NUSANTARANEWS.CO – Ngentit, dengan merujuk bahasa Jawa ternyata menjelaskan tentang sebuah perilaku sosial berupa tindakan mengambil uang atau barang orang lain tanpa permisi. Dalam konteks korupsi, ngentit kini bukan lagi sekadar mengambil recehan, tapi sudah menjadi habit di kalangan penyelenggara negara dan pengusaha kelas atas di Indonesia untuk ngentit miliaran bahkan triliunan rupiah dari kekayaan negara. Mengambil alih atau menguasai aset negara demi memuaskan kepentingan pribadi. Sehingga dewasa ini, ngentit uang atau aset negara bukan lagi hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan primer, tapi sudah menjadi ideologi guna meraih, menumpuk dan mempertahankan kekuasaan dan kekayaan.
Dengan kata lain, ngentit kini telah bergaul dengan gaya hidup mewah yang seksi dan menawan bahkan merasa nyaman dalam dekapan mesra nafsu hedonis yang merangsang. Tidak mengherankan bila budaya ngentit begitu menggoda untuk diceraikan. BIla kita mundur kebelakang sampai ribuan tahun, maka makna ngentit bisa kita mulai dari insiden Habil dan Kabil. Insiden ketika seorang anak manusia tidak mampu mengendalikan nafsunya mendengar bujuk rayu Iblis terlaknat. Sebuah ajaran yang membolehkan mengambil milik orang lain yang bukan miliknya, bahkan kalau perlu dengan membunuh.
Ribuan tahun telah berlalu, tapi ajaran purba Iblis terlaknat tersebut semakin mapan. Bahkan tumbuh subur di bumi nusantara. Betapa tidak bila orang-orang terdidik yang seharusnya menjadi panutan bagi kebanyakan orang, malah menjadi Kentitor (koruptor) untuk memenuhi panggilan Iblis tersebut. Bayangkan saat ini ada lebih dari 10 orang profesor dan 200 orang doktor yang terseret kasus ngentit. Hal tersebut disampaikan oleh mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dalam sebuah acara talkshow di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Bukan itu saja, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi telah mengumumkan bahwa sebanyak 290 kepala daerah sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana karena terbelit kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 251 orang kepala daerah atau sekitar 86,2 persen terjerat kasus ngentit. Sedangkan berdasarkan data KPK ada 74 orang politikus yang terlibat dalam kasus selama periode 2007-2014.
Selain politikus, tercatat pula kepala lembaga atau kementerian yang terlibat ada 12 orang, duta besar 4 orang, komisioner 7 orang, pejabat eselon 114 orang, hakim 10 orang, swasta 94 orang, dan lainnya 41 orang. Total seluruh tersangka berjumlah 282 orang, diluar jumlah kepala daerah. Sungguh luar biasa berbagai kalangan yang menjadi pengikut ajaran Iblis terlaknat tersebut, mulai Profesor, Doktor, Hakim, Anggota Dewan Terhormat, Pejabat Tinggi Pemerintahan, Komisioner, serta pihak pengusaha tentunya.
Tidak salah apa yang telah disinyalir oleh Prabowo Subianto dalam media sosialnya menjelang Pilpres 2014 lalu, bahwa di Indonesia terdapat kondisi janggal, paradoks Indonesia, bangsa yang kaya tetapi rakyatnya miskin. Kemiskinan ini tidak perlu terjadi apabila para pemimpin yang menguasai pemerintahan melakukan kebijakan-kebijakan yang berdasarkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat serta didasarkan atas akal sehat.
Seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini negara sedang mengalami kebocoran anggaran yang luar biasa. Jumlahnya sekitar Rp1.160 triliun setiap tahunnya. Angka ini adalah hasil dari tiga hal: Kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 360 triliun, kebocoran anggaran negara (APBN) sebesar Rp 500 triliun, dan anggaran negara untuk subsidi energi sebesar Rp 300 triliun.
Seperti telah disinyalir oleh Prabowo Subianto bahwa kemiskinan ini tidak perlu terjadi apabila para pemimpin yang menguasai pemerintahan melakukan kebijakan-kebijakan yang berdasarkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat serta didasarkan atas akal sehat. Bukan dengan jalan mencari solusi instan seperti Tax Amnesty.
Terbitnya Undang-Undang Tax Amnesty menunjukkan bahwa pemerintah telah menyerah kalah melawan para kentitor, tukang negentit uang negara. Bertekuk lutut kepada para pengemplang pajak yang telah menguras kekayaan NKRI, sehingga mengancam kedaulatan negara. Apakah mereka pantas diberi tempat lagi di bumi nusantara?
Seharusnya pemerintah memburu mereka di seluruh dunia dengan membuat Undang-Undang Pengemplang Pajak, atau Undang-Undang sejenis Money Loundry yang dibuat oleh Uncle Sam. Kalau Paman Sam boleh melakukan aksi sepihak terhadap negara lain terkait money loundry mengapa Indonesia tidak bisa meperlakukan hal sama terhadap para pengemplang pajak dan tukang ngentit yang kabur ke luar negeri.
Pemerintah seharusnya memahami hati nurani rakyat. Hati nurani para pembayar pajak yang setia di tanah air. Bukankah pemerintah artinya telah melukai hati para pembayar pajak di tanah air dengan memberi ampunan kepada para pelaku kejahatan yang luar biasa tersebut, yang membuat negara menjadi bangkrut. Yang membuat pembangunan nasional menjadi tersendat kalau tidak mau dikatakan stagnan. Dan dosa terbesar mereka adalah mengakibatkan rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian bukankah para pengemplang pajak ini lebih kejam dari teroris. Lebih kejam dari pelaku Teror 9/11 di Amerika.
Mereka harus ditangkap sebagai kriminal, pelanggar hak azasi manusia, dan musuh Pancasila. Hukumannya sudah pasti hukuman mati. Karena mereka adalah pelaku pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan kemiskinan 200 juta lebih rakyat Indonesia. Seluruh kekayaan mereka harus disita menjadi miliki negara. Kalau ada negara asing yang berani melindungi mereka, berarti negara tersebut melindungi pelaku kejahatan luar biasa yang lebih ganas dari teroris. Dan sudah pasti menjadi musuh Republik Indonesia. Presiden harus berani mengambil tindakan tegas, paling tidak, putuskan saja hubungan diplomatik dengan negara pelindung oknum kejahatan berat tersebut. Kalau tidak berani, ya buat apa kita bikin NKRI! (Agus Setiawan)