Politik

Tokoh Muda Papua Ajak Publik Lihat Secara Utuh Kasus Rasisme di Amerika Serikat

Tokoh Muda Papua Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara
Tokoh Muda Papua ajak publik lihat secara utuh kasus rasisme di Amerika Serikat/Foto: Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Tokoh Muda Papua ajak publik lihat secara utuh kasus rasisme di Amerika Serikat. Sebuah babak baru tentang rasisme di Amerika Serikat kembali menjadi sorotan dunia. Kasus ini disebut sebagai salah satu kasus yang berhasil menarik perhatian dunia. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan demonstrasi yang dilakukan di Amerika bahkan di beberapa negara lain di dunia.

Kematian seorang pria berkulit hitam, George Floyd usai leheranya ditindih lutut polisi berkulit putih di Minneapolis menimbulkan kecaman dunia internasional, terlebih di Amerika Serikat sendiri. Puluhan ribu orang turun ke jalan di sejumlah negara di Asia, Australia dan Eropa menyuarakan kemarahan atas kematian Floyd. Mereka juga menentang segala bentuk diskriminasi dan rasisme.

Tokoh Muda Papua Alumni Universitas Pertahanan, Steve Mara mengatakan dalam pandangan teori dominasi sosial maka kasus ini terlihat bahwa ada dua kelompok yang menempatkan diri mereka sesuai dengan penelian kelompok mereka sendiri.

“Pertama kelompok dominan. Kedua, kelompok subordinat,” kata Steve, Rabu (10/6/2020).

Baca Juga:  Debat Ketiga, Cagub Luluk Sorot Krisis Lingkungan di Jawa Timur

Steve menelaskan, kelompok dominan merupakan kelompok yang ada diatas dan disebut sebagai kelompok menang yang memiliki kekuasaan dan seluruh nilai positif. Sedangkan kelompok subordinat adalah kelompok di sisi bawah yang tidak menang, tidak memiliki kekuasaan dan dianggap minoritas.

Baca juga: Efek Global Kasus Floyd dan Kasus Papua

“Dari kedua kelompok tersebut maka dapat dianalisi bahwa kelompok yang menentang rasisme adalah kelompok subordinat atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan, sedangkan kelompok dominan adalah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk menindas kelompok minoritas,” jelas Steve.

Dalam kasus George Floyd yang terjadi di Amerika ini, kata dia, bukanlah konflik yang terjadi antara kelompok dominan dan kelompok subordinat namun konflik ini bermula setelah pria kulit hitam ini diduga menggunakan uang palsu di salah satu swalayan dan di kunci oleh kepolisian sedang lehernya ditekan pakai lutut hingga George Floyd kehabisan nafas dan meninggal.

“Jika kita cermati secara baik, tidak tercium bau rasisme dari kasus ini melainkan kelalaian petugas yang mengakibatkan kematian terduga pengguna uang palsu. Petugas yang melakukannya dihukum dengan hukum pembunuhan tingkat dua serta beberapa petugas lain yang bertugas bersama pada saat itu dihukum dengan hukuman pembunuhan tingkat tiga,” urai tokoh muda asal Papua ini.

Baca Juga:  Berpihak Industri Padat Karya SKT, Pekerja MPS Tuban Pilih Cagub Khofifah

Lebih lanjut, pergerakan masa yang melakukan demostrasi besar-besar serta perlawanan di Amerika merupakan hasil dari propaganda media yang mengaitkan isu kematian George Floyd dengan Rasisme.

“Padahal jika kita lihat kembali ke belakang, orang kulit hitam Barack Obama merupakan Presiden kulit hitam yang sangat disegani masyarakat di seluruh dunia bahkan Barack (Obama) sering dikatakan sebagai Presiden Dunia,” tuturnya.

“Maka kasus George Floyd tidak bisa kita katakan sebagai rasisme melainkan kelalaian petugas atau dengan bahasa kasarnya kita sebut pembunuhan terhadap warna negara,” sambung Steve.

Steve mengajak kasus rasisme dan perbedaan warna kulit seperti ini untuk bahan refleksi. Pasalnya, tak sedikit publik yang masih termakan sebuah propaganda yang dimainkan lewat media.

“Saya melihat bahwa sampai saat ini masih banyak warga Indonesia yang termakan propaganda yang dimainkan lewat media untuk menciptakan konflik di Papua, sehingga perlu saya ingatkan kembali bahwa dalam membaca dan melihat sebuah berita perlu kita lihat secara utuh agar kita tidak menjadi korban kejahatan teknologi masa kini,” tegas Steve.

Baca Juga:  Cuek Hasil Survei, Cagub Luluk Yakin Tembus Suara 55 Persen di Pilgub Jatim

Selain itu, tambah dia, perlu dicatat bahwa kecenderungan manusia yang tidak mau mencari pembanding sehingga dengan sangat mudah menelan informasi yang diterima kemudian dibagikan. Banyaknya informasi yang beredar juga telah menjadi alasan pembenar bagi sebuah kasus sehingga sebagai masyarakat harus pandai melihat pemberitaan dan menganalisis sebelum dibagikan dan mempengaruhi orang lain.

“Jangan sampai kecenderungan kita menelan informasi secara dangkal akan berakibat menjadi konflik yang lebih besar,” ujarnya.

“Narasi positif harus terus kita bangun, seperti kita tidak sama tetapi bisa bekerja sama, kita tidak satu tetapi bisa bersatu,” pungkas Steve. (eda)

Related Posts

1 of 3,062