinas lainnya. Entah dalam kapasitas apa mantan puteri Indonsia tersebut wara-wiri bersama Mr. Green. Namun yang pasti ini telah menyita perhatian publik nasional yang luas. Publik mengkhawatirkan yang bersangkutan membawa agenda khusus atau titipan,” kata Salamuddin.
Ia menjelaskan, lebih dari 32 kontrak migas akan berakhir sampai dengan tahun 2024, kontrak menyumbangkan sedikitnya 75 persen produksi minyak nasional. Sebanyak 27 kontrak akan berakhir pada tahun 2021. Kontrak yang berakhir ini harus jatuh ke tangan pemerintah sebagaimana amanat Konstitusi, UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, Peraturan Menteri ESDM dan isi dari konrtrak itu sendiri.
“Di lain pihak, perpanjangan kontrak migas, pengalihan kontrak adalah bancakan yang besar,” cetusnya.
Baca: Pengamat Energi: Minyak Paling Strategis, Ada di Indonesia
Dengan demikian maka kontrak-kontrak yang berakhir secara otomatis akan diambil-alih oleh SKK Migas sebagai perpanjangan tangan negara untuk selanjutnya diserahkan pengelolaan secara penuh oleh PT. Pertamina yang merupakan perusahaan yang sahamnya masih 100 persen dikuasai oleh negara.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia semua kontrak PSC yang akan berakhir dapat diperpanjang paling paling lambat 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Dengan demikian, kontrak-kontrak tersebut dapat diperpanjang semuanya pada masa pemerintahan Jokowi yang akan berakhir Tahun 2019 mendatang.
“Publik mengkhawatirkan hilangnya fokus pemerintah untuk mempersiapkan segala sesuatu sehingga kontrak migas yang akan berakhir tersebut dapat kembali sepenuhnya ke tangan negara. Jika publik terus disibukkan oleh kehebohan menteri ESDM maka akibatnya agenda terselubung atau titipan masuk ke dalam ESDM,” paparnya.
“Ditambah lagi Menteri ESDM telah mengeluarkan Permen No 8 tahun 2017 tentang Gross Split. Suatu skema pengelolaan migas yang hendak memisahkan sepenuhnya negara dari migas. Dengan skema ini negara lepas tangan secara penuh dan hanya menerima pajak dan bagi hasil migas. Negara tidak ikut mengontrol produksi dan biaya produksi migas,” lanjutnya. Baca: Newmont NTB Dilacurkan ke Cina
Dengan demikian, Salamuddin menambahkan, tidak menutup kemungkinan kontrak-kontrak migas yang akan berakhir akan jatuh ke tangan para taipan yang tengah mengincar ESDM sebagai satu-satunya sektor yang belum jatuh sepenuhnya ke tangan mereka. Sektor keuangan dan perbankan sudah jatuh ke tangan taipan.
“Sektor properti sudah dikuasai taipan, sektor perkebunan telah jatuh ke tangan Taipan, Newmont telah jatuh ke tangan taipan, Freeport menurut banyak analis akan jatuh ke tangan Taipan. Sekarang tinggal sektor migas adalah last resource, harta terakhir bangsa Indonesia yang sekarang tengah di tangan Ignasius Jonan dan akan menentukan dia menteri ini bekerja untuk siapa? Jangan sampai negara dan rakyat kurus kering, tapi taipan bermandikan uang dan penguasa bermandikan suap,” pungkasnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda