Berita UtamaOpini

Kepentingan Cina di Balik Kekerasan Berdarah di Rakhine

NUSANTARANEWS.CO – Kemelut dan pertumpahan darah di Rakhine, Myanmar telah mengakibatkan terusirnya ratusan ribu Muslim Rohingya. Kemelut berdarah tersebut bukan saja menghancurkan reputasi Aung San Suu Kyi sang peraih nobel perdamaian, tapi juga telah merusak kredibilitas ASEAN yang tahun ini usianya telah mencapai setengah abad.

Kekerasan berdarah yang mengarah kepada pembersihan etnis Rohingya yang berkesinambungan oleh militer Myanmar telah memicu kecaman dunia internasional. Apalagi setelah militer Myanmar diprovokasi oleh gerilyawan bersenjata ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) yang melakukan serangkaian serangan terhadap pos polisi dan tentara pada bulan Agustus lalu, sehingga berhasil mengeksploitasi sejarah panjang bentrokan bersenjata antara umat Buddha dan Muslim di Negara Bagian Rakhine.

Yang kemudian menjadi persoalan adalah penggunaan kekuatan militer yang tidak proporsional untuk menghadapi serangan ARSA. Di tambah dengan taktik bumi hangus yang membunuh ribuan orang, di mana tentara telah membakar seluruh desa Rohingya, melakukan kekerasan seksual, serta mengusir penduduknya.

Di bawah kecaman dunia internasional, pemerintah Suu Kyi, tampaknya tidak mampu berbuat lebih banyak karena terjepit oleh kekuatan militer yang menginginkan kontrol keamanan penuh serta mayoritas Budhis dengan prasangka anti-muslim yang telah berurat akar. Keadaan inilah yang membuat Suu Kyi menjadi salah tingkah sehingga tidak mampu mengutuk apa yang terjadi di depan matanya.

Baca: Ini Isi Pidato Aung San Suu Kyi Tentang Rohingya

Di sisi lain, pemerintah Suu Kyi juga menolak pernyataan bahwa kelompok bersenjata Rohingya telah menjadi bagian dari gerakan “jihadis” internasional, termasuk ISIS. Padahal justru masalah inilah yang menyebabkan Bangladesh dan India menolak untuk menampung pengungsi Rohingya secara permanen, terutama karena kekhawatiran adanya penyusupan “jihadis” diantara mereka. Betapa tidak bila Badan intelijen India telah menghubungkan ARSA dengan kelompok jihadis Pakistan Lashkar-e-Taiba.

Yang lebih penting adalah janganlah melihat permasalahan kemelut Rohingya hanya sebatas sentimen agama saja, tapi harus dengan perspektif yang lebih luas agar akar permasalahan yang sesungguhnya menjadi lebih jernih – terutama dalam kaitan kepentingan bisnis-politik di Myanmar dan dunia internasional.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Bila kita melihat permasalahan Rohingya hanya dari perspektif domestik dan sentimen agama saja, maka kita terlalu menyederhanakan persoalan yang sebetulnya sangat rumit. Seperti halnya bagaimana kita menjelaskan perang sipil di Timur Tengah, Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin bahkan Asia Tenggara terkait dengan kemunculan Taliban, Al Qaeda, ISIS dan kelompok militan bersenjata lainnya – dan apa hubungan mereka dengan Amerika Serikat (AS), Arab Saudi dan Israel, serta kepentingan “Barat” pada umumnya.

Bahwa dibalik kekerasan berdarah terhadap etnis Rohingya di Rakhine oleh pemerintah Myanmar ini, tidak bisa dilepaskan dari kelindan kepentingan ekonomi dan kekuasaan di belakangnya, yakni minyak dan gas alam.

Sebagaimana dilaporkan Forbes, bahwa Myanmar diperkirakan memiliki cadangan migas sebesar 11 sampai 23 triliun kaki kubik, yang tentu saja menjadi rebutan perusahaan-perusahaan multinasional asing untuk mendapatkan kontrak mengeksplorasinya.

AS sebagai negara yang masih mendominasi ekonomi dunia tentu saja tidak tinggal diam. Meski dewasa ini AS sudah mengurangi impor minyaknya, namun dari sisi kepentingan bisnis-politik, cadangan migas sebesar itu tidak mungkin dilewatkan begitu saja. AS menyadari bahwa tanpa minyak, kekuatan militer sebesar apapun hanya akan menjadi seonggok besi yang tidak ada gunanya. Maka tangan-tangan AS pun mulai bermain, mencari peluang untuk masuk dalam pusaran bisnis bernilai trilyun dollar tersebut.

Baca: Di Balik Konflik Etnis Rohingya di Rakhine

Di luar AS dan Barat, Rusia dan Cina merupakan aktor-aktor kunci terkait eksploitasi ladang-ladang migas dunia. Ketika Timur Tengah masih dikuasai AS dan Barat, Cina sebagai kekuatan ekonomi baru tidak mampu menembus dominasi AS, namun belakangan menurut laporan Pentagon, saat ini Cina sudah menguasai lebih dari 51% saham minyak di Timur Tengah.

Baca Juga:  Gelar Aksi, FPPJ Jawa Timur Beber Kecurangan Pilpres 2024

Sebagai kekuatan ekonomi baru yang sedang tumbuh, Cina sangat membutuhkan energi dalam jumlah besar. Tidak mengherankan bila Cina menginvasi ladang-ladang minyak di Afrika dan Amerika Latin. Ketika Myanmar membuka diri pada tahun 2011, Cina langsung begerak cepat untuk menguasai ladang migas Myanmar tersebut.

Myanmar berada dalam posisi geo-politik yang strategis bagi proyek Belt Road Cina – yang menghubungkan jalur pipa migas dari Afrika, melalui Timur Tengah terus ke Cina. Selain itu posisi geo-politik Myanmar juga sangat menguntungkan bagi Cina, karena menjadi akses strategis menuju laut India dan laut Andaman.

Nah, Jalur Pipa Shwe, yang merupakan Joint venture antara China National Petroleum Corporation, induk Petrocina, dan Myanmar Oil & Gas Enterprise, perusahaan milik Junta Militer Myanmar, dengan jalur melewati Rakhine, yang tanahnya di huni oleh etnis Rohingya dianggap menjadi halangan bagi kepentingan bisnis migas tersebut.

Cina sangat berkepentingan dengan jalur pipa ini untuk mensuplai kebutuhan migas dalam negerinya dan untuk kepentingan itu, Cina sudah menginvestasikan US$ 29 milyar untuk 30 tahun ke depan. Sementara rezim Junta Militer di Myanmar berupaya memastikan bahwa wilayah jalur pipa migas tersebut aman.

Sebagai informasi, bahwa proyek gas Shwe merupakan kerjasama rezim Junta Militer dengan perusahaan India dan Korea Selatan. Proyek ini berencana memproduksi 500 juta kaki kubik (Mcfd) gas per hari selama 30 tahun, memasok 400 Mcfd ke Cina, dan 100 Mcfd tersisa untuk pabrik yang dimiliki oleh pemerintah Myanmar, militer dan elit bisnis terkait.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

Proyek Gas dan Jalur Pipa Shwe yang mengeksplorasi gas alam bawah laut di lepas pantai barat Myanmar dan dual pipa gas yang dibangun melewati negara bagian Arakan telah menghancurkan kehidupan nelayan, di mana hampir sepertiga terumbu karang rusak dan ekosistem laut tercemar yang membuat nelayan menjadi susah mendapatkan ikan.

Proyek pipa migas ini, dalam waktu singkat (2010-2011) telah merampas ribuan hektar tanah rakyat yang mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi pengangguran.

Kelindan kepentingan bisnis-politik yang ada di Myanmar ini pada gilirannya membangkitkan perlawanan yang dikemas dengan simbol agama dan rasisme. Ketimpangan ekonomi dan penindasan neolib telah menciptakan keresahan yang kemudian memuncak pada Desember 2011 ketika muncul kerusuhan besar di kota Arakan dan sekitarnya akibat pembangunan pipa migas.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa permasalahan Rohingya bukanlah konflik antar agama atau antar etnis. Akan tetapi lebih kepada kelindan neolib yang ingin mendapatkan kekuasaan dan penguasaan sumber daya alam. Dengan kata lain, tanah siapapun yang dilewati jalur pipa migas harus menyingkir, bila tidak, maka akan dihajar oleh para elit penguasa sebagai musuh bersama.

Pemerintah Cinapun mendukung upaya Myanmar untuk melindungi keamanan nasionalnya. Sebagai bagian dari Inisiatif Belt Road, Cina juga telah menginvestasikan US$ 7,3 miliar untuk proyek pelabuhan di Rakhine. Jadi tidak mengherankan bila untuk menjaga kepentingan ekonominya, Cina selalu memveto setiap usaha di Dewan Keamanan PBB yang ingin mengecam Myanmar. Sebagaimana halnya AS yang selalu memveto setiap resolusi DK PBB yang ingin mengecam Israel.

(Agus Setiawan/NusantaraNews)

 

Related Posts

1 of 48