NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Daya beli masyarakat terus menurun. Menurut Presidium Indonesia Club, Gigih Guntoro, penyebabnya ada lima hal. Salah satunya ialah fluktuasi kenaikan dan penurunan harga BBM sejak beberapa minggu terpilihnya Jokowi menjadi presiden, diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok, tapi tidak serta merta menaikkan pendapatan secara berimbang dan tidak serta merta menurunkan harga kebutuhan pokok saat harga BBM diturunkan.
“Lonjakan nilai mata uang dollar sejak bulan Maret 2014 Rp 11.271,00 pada bulan September 2018 menembus Rp 15.046,26,” kata Gigih, Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Penyebab lainnya ialah tingginya laju impor komoditas bahan pokok di saat panen raya dan non pangan sebagai negara penghasil SDA mineral yang kaya raya.
Kemudian, tingginya beban hutang yang melilit dengan Data Statistik Utang Luar Negeri tercatat oleh BI US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp 14.000).
Berikutnya, lapangan kerja yang tersedia tidak mencukupi pencari kerja, di antaranya dengan kàtegori petani yang tak mampu bercocok tanam karena tingginya harga pupuk dan pemeliharaan beralih mencari kerja buruh pabrik; Buruh banyak terkena PHK akibat kebijakan efisiensi hingga kebangkrutan; Angkatan tenaga kerja baru lulus sekolah; serta Banjirnya TKA yang berlindung di balik kebijakan atas nama investasi.
“Bukan pendapatan yang naik seperti yang selalu mereka mimpikan, tapi merosotnya nilai jual panen dalam kenyataannya. Di saat yang sama, mereka menyaksikan harga di pasar justru melambung secara bertahap menghadapi fase-fase atau musim tertentu misal di masa lebaran, musim kemarau, hingga musim datangnya barang impor kebutuhan pokok,” jelas Gigih.
Dia menambahkan, kebijakan yang diterbitkan pemerintah berlawanan antara subsidi yang bertujuan menaikkan pendapatan dan daya beli berhadapan dengan kebijakan impor, dan dimenangkan oleh kebijakan impor. Pertarungan kebijakan ini seperti sedang membuat sebuah kebijakan yang mengadu domba secara terbuka di kandang sendiri. Kebijakan yang seharusnya saling mendukung malah berpihak pada komoditi impor.
Lebih dalam Gigih menuturkan pasca reformasi, liberalisasi perundang-undangan melahirkan tidak tersistematisirnya kebijakan satu dengan yang lain dalam satu sektor yang sama. Menjadikan teladan bagi kita bahwa pemerintah terus memproduksi kebijakan-kebijakan yang selalu berbenturan.
Satu contoh hal kecil namun vital bagi masyarakat menjadi perumpamaan kebijakan strategis lainnya secara nasional.
Berbagai benturan kebijakan yang berimbas pada lembaga negara hasil dari liberalisasi sistem negara beranak pinak pada otonomisasi segala sektor yang mengantarkan kita pada jurang kesenjangan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasca reformasi, slogan Pancasila dan UUD 1945 yang terdengar sangat mulia pada kenyataannya bertolak belakang dengan landasan filosofi Pancasila itu sendiri. Pancasila yang menjadi roh dari pada UUD 1945 yang merupakan landasan implematator dari Pancasila sebagai landasan.
Amandemen UUD 1945 melampiaskannya yang mengejawantahkan operasional penyelenggaraan negara pada perundang-undangan serta turunannya untuk terus saling berbenturan. Ironis bila saat ini kita sebagai anak bangsa hanya berpangku tangan melihat arah kehancuran bangsa dan negara Indonesia secara sistematis ini. (gdn/bya)
Editor: Gendon Wibisono