Oleh Sayidiman Suryohadiprojo
NUSANTARANEWS.CO – Makin lama Eropa makin memainkan perannya sendiri, lepas dari AS. Mungkin sekali Inggeris masih berusaha agar Eropa masih kuat ikatannya dengan AS, hal mana menjadi kepentingannya untuk dapat mengurangi peran dominan dari duet Jerman-Perancis. Akan tetapi politik hegemoni AS yang dirintis kaum neokon dan dilaksanakan presiden George W.Bush makin menjauhkan Eropa dari AS. Sedangkan di Inggeris sendiri makin banyak orang yang mengecam sikap perdana menteri Tony Blair yang dinilai terlalu dekat atau bahkan mengekor kepada presiden Bush. Meskipun begitu, sekalipun George Brown sebagai pengganti Tony Blair tidak sedekat pendahulunya dalam sikapnya terhadap AS, ia tidak akan menjauhkan Inggeris dari AS. Demikian pula di Eropa terjadi perkembangan yang berbeda arah dari sebelumnya. Dua pimpinan pemerintahan baru, yaitu Angela Merkel sebagai PM Jerman maupun Nicolas Sarkozy sebagai Presiden Perancis, nampaknya mengubah sikap pendahulu mereka terhadap AS. Dua pimpinan baru ini menunjukkan langkah-langkah nyata membawa negaranya lebih dekat kepada AS. Bahkan pernyataan Sarkozy terhadap Iran dinilai banyak pihak sebagai ancaman, hal mana tentu amat menyenangkan bagi AS dan Israel.
Namun demikian, karena Eropa juga sangat berkepentingan dengan suplai minyak Timur Tengah, maka mereka akan mengusahakan agar keadaan kawasan itu makin damai. Itu sebabnya Inggeris pun tidak mendukung AS kalau ia menyerang Iran. Eropa juga hendak mengusahakan penyelesaian Masalah Palestina yang disadarinya menjadi kunci perdamaian Timur Tengah. Hal ini makin penting bagi Eropa setelah terbukti adanya perilaku Russia yang menggunakan suplai gas dan minyaknya sebagai leverage politik.
Eropa belum banyak artinya sebagai kekuatan pertahanan. Akan tetapi sebagai kekuatan ekonomi Eropa dapat berpengaruh besar kepada perkembangan dunia. AS akan sangat terpukul, umpamanya, kalau dunia beralih dari penggunaan dollar AS ke mata uang Euro.
Russia di timur Eropa dilihat dari sudut geografi maupun kultural adalah bagian Eropa. Akan tetapi dalam kenyataan politik dan ekonomi, Russia masih merupakan kekuatan tersendiri. Potensi Russia yang besar dalam berbagai komoditi, khususnya gas dan minyak bumi, memungkinkannya menjalankan perannya sendiri. Kekuatan militer sebagai warisan Uni Soviet mungkin tidak cukup untuk membuatnya adidaya militer, tetapi tetap ada potensi untuk berkembang ke arah itu kalau kondisinya, khususnya ekonomi, memungkinkan.
Meskipun Russia bukan anggota Uni Eropa, namun hubungannya dengan Jerman cukup dekat. Demikian pula nampak pendekatan antara Perancis dengan Russia. Dapat dilihat bahwa hubungan Russia dengan AS menjadi kurang akrab. Nasionalisme Russia menguat dengan perkembangan ekonominya dan posisinya yang makin penting dalam suplai minyak. Sebab itu Russia sangat gusar karena AS membuat posisi atau bahkan pangkalan militer di negara Asia Tengah yang dulu bagian Uni Soviet dan merupakan sumber minyak yang cukup penting. Juga usaha AS agar makin banyak negara Eropa Timur masuk NATO, padahal dulu mereka sekutu Uni Soviet dalam Pakta Warsawa, amat merisaukan Russia. Ucapan presiden Putin yang amat tajam terhadap AS pada bulan Februari 2007 ini membuat orang berpikir apakah akan ada lagi perang dingin, tetapi sekarang antara Russia dan AS.
Akan tetapi yang paling menentukan adalah hubungan Russia dengan China, karena berpengaruh langsung terhadap ambisi AS. Kalau dengan kekayaan uangnya China menjadi pembeli besar dari berbagai komoditi Russia, seperti minyak dan gas serta teknologi militer, maka akan bertambah dekat hubungan Russia-China. Maka timbul persoalan geo-politik klassik, yaitu Daerah Jantung Eropa-Asia (Eurasian Heartland) berhadapan dengan dunia maritim yang diwakili AS. Kalau betul China dapat mendekatkan Afrika dengan kepentingannya, maka Pulau Dunia (World Island) bersatu. Keadaan yang tidak mudah bagi AS. (sayidiman.suryohadiprojo)