Opini

Tanggapan Atas Rencana Polri Terapkan Restorative Justice Atas Puisi Sukmawati

NUSANTARANEWS.CO – Tersiar berita bahwa Polri akan menerapkan teori keadilan restoratif (restorative justice) dalam wujud diversi pada kasus dugaan tindak pidana penodaan agama atas puisi kontroversial yang dibawakan oleh Sukmawati.

Sebagaimana kita ketahui, perihal penodaan agama adalah tindak pidana kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP. Pasal 156a huruf a KUHP terkualikasi sebagai delik biasa bukan delik aduan. Tanpa adanya aduan, maka pihak Kepolisian sudah dapat melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan untuk mendapatkan minimal dua alat bukti dan menetapkan tersangkanya.

Pada delik agama, korban bukanlah orang (naturlijk person). Pasal 156a KUHP sama sekali tidak mensyaratkan adanya aduan dan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan penodaan agama. Oleh karenanya delik ini bersifat formil. Sepanjang telah dipandang cukup memenuhi unsur, maka pelaku ditetapkan sebagai tersangka untuk selanjutnya di tuntut di muka Pengadilan. Jadi, delik formil adalah berbeda dengan delik materil. Delik materil menekankan pada akibat, sedangkan delik formil menekankan pada perbuatan.

Terlebih lagi, Pasal 156a KUHP – yang merupakan perintah Pasal 4 UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama – di tempatkan dalam Bab V tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Masuknya Pasal 4 UU Nomor 1 PNPS/1965 yang kemudian kita kenal dengan Pasal 156a KUHP ke dalam Bab Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum menegaskan bahwa kejahatan penodaan terhadap agama menggangu kepentingan sosial/publik.

Secara teori kepentingan hukum menunjuk pada tiga kepentingan, yakni kepentingan individu (individuale belangen), kepentingan sosial (sociale belangen) dan kepentingan negara (staat belangen). Oleh karena itu, delik penodaan agama bukan ditujukan untuk melindungi kepentingan individu.

Bahkan jika dilihat dari sejarah lahirnya UU Nomor 1/PNPS/1965 diketahui adanya gangguan terhadap Pertahanan Negara dengan menunjuk pada kondisi Kewaspadaan Nasional saat itu yang marak perilaku penodaan terhadap agama Islam.

Kondisi saat ini menunjukkan situasi yang relatif sama dengan masa sebelum diterbitkannya UU Nomor 1/PNPS/1965. Berbagai tindakan penodaan agama Islam demikian marak dan mengganggu kebhinekaan Indonesia. Namun disayangkan terhadap beberapa orang, pihak Polri belum menindaklanjutinya, seperti pada kasus Viktor Laiskodat dan Ade Armando. Terlebih lagi, untuk Ade Armando telah dinyatakan batal SP3 yang diterbitkan penyidik oleh Pengadilan.

Lebih lanjut, dalam hal upaya Polri untuk menerapkan teori restorative justice perlu dikritisi dan sekaligus perlu dipertanyakan. Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Dari pengertian tersebut, mensyaratkan harus adanya korban. Pemulihan kembali menyangkut adanya kompensasi berupa ganti kerugian atas perbuatan yang menimbulkan kerugian. Adapun perspektif Pasal 156a huruf a KUHP, tidak menunjuk adanya korban, yakni manusia alamiah (naturlijk person). Dengan demikian, tidak terbuka ruang masuknya restorative justice (diversi) dalam proses hukum terhadap delik penodaan agama.

Berlakunya Pasal 156a KUHP menunjuk pada kepentingan yang hendak dilindungi yakni kepentingan agama itu sendiri. Menurut teori religionsschutz theorie (perlindungan agama), agama itu sendiri dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (atau yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Dengan demikian yang menjadi korban adalah jelas agama itu sendiri. Tertutup ruang untuk memperluas pengertian korban, menjangkau orang sebagai korban. Jikalau tetap dipaksakan, maka Polri telah melampui kewenangannya (ultra vires). Tidak ada hak bagi Polri melakukan penafsiran ekstensif. Terhadap sesuatu yang sudah jelas tidak memerlukan penafsiran.

Penulis berpendapat bahwa perlindungan (kepentingan) terhadap agama adalah identik dengan kepentingan negara. Agama menjadi dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945). Apabila Ketertiban Umum tidak terjamin, maka akan melemahkan tata laku Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) dan bahkan mengganggu Ketahanan Nasional.

Konsep keadilan restoratif tidaklah semudah yang dibayangkan untuk kemudian diupayakan oleh pihak Polri dalam kasus Puisi Sukmawati. Restorative Justice yang digagas oleh John Rawls itu dalam beberapa kasus memang dapat diterapkan dengan pendekatan mediasi untuk mengupayakan diversi.
Secara teori, keadilan restoratif menunjuk pada prinsip “ultimum remedium”. Hukum pidana (pemidanaan) baru dapat bekerja setelah dilakukan tindakan berupa pemberian sanksi tertentu, seperti dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan hidup yang merugikan masyarakat sekitar serta rusaknya ekosistem.

Begitupun dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur diterapkan konsep restoratif justice dalam bentuk diversi (pengalihan proses hukum pidana) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Dalam tataran empirik persoalan merestorasi keadilan yang diwujudkan pada ganti kerugian masih menimbulkan polemik. Sebab belum ada panduan pelaksanaan implementatif, seperti pada kasus lingkungan hidup dan kasus anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum (ABH). Apalagi diterapkan pada delik agama. Dapat dikatakan, tidaklah pada tempatnya menggunakan teori restorative justice dalam delik agama.

Dalam dunia akademik memang teori restoratif justice menjadi kajian yang sangat menarik. Namun, bukan berarti menarik masuknya teori restoratif justice dalam tataran empirik pada kasus aquo adalah dibenarkan secara yuridis walaupun maksudnya baik.

Lebih lanjut, pertanyaan yang harus dijawab oleh Polri, jika memang ingin menerapkan keadilan restoratif dalam bentuk diversi tersebut, sebagai berikut:

Pertama, sanggupkah Polri untuk mendata secara pasti berapa orang yang tersinggung atas puisi Sukmawati di seluruh Indonesia? Bagaimana sistem dan metoda pendataannya?

Kedua, walaupun katakan Polri dapat mendatanya secara pasti, maka bagaimana sistem dan mekanisme proses mediasinya untuk menerapkan restoratif justice dan diversi tersebut?

Ketiga, misalkan Polri dapat merumuskan sistem dan mekanisme proses mediasi dalam rangka diversi, bagaimana menyangkut perihal ganti kerugiannya? Seberapa besar ganti kerugian tersebut yang harus disepakati antara umat Islam se-Indonesia yang tersinggung dengan puisi Sukmawati? Apakah sanggup Sukmawati membayar ganti kerugian kepada semua umat Islam se-Indonesia yang tersinggung tersebut, jika diasumsikan, misalkan saja untuk satu orang saja “meminta angka” Rp.10.000.000. (sepuluh juta rupiah).? Bagaimana jika, angkanya Rp. 100. 000.000.(seratus juta rupiah) atau bahkan Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah), dikalikan sejumlah umat Islam yang tersinggung dengan batasan umur setelah usia baligh.

Keempat, bagaimana terhadap kasus-kasus sebelumnya, seperti contoh Viktor Laiskodat dan Ade Armando, berarti pula harus dilakukan hal yang sama belum lagi pada masa depan jika ada kasus serupa. Apakah mampu melakukan diversi yang terkait kewajiban adanya ganti kerugian?

Jadi, adalah suatu hal yang tidak mungkin (mustahil) menerapkan restoratif justice dengan diversi pada kasus aquo, itu sama saja memasukkan “minyak ke dalam air.”

Tidak pula dapat dibenarkan pernyataan Polri bahwa jika LP dicabut, maka terbuka ruang untuk diversi dengan mengacu pada restorative justice, itu adalah kebijakan yang bertentangan dengan konsepsi negara hukum Indonesia. Delik penodaan agama adalah delik biasa dan delik formil yang tidak mengenal korbannya orang. Negara dalam hal ini aparat penegak hukum wajib melindungi kepentingan agama dari setiap tindakan yang merendahkan, menghina dan mencemarkan ajaran agama.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Di sisi lain ketika para Ulama dan Aktivis Aksi Bela Islam 212 “terjerat hukum” karena adanya laporan segelintir orang saja, pihak Polri demikian pro aktif. Tidak perrnah pihak Polri menawarkan restorative justice, musyawarah, atau diversi.

Pada kesempatan ini, perlu penulis sampaikan, saat Sukmawati melaporkan Imam Besar Umat Islam Indonesia Yang Mulia Habibana Muhammad Rizieq Shihab – semoga kemuliaan dan keberkahan selalu Allah SWT curahkan pada beliau – yang bersangkutan demikian angkuhnya menyatakan tidak akan memaafkan dan tidak akan mencabut LP, ini penulis saksikan sendiri saat debat di Jak TV tahun lalu. Penulis pada saat itu sungguh “sakit hati”. Sebagai seorang muslim Penulis tidaklah “dendam”, namun sungguh “tidak dapat melupakan”.

Lebih lanjut, jika seandainya Polri memperluas pengertian “korban”, maka penulis atas nama pribadi meminta Polri untuk memediasi antara Sukmawati dengan Habibana Muhammad Rizieq Shihab, sebagai salah satu korban.

Sukmawati harus “menundukkan diri” mohon maaf kepada Imam Besar Umat Islam Indonesia. Itu adalah konsekuensi. Itupun masihlah belum cukup. Polri harus adil, jika terhadap delik agama dilakukan diversi, maka terhadap penerapan hukum terhadap para Ulama dan Aktivis 212 harus dilakukan hal yang sama. Bagaimana yang dalam yang proses penuntutan dan telah menjalani hukuman? Tentu ini bukan domain Polri.

Penulis berpendapat, untuk mengakhiri “krisis kebangsaan” ini dan penerapan hukum terhadap para Ulama dan Aktivis 212 yang terkesan ada unsur “kriminalisasi” dan di sisi lain menyikapi kasus Sukmawati dan kasus penodaan agama yang lainnya, maka Presiden harus menerbitkan Amnesti Umum dan Abolisi untuk Alim Ulama dan Aktivis 212. Seiring dengan itu kasus Sukmawati dan yang lainnya dapatlah dianulir. Pendapat penulis ini mengacu kepada teori hukum progresif alm. Prof Satjipto Rahardjo. Mengedepankan mashlahat daripada mudharat, agar terwujud rekonsiliasi kebhinekaan guna memperkuat Persatuan Indonesia.

*DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH., penulis adalah Ahli Hukum Pidana Alim Ulama dan Aktivis 212.

Related Posts

1 of 816