Hankam

UNWCI: Tindakan China di Natuna Cederai Perdamaian Dunia

Kapal patroli China melintas di dekat KRI Imam Bonjol yang hendak menangkap kapal nelayan berbendera China, Han Tan Cou, yang memasuki perairan Natuna dan terdeteksi menebar jaring.(Antara)
Kapal patroli China melintas di dekat KRI Imam Bonjol yang hendak menangkap kapal nelayan berbendera China, Han Tan Cou, yang memasuki perairan Natuna dan terdeteksi menebar jaring. (Foto: Antara)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Indonesian Club & Founder of the National Campaign Secretariat United Nations World Citizen’s Initiative Indonesia (UNWCI Indonesia), Hartsa Mashirul mengatakan pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh kapal pencari ikan hingga kapal penjagaan laut dan pantai negara Republik Rakyat China (coast guard) telah mencederai perdamain dunia. Pemerintah Republik Rakyat China berdalih bahwa Natuna merupakan bagian dari wilayahnya dengan berpegang pada Nine-Dash Line China.

Sejak tahun 1947 di bawah kekuasaan Chiang Kai Sek (Partai Kuomintang pendiri Republic of China) mengklaim teritorial secara sepihak oleh China dengan bentangan seluas 2000 km dari dataran China. Pemerintahan China menduduki teritorial di Laut China Selatan dengan Angkatan Lautnya untuk menguasai pulau-pulau yang dahulu diduduki Jepang saat Perang Dunia II dan membuat sebelas garis demarkasi putus-putus, yang kemudian mereka sebut Eleven-Dash Line. Hal ini kemudian menabrak beberapa wilayah kedaulatan negara di perairan Laut China Selatan di antaranya Filipina, Malaysia, Vietnam.

Setelah Kuomintang mengalami kekalahan perang saudara tahun 1949, Partai Komunis China menetapkan diri sebagai penguasa tunggal dengan sebutan Republik Rakyat China yang menganut ideologi komunis dan menggunakan mata uang Yuan. RRC mengklaim dialah satu-satunya perwakilan sah untuk menguasai wilayah maritim Laut China Selatan tersebut. Sedangkan Partai Nasionalis Kuomintang secara yurisdiksi berpindah ke Taiwan dengan menyebut Republik of China bermata uang Dollar Taiwan dengan sistem ekonomi kapitalis.

Secara de facto, Taiwan adalah negara merdeka dan menjadi satu negara dunia, namun secara de jure Taiwan belum mendapatkan pengakuan dari berbagai negara dunia. Namun, hingga saat ini belum diketahui kepastian perang saudara tersebut telah berakhir atau belum. Pada tahun 1950, dua garis putus-putus dihapus dengan mengeluarkan Teluk Tonkin sebagai tanda untuk koloni komunisnya di Vietnam Utara, menjadi sembilan garis demarkasi putus-putus atau Nine-Dash Line.

“Klaim sepihak dengan menggunakan sebutan Nine-Dash Line China merupakan satu hal yang tidak mempunyai landasan Hukum Internasional Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982,” kata Hartsa dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Baca Juga:  Dan Lanal Nunukan Tegaskan TNI Akan Semakin Manunggal Dengan Rakyat

Dia menjelaskan, rentetan sejarah perjalanan untuk menetapkan hukum laut internasional dalam Pertemuan Konferensi Majelis Umum PBB resolusi 1105 (XI) dari 21 Februari 1957 merupakan puncak dari proses panjang, yang bermula dari Konferensi Den Haag untuk Kodifikasi Hukum Internasional yang diadakan pada tahun 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang membahas mengenai perairan.

Tanggal 29 April 1958 Konferensi PBB di Jenewa tentang Hukum Laut dibuka untuk ditandatanganinya empat konvensi dan protokol opsional dengan berbagai pertimbangan tidak hanya memperhitungkan aspek hukum, tetapi juga aspek teknis, biologis, ekonomi dan politik. Selanjutnya 10 Desember 1982 Konvensi PBB Dalam Hukum Laut Internasional yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982 menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958.

“Indonesia sendiri pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan laut di antara pulau-pulau kita merupakan wilayah Indonesia, yang disebut dengan Deklarasi Juanda. Hal ini membantah Hukum Laut Internasional saat itu yang hanya mengakui laut teritorial hanya sejauh 12 mil,” jelasnya.

Deklarasi Djuanda, kata dia, menjadi dasar bagi para juru runding Indoneisa yaitu Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Hasjim Djalal, berjuang secara diplomasi di PBB, hingga ditandatanganinya UNCLOS 1982. Indonesia didaulat sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia.

Baca Juga:  Lanal Nunukan Berhasil Gagalkan Penyelundupan Shabu Dari Malaysia

“Deklarasi Djuanda yang diperjuangkan menjadi UNCLOS 1982, menguatkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi dasar bagi berbagai produk hukum kemaritiman yang kuat dikarenakan kompatibel dengan Hukum Laut Internasional,” urainya.

Sebagai negara kepulauan terbesar didunia yang berdaulat, lanjut Hartsa, perilaku klaim sepihak RRC adalah tindakan tidak menghormati kedaulatan RI dan tidak menghormati kesepakatan Hukum Laut Internasional yang berlaku. Perilaku semau mereka sendiri mengakibatkan Rakyat Indonesia meradang.

“Kami, Rakyat Indonesia menegaskan tidak ada kata toleransi dalam pencaplokan sejengkalpun wilayah kedaulatan Indonesia oleh negara lain. Sikap Geng Shuang sebagai Juru Bicara Kementrian Luar Negeri China yang menyatakan bahwa Natuna masuk dalam wilayah China adalah menabuh genderang perang di saat dunia sedang memanas akibat pergolakan politik dan ekonomi. Republik Rakyat China yang dimata sebagian rakyat Indonesia sebagai sahabat, saat ini menikam Indonesia dari belakang, dan itu adalah mengkhianati hubungan baik kedua negara,” paparnya.

“Kami, sebagai Rakyat Indonesia yang berdaulat mengecam keras klaim sepihak Republik Rakyat China atas pulau Natuna sebagai bagian wilayahnya. Kembali kami tegaskan, bahwa hal ini bukanlah kali pertama tindakan sewenang-wenang China berusaha mencaplok pada wilayah kedaulatan Republik Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun ini,” sambung Harts.

Sekitar bulan Juni 2016 lalu, kata dia, terjadi insiden Natuna antara kapal nelayan Republik Rakyat China dengan kapal perang Republik Indonesia KRI Imam Bonjol-383. Yang kemudian pemerintah China memprotes atas tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa Natuna sebagai zona perikanan tradisional RRC.

Baca Juga:  LANAL Nunukan Berhasil Lepaskan Jaring Yang Melilit KM Kandhega Nusantara 6

“Perilaku pemerintah Republik Rakyat China tidak bisa terus kita diamkan, karena akan menjadi preseden dan kebiasaan untuk terus mengklaim Natuna sebagai wilayahnya. Oleh karena itu, kami Rakyat Indonesia menuntut pemerintahan Republik Rakyat China untuk segera mengkalrifikasi dan meminta maaf kepada seluruh Rakyat Indonesia dan seluruh Rakyat Dunia atas pernyataan Juru Bicara Kementrian Luar Negeri-nya yang merepresentasikan pemerintahan RRC. Kami, Rakyat Indonesia menyampaikan hal ini untuk dijadikan seksama kepada seluruh bangsa-bangsa di dunia, bahwasannya China terus berusaha mencaplok wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berpegang pada dasar sepihak. Sehingga hal tersebut merupakan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982, yang dapat berakibat mengacaukan perdamain regional pasifik maupun perdamaian dunia,” ulas Harts.

Atas keras kepalanya pemerintahan China berulang kali berusaha melakukan tindakan pencaplokan terhadap kedaulatan wilayah Republik Indonesia, pihaknya menuntut tiga hal sebagai Komando Rakyat kepada Kepala Negara Republik Indonesia dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia guna menegakkan Hak Azasi Bangsa.

Pertama, mendesak Presiden sebagai Panglima Tertinggi untuk Deklarasikan Perang Bagi Setiap Musuh yang mau mencaplok Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia.

Kedua, mendesak Menteri Pertahanan untuk melindungi Wilayah Kedaulatan Republik Indonesia. Ketiga, memerintahkan segenap jajaran TNI/Polri untuk melaksanakan perang, sebagaimana Amanat Konstitusi UUD 1945 Pertahanan Rakyat Semesta. (adn)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,053