Cerpen: Fajri Andika
“Lebih baik mati daripada menyerahkan tanahku ini kepada orang asing itu,” berkata Edin kepada Matroni.
Belum selesai Edin bicara, keburu dipotong Matroni, “semoga kamu tidak menyesal dengan keputusanmu ini, Din. Perlu kamu tahu, aku tidak pernah punya niat memaksamu untuk menjual tanahmu itu. Tapi kalau aku ada di posisimu, sudah kuterima tawaran dari Pak Yusri itu.” Lelaki paruh baya itu diam sejenak, kemudian melanjutkan, “ingat, Din, kamu sekarang sedang butuh uang banyak buat biaya kuliah anakmu.”
Tiba-tiba wajah Edin tampak kusut. Perkataan sepupunya itu seperti petir yang menghantamnya. Ia memang sedang butuh uang dalam jumlah yang tidak sedikit untuk biaya kuliah anak satu-satunya. Namun, ia tetap mencoba bersikap tenang.
“Aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku,” kata Edin, “masalah biaya kuliah anakku, itu urusanku. Aku ini ayahnya. Aku akan bertanggung jawab pada masa depannya.”
“Dari mana kau akan dapat uang sebanyak itu kalau tidak dengan menjual tanahmu yang tidak produktif ini, Din?” Matroni belum mau menyerah. Ia mengeluarkan segala macam jurus agar Edin mau menjual tanahnya.
“Itu urusan keluargaku, Mat. Kau tidak berhak ikut campur.”
“Jelas aku punya hak. Anakmu itu keponakanku.”
Hening. Kedua saudara sepupu itu hanya saling tatap.
“Lagi pula, Din,” kata Matroni, “tanah milikmu ini bukanlah tanah yang produktif. Dengan menjual tanah ini, kau bisa membeli tanah yang lain, yang bisa ditanami padi, tembakau, jagung, dan lainnya. Dan menurutku, itu lebih bermanfaat dan menguntungkanmu.”
“Perlu kamu tahu, ini bukan masalah untung-rugi, Mat, tapi ini masalah menjaga tradisi. Ini tanah sangkolan dari mendiang bapakku. Dan aku wajib menjaga dan merawatnya, meski tidak bisa ditanami dan memberi penghasilan padaku. Dan kutegaskan sekali lagi, berapa pun duit yang ditawarkan oleh orang asing itu, tanah ini tetap tidak akan kujual,” tegas Edin. “Aku memang bukan sarjana seperti kamu, Mat. Aku adalah orang bodoh lulusan SD yang tidak fasih membaca. Tapi kalau untuk urusan menjaga tanah luluhur seperti ini, aku lebih cerdas dari kamu. Dan kau tidak akan pernah bisa membodohiku.”
“Apa maksud kamu, Din?”
“Sudahlah, Mat. Sudah. Sebenarnya aku sudah tahu apa maksud dan tujuanmu membujukku untuk menjual tanah ini kepada Pak Yusri. Memangnya kamu diberi berapa rupiah oleh investor itu?”
Kali ini Matroni tidak berkutik. Lelaki yang khas dengan peci hitamnya itu tiba-tiba kikuk. Ia memang diberi tugas oleh Yusri menjadi pihak ketiga bersama kepala desa setempat untuk merayu Edin agar menjual tanahnya. Pengusaha kaya raya itu sengaja menyuruh Matroni karena mereka masih sepupuan. Menurutnya, siapa tahu, dengan faktor kekerabatan itu Edin mau melepas tanah yang telah lama diincarnya.
Yusri, lelaki berpostur tinggi besar itu merupakan seorang pengusaha muda kaya raya yang akhir-akhir ini sedang gencar mengincar tanah yang letaknya strategis dan potensial untuk dijadikan lahan industri tambak udang. Ia menggunakan segala macam cara untuk melancarkan usahanya itu. Salah satu cara yang ia lakukan ialah dengan menawar tanah yang diincarnya di atas harga rata-rata dan melalui pihak ketiga. Pihak ketiga di sini adalah para birokrat desa. Biasanya Yusri bersama orang-orangnya aktif melakukan pertemuan di rumah kepala desa guna memuluskan rencananya mengaveling tanah incarannya. Setelah sepakat, para aparat desa bersama blater blusukan ke masyarakat untuk merayu agar tanahnya dijual. Dan selama ini usaha yang dilakukan Yusri itu cukup berhasil. Dengan harga selangit, sangat sulit bagi warga menolaknya. Sudah sekitar 400 hektare yang telah berhasil Yusri dapatkan.
Namun, sampai saat ini tanah yang belum berhasil Yusri dapatkan adalah tanah milik Edin. Ya, selama ini, dari sekian tanah yang Yusri incar, tanah milik Edin-lah yang paling ia inginkan. Alasannya, lokasinya sangat strategis. Selain dekat dengan jalan raya, juga tidak jauh dari bibir pantai untuk dijadikan tempat pembuangan limbah tambak udang yang ingin ia bangun.
“Pokoknya saya tidak mau tahu. Bagaimana pun caranya, tanah itu harus berhasil kita dapatkan,” berkata Yusri pada suatu hari di kediaman kepala desa.
“Tapi bagaimana caranya, Pak?” tanya Matroni.
“Iya, kita sudah menggunakan segala macam cara. Dan seperti yang kita tahu, Edin tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau melepas tanahnya,” sambung kepada desa.
“Aku juga heran kenapa dia mengabaikan uang sebanyak itu? Apakah dia sudah buta rupiah? Dan lagipula tanahnya itu tidak bisa ia apa-apakan. Atau jangan-jangan dia ingin membangun sebuah istana di atas tanahnya itu. Atau mungkin di bawah tanah yang tandus itu dia menyimpan harta karun. Ha ha ha…,” kata Yusri dengan nada menghina, tertawa terpingkal-pingkal.
“Saya juga heran dengan sepupu saya itu, Pak, kenapa dia sama sekali tidak tergiur dengan tawaran bapak yang selangit itu,” kata Matroni memotong perkataan Yusri, “padahal sekarang dia sedang butuh uang banyak buat biaya kuliah anaknya.”
“Lalu apa sekarang rencana sampean, Cak Matroni?” tanya Yusri.
“Saya juga bingung, Pak. Saya kehabisan akal, tidak tahu bagaimana caranya untuk menaklukkan sepupu saya itu. Saya menyerah.”
“Jangan begitu, Pak. Kita tidak boleh menyerah. Pasti ada cara untuk membuat hati Pak Edin luluh dan menyerahkan tanahnya,” sergah kepala desa.
“Apa, Pak? Apa? Pak kades ada usul?” tanya Matroni seraya menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Kenapa tidak dibicarakan secara kekeluargaan saja, Pak?”
“Maksud, Pak Kades? Saya tidak paham.”
“Bukankah putra Bapak bertunangan dengan putri Bapak Edin? Dan bukankah putri dari Pak Edin itu sangat mencintai putra Bapak? Nah, usul saya, bagaimana kalau Bapak mengancam Pak Edin bahwa jika Pak Edin tidak mau menjual tanahnya, maka Bapak akan membatalkan pertunangan itu? Setahu saya, Pak Edin sangat sayang pada putri satu-satunya itu. Apapun yang diinginkan oleh putrinya, pasti beliau turuti. Saya yakin Pak Edin lebih memilih kehilangan tanahnya daripada melihat putri yang sangat disayanginya menangis tujuh hari tujuh malam gara-gara kehilangan pujaan hatinya.”
“Itu ide yang bagus, Pak Kades,” kata Yusri, “saya yakin, kali ini Cak Edin pasti tidak berkutik.”
“Saya setuju, Pak. Itu usul yang sangat luar biasa. Saya yakin kali ini Edin tidak akan punya alasan untuk tidak melepas tanahnya,” kata Matroni sumringah, “nanti sepulang dari sini saya akan ngomong dengan anak saya.”
“Kalau begitu kita semua setuju dengan usul pak kades. Kira-kira kapan Cak Matroni akan ngomong dengan putra Bapak dan Cak Edin?” tanya Yusri. Pengusaha yang khas dengan topi koboynya itu mulai tidak sabar.
“Lebih cepat lebih baik, Pak. Habis Ashar saya akan bertandang ke rumah Edin,” ujar Matroni seraya menghisap rokoknya dalam-dalam.
Sementara Matroni sedang rapat di rumah kepala desa, di tempat lain Edin sedang sekarat. Matroni, Yusri, dan kepala desa tidak tahu bahwa orang yang sedang mereka bicarakan itu sedang terkapar tak berdaya di rumah sakit.
Ya, sekitar pukul setengah sebelas tadi Edin kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pohon. Akibatnya, motor jadulnya rusak parah. Sementara Edin sendiri mengalami pendarahan. Saat ini ia sedang berjuang melawan maut.
“Maafkan ayahmu ini, Nak. Ayah belum bisa membahagiakanmu,” ujar Edin dengan suara terbata-bata.
“Ayah pasti sembuh. Ayah tidak boleh pergi,” kata anaknya. Perempuan berhijab itu merasa Malaikat Maut sedang berada di ruangan yang penuh dengan aroma obat itu.
“Sebelum ayah pergi, ayah ingin berpesan, jagalah tanah sangkolan dari mendiang kakekmu itu. Apapun yang terjadi, jangan sampai tanah itu kau jual.” Tiba-tiba tubuh Edin begitu dingin. Air mata anak dan kerabat-kerabatnya yang ada di ruangan itu pun tumpah.
Yogyakarta, 2017
Keterangan: Tanah sangkolan (bahasa Madura): tanah warisan.
Fajri Andika. Lahir di Sumenep, Madura 1 Juli 1989. Bergiat di Komunitas Rudal, dan juga aktif di Komunitas Menulis Pinggir Rel (MPR) Yogyakarta. Penikmat Kopi dan Puisi.’
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].