PolitikRubrika

Soeprapto: Untuk “Pedagogy Authority” LPPKB Merasa Bertanggung Jawab

Soeprapto, Ketua LPPKB
Soeprapto, Ketua LPPKB

NUSANTARANEWS.CO – Soeprapto, mengatakan bahwa untuk pedagogy authority LPPKB merasa betanggung jawab. Hal itu terungkap dalam sesi diskusi terbatas bertema: “Pembakuan Pemahaman Pancasila Sebagai Dasar Negara, Ideologi Nasional dan Pandangan Hidup Bangsa” – yang diselenggarakan pada awal Mei lalu, bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional. Diskusi berlangsung hangat dan konstruktif. “Bila ada pertanyaan apakah dalam hal ini LPPKB memiliki autority sebagai legal authority, tentunya tidak ada. Namun untuk pedagogy authority LPPKB merasa bertanggung jawab,” ujar Soeprapto

Dalam diskusi terbatas ini, para peserta mendapatkan dua buah buku sebagai rujukan diskusi yang bertajuk “Pancasila” dan “Pedoman Umum Implementasi Pancasila” – yang merupakan hasil produk kajian internal LPPKB yang telah diterbitkan. Menurut Soeprapto, buku dengan tajuk “Pancasila” sengaja disusun bersamaan dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 36 tahun 2010, tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik.

“LPPKB yang selama ini konsen mengkaji tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama implementasi Pancasila di masyarakat merasa terpanggil untuk berpartisipasi sesuai dengan lingkup kerjanya,” jelas Ketua LPPKB.

Adapun buku bertajuk “Pancasila” yang dibagikan kepada peserta mencakup sembilan bab yang mengupas tuntas tentang Pancasila secara ringkas, lugas dan mencerdaskan. Bab I mengupas mengenai pengertian Pancasila sesuai dengan pemikiran awal dan perkembangannya. Bab II mengupas makna Pancasila ditinjau dari hakikat dan sejarah perkembangan perumusannya meliputi konsep, prinsip serta nilai yang tedapat di dalam Pancasila. Bab III Pancasila sebagai dasar negara. Bab IV Pancasila sebagai ideologi nasional. Bab V Pancasila sebagai pandangan hidup dan acuan perilaku bagi manusia Indonesia. Bab VI Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa Indonesia. Bab VII Pancasila sebagai sistem “filsafati” yang menjadi sumber utama segala penjabaran norma, termasuk moraliti berbangsa dan bernegara. Bab VIII memahami wawasan sila-sila Pancasila secara komprehensif sebagai jurus menghadapi “predator” yang ingin menghabisi Pancasila. Bab IX rangkuman.

Baca Juga:  Berikut Nama Caleg Diprediksi Lolos DPRD Sumenep, PDIP dan PKB Unggul

Hadir dalam diskusi terbatas ini tujuh Universitas, satu Sekolah Tinggi, satu Politeknik, Asosiasi Dosen (ADPK), serta enam Yayasan – yang diharapkan dapat melahirkan sebuah komunitas yang lebih besar dalam rangka menghasilkan pembakuan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa serta implementasinya dalam kehidupan nyata.

Beberapa catatan penting redaksi dari hasil diskusi terbatas ini antara lain:

  • Perlunya rekonstruksi sejarah secara faktual, misalnya terkait jumlah Presiden Republik Indonesia menjadi “Sembilan” orang dengan memasukkan Safrudin Prawiranegara dan Assaat.
  • Bahwa standarisasi perlu dilakukan sebagai koridor yang bersifat dinamis bukan sebagai formalisme statis.
  • Satu Juni diliburkan sebagai peringatan hari lahir Pancasila, namun sila-sila yang resmi digunakan dalam Pancasila adalah hasil konsensus 18 Agustus 1945. Hal ini perlu penjelasan historis yang logis dan rasional.
  • Perlu pemahaman terbuka terhadap arti religiositas dan spiritualitas terkait dengan dengan sila pertama.
  • Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional sudah selesai. Sudah final. Tinggal bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. *Red: Terkait partai politik, mungkin bukan masalah ideologi lagi, tapi lebih kepada platform partai politik dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanah pembukaan UUD 1945. Jadi yang membedakan garis perjuangan partai adalah platformnya. Bukan ideologinya.
  • Gejala melemahnya pemahaman Pancasila sebagai dasar negara dan Ideologi nasional bukan dengan mengeluarkan semboyan-semboyan seperti: Saya Pancasila, Saya Indonesia, dan sebagainya. Hal itu justru kontraproduktif terhadap semangat Pancasila. *Red: Setuju, bahwa semboyan-semboyan itu justru menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak paham Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Malah bisa menimbulkan bipolaritas yang bertentangan dengan semangat Pancasila itu sendiri.
  • Perkembangan teknologi komunikasi dan revolusi industri 4.0, secara nyata telah menghilangkan batas-batas negara. Sehingga generasi anak-anak yang tidak mendapat pengajaran tentang Pancasila, kini sudah tidak tahu lagi tentang Pancasila. Hal ini tentu sangat berpengaruh bagi perkembangan ideologi kita.
  • Kehadiran pemerintah sekarang dengan membentuk BPIP apakah benar-benar akan mengimplementasikan Pancasila. Dulu, di zaman Pak Harto ada BP-7 yang benar-benar dikenal oleh masyarakat dan di dukung penuh oleh pemerintah.
  • Keberadaan kita sebagai warga negara yang konsen terhadap Pancasila berada di luar sistem pemerintahan, lalu siapa yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya.
  • Dalam satu dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran mindset dan penyempitan pola pikir masyarakat. Sehingga keakraban dan kehangatan di dalam masyarakat mulai hilang. Sebaliknya, kini malah muncul kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat ekslusif. Bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang inklusif.
  • Pembakuan diperlukan. Misal, pendidikan moral Pancasila harus sudah dimulai sejak dini – termasuk wawasan nusantara secara historis dan geografis. *Red: Bagaimana secara demografis menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa agraris yang memiliki wilayah maritim sangat luas – seluas wilayah Amerika Serikat (AS). Bukan dengan semboyan “Nenek Moyangku Orang Pelaut.”
  • Juga kesadaran sebagai warga negara. Dalam kewarganegaraan perlu diajarkan hak dan kewajiban warganegara dan ditumbuhkan kesaadaran sebagai warganegara Indonesia.
  • Dulu ada Menwa tempat menanamkan nilai-nilai Pancasila, lalu kalau sekarang ditolak karena dianggap militerisme – gantinya apa dalam rangka mebangun jiwa patriot generasi mendatang.
  • Demikian pula dengan GBHN, sekarang gantinya apa untuk perencanaan pembangunan. *Red: Perlu dibentuk semacam Menko-nya Menko berupa “Badan Strategis Perencanaan Pembangunan Nasional” yang memiliki “otoritas” untuk menyusun garis besar haluan negara sesuai dengan perintah pembukaan UUD 1945 yang terukur – sehingga tidak ada lagi alasan tidak sinkron dan tidak terkoordinasi.
Baca Juga:  Ar-Raudah sebagai Mercusuar TB Simatupang

Menutup diskusi, Soeprapto menegaskan bahwa Pancasila adalah konstruksi nalar manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pancasila juga sebagai gagasan dasar manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana kita akan mengimplementasikan Pancasila kalau pembakuannya saja belum terjadi? Sehubungan dengan itu, Soeprapto mengatakan bahwa, diperlukan pengembangan lebih lanjut yang serius. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,051