Terbaru

Tentang Hujan dan Pekerjaanku yang Terkesan Haram

Cerpen : Aziz AS Syah

Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang, bukan? Sebagai anak tunggal, aku harus bekerja keras untuk membiayai hidup keluarga,Seperti halnya seorang imam dalam keluarga. Sedangkan bapakku lumpuh, ibuku sudah tua renta. Mereka sudah tidak bisa bekerja lagi untuk menghidupi keluarga dan juga diriku. Seandainya kedua orangtuaku masih bisa bekerja seperti dulu, mereka pasti akan selalu memberikan uang untuk aku belikan sesuatu apapun yang bisa mengisi perutku. Akan tetapi, pekerjaanku sekarang tidak seberapa hasilnya. Hanya pekerjaan biasa yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga, satu hingga dua hari.

Aku selalu berusaha mencari pekerjaan lainnya yang banyak menghasilkan uang lebih banyak dari pekerjaan—aku kerjakan saat ini, seperti didesa, dikota dan semuanya telahku telusuri ke mana-mana. Namun sayang, aku tidak menemukan pekerjaan seperti itu. Mau tidak mau, aku harus tetap bekerja pekerjaan yang satu ini agar bisa menghidupi keluargaku setiap hari. Dan bisa membawa bapakku ke dokter untuk berobat, agar pulih seperti sediakala—bisa bekerja.

Akan tetapi, ibu selalu menasehatiku agar berhenti melakukan pekerjaan yang aku tekuni selama ini. Sebab, akhir-akhir ini hujan turun deras sekali mengguyur bumi tercinta.

“Sudahlah, Nak. Tinggalkan pekerjaan yang kamu tekuni itu! Sebab, Belakangan ini hujan tak pernah berhenti mengguyur kampung kita. Ibu takut terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,” ucap beliau di antara hembusan nafas terkesan berat.

“Sudahlah, Bu! Kalau aku berhenti bekerja, lalu kita mau makan apa? Pasti kita akan kelaparan kan Bu. Sudahlah, ibu berdoa saja dan rawat bapak baik-baik agar pulih kembali!”

Baca Juga:  Kuasa Hukum Kasus RSPON Minta AHY Usut Dugaan Mafia Tanah di Jakarta

“Tapi, Nak…”

“Sudah, Bu. Cukup! ” ucapku sambil melangkahkan kaki, meninggalkan mereka pergi. Hal terakhir yang kulihat, ibu mengelus dada sambil merapalkan Asma Tuhan saat aku melangkah pergi. Mungkin ibu juga mendoakanku agar selamat di tengah perjalanan. Its, bukan mungkin lagi untuk ibu lakukan.

Aku tak pernah sekeji ini, tapi mau bagaimana lagi. Masih untung pekerjaanku halal. Di zaman yang serba canggih ini, jangankan pekerjaan halal, pekerjaan haram pun sulit untuk didapatkan.

Hari ini aku berencana keluar kota untuk menjual hasil kerjaku yang sudah disiapkan secara baik mulai kemarin, agar aku mendapatkan hasil sangat banyak untuk bisa menghidupi keluarga. Konon, kalau barangnya bagus akan di beli dengan harga sangat mahal oleh semua orang khusus para pembisnis. Dan mungkin dengan pekerjaan ini, aku bisa mendapatkan uang yang lumayan banyak nantinya tidak seperti pekerjaanku sebelumnya. Sebelumnya aku hanya bekerja menjadi kuli bangunan musiman yang tak tentu hasilnya.

Di luar kota aku menjual hasil kerjaku kepada perusahaan-perusahaan besar dan dikenal banyak orang. Tentu saja perusahaan yang banjir pelanggan. Mungkin dengan cara ini aku akan mendapatkan uang banyak. Percaya atau tidak, hasil kerjaku selama ini ternyata laku semua. Aku sangat bersyukur sebab aku sudah mendapatkan uang lumayan banyak untuk mencukupi keluarga dan kalau ada sisanya aku juga akan membawa bapak ke dokter.

Baca Juga:  Kepala DKPP Sumenep Ajak Anak Muda Bertani: Pertanian Bukan Hanya Tradisi, Tapi Peluang Bisnis Modern

Akan tetapi sekarang cuacanya sangat mendung dan angin bertiup kencang membuat bulu romaku berdiri seketika. Aku teringat keluargaku di kampung. Khawatir akan keadaan kedua orangtuaku. Tak ada orang yang bisa merawatnya setelaten diriku.

Di sini selalu turun hujan yang tidak pernah ada hentinya. Dan apa mungkin di kampung keadaannya seperti di sini, selalu turun hujan serta angin yang bertiup kencang.

“Halo, ini Andi? Cepatlah pulang!” terdengar suara di seberang tampak panik. Supri, tetangga sebelah rumahku menelepon dengan nada cemas dan terbata-bata.

“Ada apa?”aku bertanya spontan.

“Sudahlah, cepat pulang!”

Telepon mati, menyisakan beragam tanya di benakku tentang tetangga rumah, Supri yang menepoku.

Aku bergegas pulang, hendak memastikan apa yang sebenarnya terjadi di kampungku. Beragam pertanyaan terngiang dalam benakku sehingga membuatku ingin segera sampai di rumah agar aku cepat tahu apa sebenarnya terjadi di sana. Angin bertiup mesra mencumbui badanku yang sudah mulai melemas sebab kejadiaan ini. Angin tak pernah berhentinya berhembus hingga aku berpikir yang bukan-bukan, sesuatu yang buruk telah terjadi kepada kedua orangtuaku,. Ah… mungkin ini hanya pikiranku saja—di  buat gelisah oleh peristiwa ini.

***

Sungguh hal yang selama ini aku takutkan benar-benar terjadi; banjir. Seketika aku melihat semuanya porak- poranda dan mayat-mayat tergeletak di berbagai tempat. Aku sempat tidak percaya akan kejadian ini, sebab kemarin ketika aku hendak pergi keluar kota, di sini semuanya baik-baik saja, Dan tidak kurang apapun.  Ini semua memang salahku. Seandainya aku mengikuti perkataan ibuku, kejadian banjir kali ini mungkin tidak akan melanda kampungku.

Baca Juga:  Dihadiri PPWI dan Perwakilan Kedubes, Peletakan Bunga di Monumen Gagarin Berlangsung Hikmad

Ayah dan Ibu pun menjadi korban banjir, kemarin. Seandainya aku tidak pergi keluar kota untuk menjual hasil kerjaku, pasti aku bisa menyelamatkan kedua orangtua dari bencana banjir. Mungkin semua tidak akan jadi seperti ini. Sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, nenek sudah tidak ada dan kakek pun meninggal beberapa tahun silam,  sedangkan aku di sini sebagai anak tunggal.

 Aku akan tinggal bersama siapa, Ibu? Seandainya aku mengikuti perkataanmu, mungkin kalian tidak tidak akan menjadi korban banjir. Memang aku anak tidak tahu diri; tidak menuruti perkataanmu. Sebagaimana yang dikatakan ibu kepadaku. Sekarang, aku menyesal amat sangat melakukan pekerjaan ini. Aku berjanji tidak akan menebang pohon lagi, demi Ibu, Bapak, dan Bangsaku.

Serambi Masjid Jami’ Annuqayah, 15 Desember 2017 M.

 

Aziz AS Syah, Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Sumenep Jawa Timur, Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi (TP). Penikmat sastra, bergiat di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Instika dan sekaligus aktivis Rumah Peneleh-4 serta aktivis PMII Guluk-guluk. Bisa hubungi melalui vie_email; [email protected].

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39