KolomOpini

Apa Dasar Penetapan Tarif Batas Atas dan Bawah Tiket Pesawat?

Bandara Domestik Indonesia (Foto Dok. Bandara Soekarno Hatta)
Bandara Domestik Indonesia (Foto Dok. Bandara Soekarno Hatta)

Apa Dasar Penetapan Tarif Batas Atas dan Bawah Tiket Pesawat?

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Kementerian Perhubungan kembali memberikan ultimatum kepada para maskapai penerbangan untuk segera merevisi harga jual tiket pesawat berlaku saat ini setelah adanya kebijakan perubahan Tarif Batas Atas (TBA) yang diturunkan pemerintah hingga sebesar 16 persen. Melalui perubahan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 72 Tahun 2019, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memberikan waktu 2×24 jam kepada maskapai penerbangan untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut.

Namun, sampai tulisan ini dibuat, harga tiket pesawat maskapai penerbangan, baik itu yang tergabung dalam perusahaan BUMN Garuda Group maupun korporasi swasta Lion Group belum menurunkan tarif atau harga jual tiket yang berlaku. Apakah maskapai penerbangan akan kembali mengabaikan kebijakan pemerintah in, dan apa sangsi dan konsekuensi bagi maskapai penerbangan apabila nengabaikan Kepmenhub tersebut?

Tidak ada penjelasan lebih lanjut atas pelanggaran TBA yang telah direvisi tersebut bagi maskapai penerbangan dan berpotensi takkan dipatuhi lagi.

Baca juga: Menyoroti Garuda Indonesia dan Pertamina Terkait Mahalnya Harga Tiket Pesawat

Baca juga: Harga Tiket Pesawat Garuda Indonesia Masih Tetap Mahal

Profesionalisme Manajemen Maskapai

Beberapa alasan dan penyebab yang disampaikan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia seolah-olah mau berlepas tangan atas permasalahan mahalnya tiket dan ‘menyalahkan’ harga murah yang terjadi di masa lalu, semakin membuktikan bahwa manajemen Garuda Indonesia tidak profesional, bahkan tidak memiliki rencana strategis dengan basis data yang kuat dan kredibel untuk melakukan proyeksi bagi masa depan.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Hal ini semakin menunjukkan, bahwa jajaran direksi tidak mempunyai terobosan (breakthrough) dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Padahal banyak sekali cara dalam menyelesaikan masalah mahalnya tiket pesawat Garuda Indonesia dengan melakukan berbagai efisiensi pada pos-pos biaya variabel (variable cost) dan biaya overhead (overhead cost) tanpa mengurangi jasa pelayanan penuh (full service carrier).

Misalnya adalah gaji dan tunjangan para pilot Garuda Indonesia yang berjumlah 1.200 orang beserta kru kabin nya yang berjumlah 5.000 orang itu dapat diklaim sebagai biaya sangat tinggi dibandingkan dengan maskapai swasta lainnya. Selain itu, beberapa pos biaya lainnya juga dapat dilakukan efisiensi seperti mengupayakan penghapusan pajak atas harga avtur yang selama ini dikeluhkan sangat mahal dan selalu menyalahkan pihak Pertamina, sekalipun pada tanggal 16 Februari 2019 Pertamina telah merevisi harga jual avtur tersebut menjadi lebih murah.

Jika menggunakan basis data yang baik (historical data), maka pihak manajemen Garuda Indonesia juga dapat menerapkan konsep harga (pricing concept) berdasarkan hukum permintaan dan penawaran sehingga daerah tujuan yang memang penuh atau gemuk bisa saja harga jual tiketnya lebih mahal dibanding jalur yang sepi penumpang. Hal inilah yang tidak terjadi dalam konteks mahalnya harga tiket pesawat Garuda Indonesia, justru daerah tujuan yang sepi, baik itu di masa puncak (peak season) maupun dimasa rendah (low season) penumpang harga jualnya malah lebih mahal.

HPP Tiket Pesawat

Apabila maskapai penerbangan Garuda Indonesia menyampaikan bahwa keuntungan yang diambilnya hanya 2 persen saja berarti Harga Pokok Penjualan tiket pesawat mereka yang berkaitan dengan biaya-biaya penyediaan jasa angkut penumpang niaga dari satu tempat ke tempat lain jika dibandingkan dengan Hasil Penjualan tiketnya hanya menghasilkan laba di laporan rugi-laba sebesar 2 persen.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Oleh karena itu, perlu juga diketahui berapa sebenarnya HPP maskapai penerbangan ini dalam membentuk harga jual tiket pesawat yang kemudian menjadi mahal dikeluhkan konsumen? Jangan sampai Kementerian Perhubungan sebagai regulator tidak memiliki dasar dalam mengambil kebijakan TBA dan TBB yang kemudian merugikan bisnis maskapai penerbangan secara sepihak. Begitu juga halnya dengan Kementerian BUMN harus memastikan bahwa laporan keuangan (di antaranya laporan rugi-laba) BUMN plat merah ini juga harus menerapkan prinsip-prinsip Standar Akuntansi Internasional, termasuk auditor yang kredibel.

Dengan laba yang bisa dihasilkan oleh BUMN Garuda hanya 2%, maka komponen-komponen biaya langsung dan tak langsung yang dikeluarkan untuk usaha jasa transportasi udara ini sebagian besar merupakan pembentuk harga pokok penjualan. Jika demikian halnya, maka TBA yang turun sebesar sampai 16 persen itu jika ditindaklanjuti oleh Direksi atau manajemen Garuda Indonesia akan mengakibatkan Garuda Indonesia menanggung kerugian sebesar 13 sampai 14 persen nantinya.

Oleh sebab itu, Kementerian Perhubungan pertama kali harus mengetahui terlebih dahulu berapa jumlah harga pokok penjualan maskapai penerbangan dan berapa biaya langsung dan tak langsungnya.

Hal ini penting sebagai dasar dalam menggunakan TBA dan TBB kalau Kemenhub dan BUMN menyatakan bahwa harga tiket pesawat mahal atau tidak. Akan sangat aneh (absurd) suatu kebijakan diambil oleh pemerintah dalam menyeimbangkan pasar jasa transportasi udara melalui intervensi harga, namun tak memegang HPP bisnis jasa transportasi tersebut.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Dari aspek perlindungan konsumen mungkin posisi Menteri Perhubungan sudah menyuarakan hak konsumen, tapi berapa laba atau rugi yang diderita oleh maskapai penerbangan sejatinya tak ada publik yang tahu. Alih-alih menyalahkan harga jual avtur yang mahal dan sarat kepentingan korporasi swasta untuk masuk dalam bisnis ini, justru malah membenturkan antar BUMN.

Maka itu, perlu juga bagi publik untuk mengetahui dasar kebijakan Kepmenhub Nomor 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang ditandatangani tanggal 15 Mei 2019 itu, apakah sudah memperhitungkan HPP maskapai penerbangan?

Bagaimana pula halnya dengan Tarif Batas Bawah (TBB) yang diterapkan pada maskapai penerbangan, apakah ada formula HPP-nya, jika hal ini tidak termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Apabila TBB tanpa memperhitungkan HPP maskapai penerbangan, maka selisih TBA dan TBB ini fungsinya untuk apa.

Seharusnya memang ada sebuah lembaga independen (seperti Dewan Indek Konsumen/IConsumer Board Index di USA) yang dapat memberikan input bagi kebijakan penetapan harga jual produk/barang atau jasa berdasar perkembangan ekonomi makro dan daya beli konsumen secara sektoral dan regional di Indonesia, sehingga harga yang berlaku adalah wajar (fair) bagi pengusaha di satu sisi dan melindungi hak konsumen di sisi yang lain.

Related Posts

1 of 3,049