Kolom

Menimang Masa Lalu, Meminang Masa Depan

NUSANTARANEWS.CO – Pembukaan UUD 1945 masih utuh, masih diserukan dari podium ke podium, di mimbar, lapangan, halaman sekolah, kampus, balai-balai desa, bahkan di gardu-gardu keamanan tinggak RT/RW. Pembukaan UUD 1945 laiknya kitab suci bagi bangsa Indonesia. Membacanya dengan khusyuk, bergetarlah hati nurani. Sebab ia puisi bagi jiwa-jiwa murni yang bersemayam di dalam diri bangsa Indonesia.

Pembukaan UUD 1945 abadi bersama nama-nama para pejuang. Tetapi arwah-arwah penghianat negeri ini di medan perang, menghantui pikiran para pejabat. Akhirnya perang batin pun terjadi. Lalu muncullah pikiran jahat yang disisipkan di celah-celah pikiran baik. Karenanya, korupsi tak terbendung (baca korupsi). Itulah fakta. Tetapi, baru saja bangsa dan negara tercinta ini semarak oleh kebahagiaan, sebab kumandang pembukaan UUD 1945 yang sakral itu menggema di seluruh persada tanah air.

Mari kita baca lagi dua alinea sakral itu: (1) “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (2) “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Mendengar, membaca, dan membayangkan kedua alinea tersebut, segenap harapan bangkit lagi. Kebahagiaan benar-benar menguasai diri, lantaran mendengar kata “merdeka”. Naifnya, diri ini, belum mampu menangkap pesan bahwa itu hanya isyarat bahwa kita semua sedang berada di gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Sudah 71 tahun bangsa Indonesia dinyatakan berada di gerbang kemerdekaan nengara Indonesia. Lantas kapan bangsa yang disebut merdeka(?), bersatu(?), berdaulat(?), adil dan makmur(?) ini akan sampai di beranda setidaknya di halaman kemerdekaan sebuah negeri kaya raya bernama Indonesia?. Sudah saatnya kita menjawab bahwa, kini bukan waktunya untuk saling bertanya. Akan tetapi, kita harus bergerak maju ke depan dengan kreasi, inovasi, dan prestasi untuk Indonesia. Kita masih punya waktu, kendati cukup singkat namun cukup untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang kian cepat berlari menuju tata dunia baru yang disebut Globalisasi Gelombang Ketiga.

Benar, kita punya masa lalu yang panjang, hebat, dan layak dibanggakan. Namun, masa kegelapan bangsa dan negeri ini rasanya lebih banyak menghantui bangsa kita ini. Karenanya, mabuk kepayang dalam euoria masa lalu, sungguh tiada guna. Indonesia membutuhkan anak bangsa yang cerdas, kreatif, produktif, setia, dan pekerja keras. Tentu saja, mutlak, harus berjiwa nasionalis.

Baca Juga:  Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Mari kita pacu semangat menuju Indonesia di masa mendatang melalui beberapa isi pidato Presiden Joko Widodo di depan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI tahun 2016, Jakarta, Selasa (16/8) lalu:

“Sekarang kita berada pada era persaingan global. Kompetisi antar negara luar biasa kerasnya, luar biasa sengitnya. Untuk memenangkan kompetisi, untuk menjadi bangsa pemenang, kita harus berani keluar dari zona nyaman. Kita harus kreatif, optimis, bahumembahu, dan melakukan terobosan-terobosan. Semua itu demi mempercepat pembangunan nasional, demi meningkatkan daya saing kita sebagai bangsa.

Tanpa keberanian kita keluar dari zona nyaman, kita akan terus dihadang oleh kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial. Diperlukan langkah-langkah terobosan, diperlukan kecepatan kerja, diperlukan lembaga-lembaga negara yang kuat dan efektif untuk mengatasi tiga masalah utama bangsa tersebut.

Selain itu, diperlukan pula keteguhan dalam menjunjung ideologi bangsa, konstitusi negara, dan nilai-nilai keutamaan bangsa. Tanpa itu, kebesaran kita sebagai bangsa akan punah, akan digulung oleh arus sejarah. Kita tidak mau itu terjadi!”

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Apapun dan bagaimanapun kondisi bangsa dan negera Indonesia di bawah pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Jusuf Kalla, ibarat nasi sudah jadi bubur. Karenanya, kita mesti lebih siap menghadapi segala tantangan baik yang sudah hadir melalui sekian penampakan gejalanya maupun tantanngan nyata di masa mendatang. Maka, bersiaplah untuk menanggalkan sekian gaya hidup dan mulailah menempa diri untuk hidup efisien. (Sulaiman)

Related Posts

1 of 23