Ekonomi

UGM: Pemerintah Tidak Bijaksana Kendalikan Harga Pangan

Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof. Ali Agus/Foto: ugm.ac.id

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritisi kebijakan pemerintah dalam pengendalian harga pangan. Pemerintah justru diminta untuk meningkatkan peluang bisnis pangan halal semakin besar di masa yang akan datang.

Secara tegas, Fakultas Peternakan UGM mengkritisi kebijakan pemerintah yang ingin mengendalikan harga pangan di seluruh Indonesia. Pasalnya, pengendalian harga untuk menjaga tingkat inflasi di Indonesia dinilai akan merugikan petani/peternak. Akibatnya, angka kemiskinan di tingkat petani/peternak akan melonjak tinggi.

“Kebijakan pemerintah terkait keterjangkauan harga pangan untuk mengendalikan laju inflasi, nampaknya kurang bijaksana,” kata Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof. Ali Agus di Yogyakarta, Rabu (17/5/2017).

Alasannya, sebut Prof Ali, langkah pengendalian harga pangan itu dinilai bakal menurunkan nilai tukar petani dan peternak serta dalam jangka panjang menyebabkan meningkatnya kemiskinan petani/peternak.

Selain itu, kata dia, banyak ekses yang timbul di tengah masyarakat dengan beredarnya kualitas pangan yang patut diragukan, terutama pangan dan bahan pangan impor. Lebih jauh, untuk ketentraman hati konsumen, aspek pangan halal dan thoyib juga harus menjadi perhatian serius.

Baca Juga:  Hotipah Keluarga Miskin Desa Guluk-guluk Tak Pernah Mendapatkan Bantuan dari Pemerintah

“Karena itu, negara dan pemerintah harus hadir menyiapkan peta jalan dan aneka kebijakan afirmatif agar Indonesia dapat ikut bermain menyediakan pangan dan bahan pangan halal-thoyib di pasar global,” ujar Ali.

Kualitas Pangan

Menurut Ali, kecukupan jumlah ketersediaan pangan dan bahan pangan, kualitas pangan juga harus menjadi perhatian. Sebab, kualitas pangan akan mempengaruhi kuliatas sumber daya manusia dalam hal kecerdasan dan kesehatan. Itu sebabnya, hubungan pangan sehat dengan kecerdasan dan kesehatan sangat erat.

“Oleh karena itu, kesadaran pola konsumsi dan kebijakan negara mendukung ketersediaan pangan berkualitas, harus dikembangkan. Tujuannya, agar pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu indikator dasar kesejahteraan rakyat,” terang Prof. Ali.

Ia menuturkan, prasyarat penting dalam upaya pemenuhan pangan adalah penguasaan lahan mendukung fungsi pertanian. Sayangnya, petani yang hidup di desa sebagai mayoritas atau lebih dari 60%, warga bangsa Indonesia hanya menguasai lahan sempit, yang semakin lama semakin sempit.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Akibatnya, tambah Ali, secara terstruktur terjadi marjinalisasi dan pemiskinan petani. Di sisi lain, segelintir orang atau korporasi menguasai lahan ribuan bahkan jutaan hektar di wilayah perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

“Upaya penguasaan lahan luas terus diupayakan oleh kelompok kecil ini, maka jika tidak dibatasi akan menjadi semakin melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan miskin,” papar Ali.

Ia menambahkan, reforma agraria dan kepastian kepemilikan atau penguasaan lahan secara merata dan adil bagi rakyat Indonesia mestinya menjadi prioritas kebijakan negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Korporasi yang menguasai lahan terlalu luas harus dibatasi atau dilakukan moratorium dan masyarakat yang terbatas kepemilikan lahan harus diperluas akses sumber daya lahan.

“Intinya, kebijakan kemudahan proses sertifikasi lahan harus terus dilanjutkan. Optimalisasi pemanfaatan lahan dan air, untuk produksi pangan dalam negeri harus mendapatkan keberpihakan kebijakan negara,” terang Prof. Ali. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 4