NUSANTARANEWS.CO – Pemerintah Indonesia harus mengakhiri hukum cambuk sebagai sebuah bentuk penghukuman dan mencabut atau merevisi ketentuan-ketentuan di dalam Qanun Jinayat (Hukum Pidana Islam di Aceh) yang menyediakan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional dan hukum pidana nasional. Demikian usul Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan persnya, Sabtu (22/10).
Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono menyatakan, Hukum cambuk yang semakin eksesif di Aceh menurut digunakan sebagai penghukuman sebagai bagian dari serangkaian ‘tindak pidana’, termasuk menjual minuman beralkohol (khamar), hubungan seksual konsensual di luar ikatan perkawinan (zina), dan berduaan di dalam suatu tempat tertutup bersama orang lain yang berbeda kelamin di luar ikatan perkawinan (khalwat).
“Lima hari yang lalu, tepatnya pada 17 Oktober 2016, di halaman Masjid Baiturrahman, Kampung Kramat, Banda Aceh, Aceh. 13 orang dieksekusi hukum cambuk. Satu terpidana ditunda dieksekusi karena dalam kondisi hamil tiga bulan (namun akan tetap dieksekusi hingga selesai melahirkan). Mereka dihukum karena melakukan khalwat,” papar Supriyadi.
Peristiwa tersebut, kata dia, melengkapi setahun pelaksanaan qanun Jinayat dan menggambarkan semakin eksesifnya hukuman cambuk di wilayah paling ujung barat Indonesia.
“Tanggal 23 Oktober 2016 besok tepat sudah satu tahun pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, Qanun nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (qanun Jinayat). Peraturan Daerah Aceh yang secara resmi diberlakukan pada Oktober 2015 tahun lalu. Sebelumnya, Pemerintah Aceh dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) mengesahkan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dan efektif berlaku pada 23 Okober 2015,” tuturnya.
Menurut dia, dalam aturan tersebut ada 10 tindak pidana utama (jarimah) yang diatur dalam qanun ini dan yang mencakup 46 jenis tindak pidana baru yang memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya. Qanun (setara Peraturan Daerah) ini mengatur perilaku tindak pidana kesusilaan yang sesuai dengan syariat Islam di Aceh.
“Qanun ini merupakan konsolidasi dari 3 Qanun sebelumnya yang disahkan di di Aceh tahun 2012 dengan penambahan-penambahan yang lebih banyak tindak pidana. Rumusan pidana dalam Qanun ini menduplikasi pegaturan pidana di KUHP dan UU lainnya Indonesia. Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD, Khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah di atur dalam KUHP,” terang Supriyadi lagi.
Selain itu, kata dia, Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukuman badan/tubuh (Corporal Punishmen) di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk ini juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
“Hukum cambuk dan bentuk lain penghukuman yang kejam melanggar larangan hukum internasional tentang penyiksaan, dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau tidak bermartabat lainnya yang tersedia di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (CAT), yang mana Indonesia merupakan Negara Pihaknya,” tegasnya.
Masih menurut Direktur Eksekutif ICJR, pada 2013, Komite HAM PBB yang memonitor kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban mereka di bawah ICCPR, menyerukan Indonesia untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam di produk-produk hukum lokal di Aceh.
“Pada 2008 Komite Anti Penyiksaan PBB juga menyerukan kepada Indonesia untuk mengevaluasi semua produk hukum nasional dan lokal yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam sebagai bentuk pemidanaan, dengan pandangan untuk menghapuskan segera bentuk-bentuk penghukuman semacam itu,” tandasnya. (Maman)