ArtikelBerita Utama

Skenario Perang Hibrida AS di Myanmar

NUSANTARANEWS.CO – Benarkah Amerika Serikat (AS) ingin membangun pangkalan militer di Teluk Benggala? Bila pertanyaan itu benar maka seperti yang sudah-sudah AS akan mengeluarkan retorika demokrasi dan kemanusiaan sebagai kata kunci – guna menutupi motif sesungguhnya dari agenda tersembunyinya. Terkait dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, AS jelas sangat ahli dalam mengeksploitasi tragedi kemanusiaan tersebut untuk mencapai tujuan geopolitiknya.

Bila AS mulai melancarkan operasi intelijennya, maka skenario yang diterapkanya pun mungkin sama dengan apa yang dilakukannya di Eropa Timur maupun Timur Tengah, yakni: Revolusi Warna dan Arab Spring. Dalam sebuah diskusi terbatas di kantor nusantaranews.co tentang perang sipil di Myanmar, muncul analisis diterapkannya skenario “Indonesianisasi” Myanmar yakni: otonomi khusus (seperti Aceh dan Papua) atau kemerdekaan (bagi Rohingya) seperti halnya Timor Timur.

Seperti diketahui, Grand Strategi Amerika pasca Perang Dingin (Cold War) lebih banyak menjalankan strategi perang non militer, dengan menerapkan Proxy War untuk memicu kekacauan tanpa henti seperti yang saat ini dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah. Atau melakukan kontrol langsung seperti di Kosovo yang diduduki setelah berakhirnya Perang Yugoslavia tahun 1999. Modus operandi proxy war ini tampaknya akan segera diterapkan di Rakhine, Myanmar.

Myanmar memang sangat rentan terhadap konsep “Balkanisasi” yang dikembangkan oleh RAND Corporation untuk memecah belah Yugoslavia. Terutama mengingat situasi Myanmar yang sejak berakhirnya Perang Dunia II terus dilanda perang sipil dalam skala terbatas di daerah pedalamannya.

Perang Sipil di Myanmar bila disederhanakan, dapat digambarkan sebagai sebuah perang kelompok mayoritas yang berada di bagian tengah negara itu, berperang melawan berbagai kelompok minoritas di pedalaman yang menuntut sebuah otonomisasi. Nah, di tengah kebuntuan tersebut, tiba-tiba muncul front baru di Negara Bagian Rakhine. Front baru ini, ternyata telah membawa perubahan strategis bagi perjuangan kelompok minoritas Rohingya dalam melawan pemerintah – terutama karena letak negara bagian Rakhine yang berbatasan langsung dengan laut – tidak seperti kelompok minoritas lainnya.

Faktor geografis ini ternyata sangat menguntungkan bagi kelompok perlawanan Rohingya karena memudahkan akses dukungan material, termasuk senjata bagi mereka. Sementera kelompok perlawanan di daerah pedalaman tidak memiliki keuntungan taktis ini – yang mungkin bisa menjelaskan mengapa mereka gagal dalam perjuangannya selama setengah abad. Lebih terbukanya akses, dan banyaknya dukungan terhadap kelompok Rohingya pada gilirannya membuat suatu perbedaan yang menentukan terkait keseimbangan kekuatan melawan pemerintah.

Baca Juga:  Tour de Panderman 2024 Pecahkan Rekor MURI, Agung Mulyono Gaungkan Slogan SMS

Sejak tahun 2012, Rohingya sebenarnya sudah masuk di dalam radar media Barat berkenaan dengan krisis kapal migran. Memang belum ada data akurat mengenai jumlah orang Rohingya yang melarikan diri lewat laut. PBB sendiri memperkirakan jumlah mereka sekitar 100.000 orang yang telah melarikan diri melalui laut dalam tiga tahun terakhir, yang mewakili 10-12% dari total populasi mereka di Myanmar.

Eksodus dan keberadaan kamp-kamp kumuh di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia yang dihuni oleh para migran Rohingya ilegal telah semakin meyakinkan dunia internasional bahwa telah terjadi krisis kemanusiaan yang luar biasa di Myanmar. Apalagi setelah maraknya beragam informasi di internet yang memberi kontribusi besar terhadap perasaan dunia internasional untuk segera mengatasinya.

Sebagai ahlinya, AS pun kemudian mempolitisir krisis geopolitik yang menggoda tersebut untuk menemukan cara ikut campur tangan secara diplomatis. Melalui retorika, pemimpin mayoritas Senat Mitch McConnell, Washington mulai menyerang pemerintah Myanmar dan mengancam akan melakukan “intervensi kemanusiaan” untuk melindungi kelompok minoritas agama yang sudah lama menderita, termasuk Rohingya. Melalui Presiden Obama, AS sebenarnya sudah membuat hubungan antara ‘demokratisasi’ dan perlakuan pemerintah terhadap Rohingya.

Sejak awal, AS jelas mengejar kepentingan tersembunyi dengan menggunakan isu ‘demokrasi’ dan krisis ‘kemanusiaan’ sebagai kemasannya. Dengan mendorong isu demokrasi, AS mulai melemahkan sentralitas negara Myanmar dan memaksakan sebuah model federasi di negara tersebut. Bisa saja skenario semacam itu menjadi langkah konstruktif guna menyelesaikan krisis domestik di Myanmar.

Bila Myanmar berubah menjadi negara federasi, maka daerah kepulauan akan menjadi negara otonom yang tersebar di sepanjang pinggiran negara tersebut, dan dalam kerangka baru, mereka dapat lebih efisien menentang peraturan pusat.

Kondisi tersebut di atas, juga sangat rentan terhadap lobi asing untuk mendukung posisi anti-pemerintah. Dengan demikian, AS dapat mengkooptasi pemerintah Myanmar, bahkan bila perlu AS dapat mengadu domba masing-masing negara-negara otonom melawan satu sama lain untuk menciptakan krisis teritorial dan politik yang dapat dieksploitasi guna mengintensifkan keterlibatannya dalam urusan dalam negeri Myanmar bahkan regional. Bila hal itu terjadi, suatu hari AS bisa saja membongkar “Uni Myanmar” menjadi “Yugoslavia” di Asia Selatan.

Untuk sampai kepada skenario tersebut, AS perlu melakukan pukulan keras terhadap pemerintah Myanmar. Seperti telah diuraikan sebelumnya, cara yang paling mudah adalah dengan mendorong Rohingya memulai pemberontakan dalam skala penuh melawan pihak pemerintah dari daerah pesisir – kemudian secara bersamaan diikuti oleh daerah perbatasan di pedalaman – maka pihak berwenang akan ditempatkan dalam situasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Baca Juga:  Ketum ASPEPARINDO Perjuangkan Nasib 14 Ribu Jukir Minimarket Jakarta

Dengan memanfaatkan momentum pemilihan umum pada bulan November mendatang, AS memiliki alasan yang tepat untuk mendesak pemerintah Myanmar agar memberikan status kewarganegaraan Rohingya. Dengan skenario yang telah ditentukan, bila kandidat atau partai yang berafiliasi dengan Rohingya kalah, maka itu menjadi sinyal umum bagi mereka untuk memulai gerakan protes melawan pemerintah.

Dengan skema ini, orang-orang Rohingya dapat menggerakkan Revolusi Warna menuntut otonomi atau kebebasan langsung sebagai ‘kompensasi’ atas “pemilihan yang dicurangi”. Bila gerakan protes sudah mencapai puncak, maka dengan mudah gerakan protes bisa dialihkan menjadi Perang Non Militer yang komprehensif. Gerakan protes diharapkan pecah pada musim panas ini menjelang pemilihan, sebagai upaya menekan pemerintah untuk membuat konsesi politik kepada mereka dan pemberontak etnis lainnya sebelum pemungutan suara secara nasional .

Perang Hibrida AS melawan Myanmar kemungkinan besar akan dikembangkan mengikuti Model Suriah – yang secara ekstensif melibatkan dukungan negara-negara regional, khususnya, di negara di mana banyak orang Rohingya telah menetap. Misalnya India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia yang kemudian bergabung dengan kelompok “koalisi“ yang melawan pemerintahan Myanmar. Setiap negara dapat melatih beberapa orang Rohingya dengan teknik-teknik perang non militer sebelum mengirim mereka kembali ke negara asal. Skema semacam ini telah dilancarkan oleh Turki, Yordania, dan Arab Saudi terhadap warga Suriah guna menghadapi pemerintah Suriah. Hal yang sama, tampaknya akan dilakukan oleh negara-negara Asia untuk menekan pemerintahan Myanmar.

Namun, skenario hibrida AS belum tentu dapat berjalan mulus di Myanmar karena kelima negara tersebut belum tentu dapat berpartisipasi dengan keberatan masing-masing. Kecuali AS berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka akan berperang melawan diskriminasi minoritas di Myanmar dengan iming-iming kesepakatan insentif ekonomi tentunya sebagai imbalan. Selain itu, sebagai bonus kerjasama, AS dapat meyakinkan mereka tentang dukungannya dalam memerangi teroris dan ISIS.

Terbentuknya daerah otonomi Rohingya tentu akan mempermudah bagi AS untuk mendirikan pangkalan militernya di daratan Asia Selatan – sama seperti Camp Bondsteel di Kosovo sebagai pos terdepan di daerah Balkan. AS jelas memiliki kepentingan untuk mendapatkan pijakan militer strategis di kawasan ini, terutama guna memberikan pengaruh lebih langsung kepada negara-negara bagian lain di Myanmar, Bangladesh, India Timur Laut yang multietnis dan provinsi Yunnan di Cina. Di samping itu, sambil menyelam, AS dapat mengontrol cadangan migas Myanmar yang bernilai triliunan dolar.

Baca Juga:  KPU Nunukan Perpanjang Masa Pendaftaran PPK Hingga 2 Mei 2024 Pukul 23:59 Wita

Geopolitik energi adalah salah satu motivasi tradisional AS yang selalu mewarnai keputusan politik luar negerinya. Demikian pula dengan kebijakan AS terhadap Myanmar yang memiliki cadangan energi migas yang besar.

Sementara Cina yang baru saja membuka dua jaringan pipa minyak dan gas yang strategis melintasi negara tersebut hingga ke negara bagian Rakhine – terjebak dalam pusaran konflik yang tidak terduga sebelumnya. Padahal Cina sudah berusaha menghindari jalur rawan konflik dan perompakan seperti Selat Malaka dengan membuka rute alternatif yang strategis untuk memastikan keamanan pasokan energinya. Cina tampaknya masih menunggu perkembangan krisis di Rakhine yang mengarah kepada federasi atau terbentuknya sebuah negara merdeka di bawah pengawasan AS. Bila hal itu terjadi, maka rencana strategis yang akan diperoleh Beijing dari jaringan pipa menjadi hilang – yang dalam jangka pendek dapat merusak proyek one belt one road-nya di Asia Selatan.

Destabilisasi di Myanmar dapat dengan mudah pula dimanfaatkan oleh AS untuk melancarkan Proxy War atas Cina. Dengan pola yang sama, AS dapat menciptakan krisis kemanusiaan di Yunnan dengan mendorong ratusan ribu pengungsi membanjiri provinsi itu. Misal dengan kasus pemberontak Kokang yang terjadi pada awal tahun ini, dalam skala terbatas telah menciptakan sensasi internasional – ketika sejumlah pengungsi melarikan diri ke Cina. Menjadi sensasi ketika pemerintah Cina ternyata tidak siap menghadapi situasi itu.

Bayangkan bila terjadi krisis di sepanjang perbatasan Myanmar-Cina yang mengakibatkan eksodus ratusan ribu pengungsi membanjiri Cina. Belum lagi tergodanya jihadis internasional untuk melancarkan perang terhadap kekerasan yang bernuasa anti-Muslim. Dengan menggunakan tangan ISIS (AS) bisa saja merekrut Rohingya yang tidak puas. Apalagi status Rohingya telah mendapat legitimasi global dan simpati dunia internasional – sehingga meningkatkan moral bagi para calon teroris. Oleh karena itu, jika ISIS dan militan lainnya sampai bersarang di Rakhine tentu akan berdampak besar terhadap stabilitas kawasan regional. Sudah tentu dampak ini akan mengundang internasionalisasi lebih lanjut dari isu Rohingya dan menjadi ancaman keamanan yang serius bagi pemerintahan setempat. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 72