Hankam

Upaya Mengganti Narasi Sejarah PKI, Publik Harus Menolak Lupa

Massa PKI (Foto Istimewa)
Massa PKI (Foto Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menolak lupa kekejaman serta kebrutalan PKI serta berbagai upaya pemberontakan yang dilakukannya di masa silam penting untuk terus didengungkan. Mengingat dewasa ini skenario mengganti narasi sejarah PKI gencar dilakukan oleh beberapa pihak.

Dalam narasi yang sedang dibangun saat ini adalah PKI diposisikan sebagai korban. Padahal pada tahun 1948 dan 1965, PKI jelas melakukan pemberontakan.

Narasi pembelokan sejarah itu juga dirasakan Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon. Ia mengatakan bahwa kini seolah-olah PKI menjadi korban atau playing victim.

“Padahal itu tidak bisa lepaskan konteks kejadian-kejadian sebelumnya bahkan dari peristiwa pemberontakan tahun 1948,” kata Fadli Zon pada Jum’at 22 September 2017 di Jakarta.

“Nah ini menjadi masalah di Indonesia sudah lebih dari 50 tahun, karena ada yang berusaha menghapus jejak sejarah dan berusaha mengatakan, PKI tidak kudeta,” sambungnya.

Ia menegaskan PKI jelas ingin melakukan pemberontakan dan kudeta politik. “Jelas PKI itu kudeta. Kudeta itu dan revolusi bagian dari rukun komunisme. Jadi kalau rukun Islam itu ada syahadat, shalat sampai haji, di dalam komunis itu ada revolusi, pengambilan secara paksa dengan segala cara,” terangnya.

Baca Juga:  HUT TNI-79: Kodim Nunukan Gelar Lomba PBB Tingkat Pelajar

Baca Juga:
Meski Minoritas, PKI Masih Tetap Eksis Sampai Sekarang
Siapa Bilang PKI Mati? Ini Buktinya

Dan itu pernah terjadi di Rusia. Pernah terjadi pula di China, di Kamboja, dan di negara-negara yang terjadi revolusi. Termasuk di Kuba. “Jadi kalau mereka yang mempelajari masalah komunisme dia tahu bahwa pemberontakan adalah kewajiban komunisme,” tegas Fadli.

Salah satu upaya narasi ‘membelotkan’ sejarah PKI diantaranya dengan mendesak presiden meminta maaf kepada keluarga korban pembantian PKI. Misalnya, dikutip dari BBC Indonesia, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mendesak kepada Presiden Joko Widodo mewakili negara untuk mengambil inisiatif dengan meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965.

“Kita tidak memiliki pilihan, (kasus dugaan pelanggaran HAM berat pasca 1965) itu harus diselesaikan. Karena itu menyangkut korban, menyangkut sejarah, menyangkut hak-hak orang,” kata Ketua Komnas HAM Nur Kholis dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Rabu, 16 September 2015, di kantornya.

Baca Juga:  Dan Lanal Nunukan Tegaskan TNI Akan Semakin Manunggal Dengan Rakyat

Tentang adanya penolakan oleh kelompok-kelompok di masyarakat terhadap penyelesaian kasus kekerasan pasca 1965, Nur Kholis mengatakan: “Ini tidak menyangkut dengan ideologi. Misalnya presiden harus menyatakan penyesalan kepada partai tertentu (PKI), tidak.” “Dalam konteks korban-korban anak bangsa itulah, Presiden menyatakan penyesalannya,” tandas Nur Kholis.

Editor: Alya Karen

Related Posts

1 of 3,091