Oleh: Emha Ainun Nadjib
NUSANTARANEWS.CO – Dari berbagai bacaan, penjajakan dalam forum diskusi kalangan intelektual, serta puluhan kali jajak pendapat langsung dengan publik, muncul hipotesis tentang skala prioritas nilai yang terbalik antara budaya masyarakat kita sekarang, dibanding misalnya tujuh abad silam.
Saya lempar terminologi tentang orang pintar, orang kuat, orang baik, orang kaya dan orang kuasa. Bagaimana urutan skala prioritasnya berdasarkan cita-cita utama masyarakat, idaman, arah perjuangan kariernya, juga kadar penghormatannya. Pada kecenderungan masyarakat ‘modern’ hari ini urutannya adalah: kaya, kuasa, pandai, kuat, baik. Terbalik dari skala prioritas manusia di peradaban-peradaban terdahulu.
Cita-cita manusia sekarang ini kebanyakan adalah menjadi orang kaya. Orang kuat, orang pintar, orang berkuasa, bahkan mungkin orang baik atau orang alim atau orang saleh – orientasi primernya adalah ingin kaya.
Orang pintar bergerak mendekat ke wilayah kekuasaan: siapa tahu jadi Menteri, sekurang-kurangnya Staf Ahli, Staf Khusus atau Penasehat. Gelarnya, ekspertasi keilmuannya, juga lembaga Universitasnya, Ormasnya, termasuk pengerahan kecerdasan intelektualnya, didayagunakan untuk mendekat ke kekuasaan. Aktif men-support “talbis“, rekayasa, pencitraan, agar tergabung di simpul utama kekuasaan. Otoritas Negara di-manage sebagai perusahaan makro dengan perusahaan-perusahaan mikro di dalamnya, berdasarkan jaringan, sindikasi, geng dan lingkar silaturahmi masing-masing.
Orang kuat berentang tangan dengan orang-orang kuat, melakukan mobilisasi, menggalang dan mengerahkan kekuatannya untuk pada akhirnya bergabung ke area kekuasaan: unjuk rasa, unjuk gigi, unjuk kekuatan, supaya ditawar dan bisa kaya dengan menjadi Komisaris perusahaan Negara. Pameo “melakukan perubahan dari dalam struktur kekuasaan” dikibarkan pada aktivisme berbagai era sejak Orde Lama hingga kini, dan produknya adalah kemapanan dan kekayaan para pelakunya.
Ada juga yang mengutamakan kekuasaan: berjuang, dengan kalem atau kalap, untuk jadi pejabat. Atau merangkum keduanya: menjadi penguasa supaya kaya. Memanjat kursi kekuasaan dengan segala cara, mengarang hal-hal tentang kehebatan dirinya, menampilkan wajahnya di sepanjang jalan, meminta dipilih menjadi pejabat tanpa rasa malu sebagai pengemis.
Pun orang-orang “alim”, orang-orang “saleh”, juga sangat getol terhadap materialisme keduniawian. Aspirasi keagamaannya bertitik berat gairah materi, sibuk menumpuk pahala, lipatan angka seratus atau seribu kali lipat. Shalat untuk lipatan angka, sedekah untuk lipatan angka. Mungkin yang dimaksud Sorga juga adalah peluang untuk lebih kaya, punya kemewahan materi bertumpuk-tumpuk, bahkan ada yang menyimpulkan salah satu kesibukan di Sorga adalah pesta seks.
Tuhan bilang langsung “wala tamnun tastaktsir“, jangan memberi dengan mengharapkan balasan berlipat ganda”. Atau “ikutilah mereka yang berbuat baik tanpa mengharapkan balasan, itulah parameter tentang orang-orang yang dihidayahi oleh Allah”. Itu tidak menjadi wacana umum di kalangan kaum beragama, tidak juga menjadi prinsip khusus di kalangan para pemimpinnya.
Pola hidup manusia sekarang ini tidak mencerminkan indikator bahwa mereka percaya kepada tanggung jawab Tuhan kepada ciptaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa yang saya kenal, memang juga menjanjikan “angka”. Tetapi sepertinya lebih tepat kalau melihat pahala itu sebagai ranah di mana “Tuhan mewajibkan Diri-Nya untuk menganugerahkan balasan berlipat”. Dan jangan dipandang sebagai “hak tagih” manusia kepada-Nya. Konsentrasi manusia sebaiknya bukan menagih Tuhan, melainkan fokus menjalankan kewajibannya untuk bersyukur dan mengabdi. Manusia modern memang terdidik untuk kalap atas hak-haknya.
Kita nikmati pernyataan Tuhan Buy Two Get Four, serta meyakini bahwa Ia lebih memenuhi janji itu justru kalau kita tidak menagih-nagih-Nya. Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhan, mengikatkan hidupnya selalu kepada-Nya dengan cara senantiasa waspada atas diri dan sesamanya (buy 1), akan memperoleh solusi bagi setiap masalahnya (get 1). Serta akan mendapatkan rejeki dari jalan yang tak terduga, yang di luar perhitungannya, bahkan di luar gaji atau pendapatannya (get more 1).
Dan barangsiapa bertawakkal (mewakilkan) kepada Tuhan (buy another 1), mempercayakan kepada-Nya urusan yang ia tidak sanggup menggapainya dengan batas kapasitas kemanusiaannya, akan memperoleh dua pemenuhan lagi (get 2 others) dari Tuhan. Pertama (atau ketiga di urutannya), Allah tampil sebagai manajer atau akuntan hidupnya, menyusun hitungan yang diperlukannya kemudian memenuhinya. Kedua (: keempat), menyampaikan hamba yang bertawakkal itu ke sesuatu yang diidamkannya, sepanjang disatu-arahkan dengan kebaikan menurut ilmu-Nya. Tentu saja ini tidak berlaku jika manusia merasa lebih tahu dibanding Tuhan tentang apa yang dibutuhkan atau dicita-citakannya.
Tuhan Yang Maha Esa memang menawarkan “perniagaan” kepada manusia. Tapi saya pribadi memilih untuk memahami tawaran perniagaannya itu sebagai limpahan rahmat-Nya, karena pada hakikinya Ia tidak butuh apa-apa dari kita. Itu formula cinta dan tarikat kemesraan.
Mungkin itu sebabnya di abad 8-12 M penduduk Nusantara tidak begitu tertarik pada Islam, karena yang menawarkannya adalah Kaum Pedagang. Tetapi kemudian di abad 14-15 mereka menyerap, menerima dan memeluk Islam hampir merata se-Nusantara, karena yang mengantarkan Islam kepada mereka bukan orang kaya atau kuasa, melainkan orang baik, manusia pengayom, kaum Brahma, anak turun Ibrahim, Masyayikh, Mawaly dan Aulya. Yang menghadirkan Islam sebagai kemesraan cinta, rahmatan lil’alamin, guyub rukun, persatuan dan kesatuan.
Seakan-akan Tuhan Yang Maha Esa hadir sendiri dan berkata lembut: “an la tuhasibNii wa la uhasibtum“. Mari sini Kudekap, tak usah menghitung-hitung pahala-Ku, supaya tak Kuhitung-hitung pula. (sumber laman resmi Cak Nun)