Berita UtamaLintas NusaTerbaru

Workshop Pendidikan di DIY: Memahami Perpres No. 87 th. 2017 Tentang Pendidikan Karakter

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebutkan Peraturan Menteri Nomor 23/2017 (Permendikbud) yang mengatur sekolah lima hari otomatis bisa dibatalkan begitu Peraturan Presiden (Perpres) soal pendidikan karakter diterbitkan. Perpres tersebut saat ini juga sudah lolos rapat sinkronisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Muhadjir menegaskan Perpres ini nantinya bersifat tidak wajib. Hal itu disampaikannya usai rapat pleno yang bertajuk “Kebijakan pendidikan Nasional dan kepentingan Umat Islam” dengan Dewan Pertimbangan MUI di kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (23/8) lalu.

“Update terbaru Mensesneg yang tahu. Saya kira isinya di sekitar apa yang sudah disampaikan Bapak Presiden. Yaitu sifatnya tidak wajib. Tidak wajib itu bisa sunnah, bisa mubah,” kata Muhadjir.

Menurut dia, tidak wajibnya pemberlakuan Perpres ini artinya sekolah bisa menerapkan kebijakan sekolah enam hari atau lima hari. Hal ini tergantung dari kebijakan masing-masing sekolah.

Kendati sudah diklarifikasi Mendikbud, nyatanya Permendikbud Nomor 23/2017 itu tetap menuai polemik di masyarakat.

Jaringan Pemuda Nusantara (JPN) bersama Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Gerakan Pemuda Sriwijaya (GPS) Sumatera Selatan dan Lentera Indonesia Institute Yogyakarta menggelar Workshop Pendidikan untuk membahas terkait Permendikbud Nomor 23/2017 tersebut. Agenda ini bertajuk “Memperbincangkan Kembali Pendidikan Indonesia: Upaya Memperkuat Peraturan Presiden No. 87 th. 2017 Tentang Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan di Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Baca Juga:  Bersama Rakyat, Cabup Gus Fawait Terdepan Tolak Tambang Emas di Silo Jember

Menurut Ketua JPN, Abulaka Archaida, pihaknya merasa perlu memahami secara komprehensif tentang Perpres No. 87 th. 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter sehingga bisa menterjemahkan amanah yang termaktub dalam Perpres tersebut dan disampaikan kepada masyarakat umum.

“Ada hal yang selama ini tidak dipahami oleh masyarakat luas terkait perselisihan peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 munculnya kata full day school. Padahal dalam Permen tersebut tidak disebutkan kata full day school, tapi yang disebutkan hanya 5 hari jam kerja, itu pun secara teknis tetap diserahkan ke sekolahan masing-masing. Namun, yang disampaikan setiap media adalah persoalan full daynya sehingga tambah memperkeruh suasana antara Ormas NU dan Muhammadiyah. Kami menganalisis ada kelompok tertentu sengaja memanfaatkan kondisi ini untuk merongrong persatuan umat Islam Indonesia,” kata dia, Yogyakarta, Rabu (20/9).

Sementara itu, Jamaah NU dan Wakil Rektor III UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryono Abdul Ghofur mengatakan pendidikan karakter tidak cukup kalau hanya dimasukkan pada jam pelajaran, apa lagi jika diatur secara formal dalam sistem pendidikan 5 hari masuk dan sehari 8 jam.

Baca Juga:  Bidik 55 Persen Suara di Sumenep, Cagub Luluk Temui Alumni Annuqayah

“Bangsa yang berkarakter tidak mungkin akan dilahirkan dari sistem pendidikan yang parsial dan tidak komprehensip. Nilai-nilai luhur juda dapat diperoleh dari olah hati, olah rasa, olah raga, dan olah pikir. Strategi pendidikan karakter menurut pemerintah melalui: sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama,” paparnya yang menjadi pametari dalam Workshop Pendidikan tersebut.

Sedangkan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banguntapan Utara dan Kepala Sekolah MA Muhammadiyah Yogyakarta Abdul Quddus Zoher menilai Ada kekuatan besar yang sengaja membenturkan lintas golongan dalam hal menanggapi sistem pendidikan yang terdapat dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 th. 2017.

“Implementasi menjadi poin penting yang harus dimaksimalkan pemerintah agar amanat yang terdapat dalam Perpres bisa berjalan maksimal. Konsep sudah terlalu banyak untuk kita diskusikan secara terus menerus, lihat saja pergantian kurikulum menyebabnya guru-guru dalam mengajar menyesuaikan kemampuan murid. Sekarang terpenting adalah bagaimana kebersamaan lintas golongan merealisasikan isi dari Perpres tersebut sehingga nilai pendidikan yang diterapkan sesuai cita-cita para pendiri bangsa ini,” katanya.

Pengamat Pendidikan DIY, Aulia Reza Bastian mengatakan pendidikan karakter bukan persoalan durasi pertemuan tatap muka antara guru dan murid, tapi penekanannya lebih ke isi. Bicara penyesuaian payung hukum maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan syarat pembuatannya. Sejauh ini belum ada perda sebagai payung hukum untuk menopang program kerja penguatan pendidikan karakter.

Baca Juga:  Dewan Pendidikan Ponorogo Diundang dalam Rakor Dewan Pendidikan Provinsi Jatim Menyusun Peta Jalan Pendidikan

“Oleh karena itu perlu Pemprov atau Pemda Kabupaten/ Kota membuat payung hukum menyesuaikan isi amanat Perpres No. 87 th. 2017. Membuat peraturan daerah ada syaratnya: diamanahkan oleh peraturan yang lebih tinggi, program pembangunan daerah, berkaitan otonomi daerah dan kehendak masyarakat,” jelas Aulia.

Terakhir, DPRD D. I. Yogyakarta Sambudi mengatakan bahwa di Yogyakarta Jika payung hukum pendidikan karakter memang dibutuhkan, masyarakat boleh mengajukannya untuk ditindaklanjuti. Sebab, di Yogyakarta Perda yang sudah ada Pendidikan berbasis budaya, yang sedang proses Perda Ketahanan Kekeluargaan.

“Namun, catatan saya, lebih baik dijadikan Pergub saja biar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya. Bicara membangun pendidikan karakter harusnya berangkat dari keseharian hal-hal sederhana, maka karakter tersebut akan terbentuk dengan sendiri. Itulah sebabnya peran keluarga sangat signifikan dalam membentuk karakter anak,” saran Sambudi. (ed)

(Editor: Eriec Dieda & Ach. Sulaiman)

Related Posts