Mancanegara

Setelah Empat Abad, Supremasi Kulit Putih Runtuh di Venezuela

Hugo Chavez
Hugo Chavez

NUSANTARANEWS.CO – Perkembangan politik di Amerika Latin belakangan ini cukup menarik untuk disimak – terutama terkait dengan pergolakan di Venezuela yang melibatkan Amerika Serikat (AS) sebagai aktor utamanya. Menjadi menarik karena secara terbuka dua negara pendekar demokrasi dunia: AS dan Kanada berusaha menggulingkan kekuasaan Presiden Venezuela Maduro yang terpilih secara demokratis. New York Times bahkan menulis keterkejutannya atas sikap Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, sebagai pemimpin moral dunia bebas, mendukung secara terbuka penggulingan tersebut.

Padahal dunia internasional pun mengetahui bahwa Maduro terpilih menjadi Presiden pada bulan Mei 2018, dengan meraih 68 persen suara, jauh meniggalkan lawannya Henri Falcon hanya mendapat 21 persen suara.

Pernyataan Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland baru-baru ini bahwa, “Maduro … menang melalui pemilihan yang curang dan memerintah dengan kediktatoran, jelas adalah pernyataan kebohongan yang bertentangan dengan fakta dilapangan. Bahkan bertentangan dengan laporan delegasi Kanada sendiri yang termuat dalam National Post edisi 5 Februari, yang menyatakan bahwa pemilu Venezuela berjalan dengan demokratis, aman dan tertib. “Kami menyaksikan proses pemilihan dan pemungutan suara yang transparan, aman, demokratis, dan tertib,” bunyi laporan tersebut.

Demikian pula fakta yang diungkap oleh Pengamat internasional pemilihan umum Venezuela pada 2018 yang menyimpulkan bahwa hasil pemilihan adalah sah dan merupakan kehendak bebas para pemilih tanpa tekanan. Pengamat internasional yang dipimpin oleh Dewan Ahli Pemilihan Amerika Latin (CEELA), yang terdiri dari mantan pejabat pemilihan dari seluruh wilayah, pun mengatakan bahwa pemilihan itu bersih.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Terlepas dari semua fakta-fakta tersebut, disinformasi terhadap pemilihan Maduro 2018 terus disebarkan sebagai “penipuan”. Bahkan tidak tanggung-tanggung AS dan Kanada pun kini mengakui Juan Guaido, Presiden Majelis Nasional, sebagai Penjabat Presiden Venezuela yang sah.

Padahal kebanyakan orang Venezuela belum pernah mendengar siapa Juan Guaido, yang merupakan lulusan dua program pascasarjana dalam administrasi publik di Universitas George Washington di AS – yang mendapat dukungan oposisi di negara itu sebagai presiden sementara.

Dalam sebuah wawancara dengan Christiane Amanpour dari CNN, Guaido sangat mendukung rencana intervensi militer AS ke Venezuela, sebagaimana tawaran Presiden Donald Trump yang mendukung Guaido sebagai Presiden Venezuela.

Ya, sungguh menarik memang mengapa begitu keras pertarungan politik di Venezuela sampai-sampai dua pendekar demokrasi dunia harus menjilat ludahnya sendiri. Melanggar komitmennya sendiri.

Menurut seorang mantan jurnalis BBC Greg Palast, satu hal yang perlu dicermati adalah setelah empat abad supremasi kulit putih berkuasa di Venezuela – tiba-tiba diruntuhkan oleh dua orang Indian Hitam, pria Mestizo sebagai presiden, Hugo Chavez dan Nicolas Maduro – yang oleh orang kulit putih kaya mereka disebut “Monyet”.

Baca Juga:  Dewan Kerja Sama Teluk Dukung Penuh Kedaulatan Maroko atas Sahara

Betapa tidak membuat marah, dengan memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, tiga kali lipat dari Arab Saudi, Chavez dan Maduro berupaya lebih banyak menjalankan program sosial dan ekonomi kerakyatan guna mengentaskan kemiskinan di negaranya. Ketika harga minyak tinggi, Presiden Chavez menggunakan pendapatan terserbut sebesar-besarnya untuk mengurangi angka kemiskinan, memperbesar anggaran perawatan kesehatan, pendidikan, dll.

Menurut sebuah laporan independen, “Investasi sosial di Venezuela selama pemerintahan Chavez mengurangi kemiskinan dari hampir 50% pada tahun 1999 menjadi sekitar 27% pada tahun 2011, meningkatkan pendaftaran sekolah, secara substansial menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan meningkatkan akses ke air minum dan sanitasi melalui investasi sosial.”

Namun, tak lama setelah Maduro menjabat pada tahun 2013, harga minyak mulai runtuh, dan Maduro terpaksa meminjam uang untuk mendukung program-program sosialnya yang luas, yang menyebabkan inflasi. Rekening bank kelas istimewa kulit putih menjadi hampir tidak berharga. Krisis ekonomi pun melanda Venezuela.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Bukannya dibantu, malah bersamaan dengan itu, AS justru memotong penjualan minyak Venezuela ke negaranya. Trump bahkan memutus akses Venezuela ke bank AS yang membuat transaksi internasional menjadi sulit. Bukan itu saja, Trump pun menekan Bank of England yang saat ini menyimpan US$ 1,2 miliar emas milik pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Sehingga pemerintah Inggris pun akhirnya terpaksa menyita aset emas Venezuela.

Tanpa malu-malu, AS dan Inggris telah melanggar prinsip-prinsip PBB yang menyatakan kewajiban untuk tidak campur tangan dalam masalah-masalah domestik sebuah negara, dan menahan diri untuk penggunaan kekerasan terhadap negara mana pun di dunia.

Seperti kasus baru-baru ini, di mana AS menyatakan bahwa transaksi dengan Iran sebagai sebuah tindakan illegal yang menyebabkan eksekutif Huawei Meng Wanzhou, ditangkap oleh Kanada.

Bila kita sepakat dengan pendapat Greg Palast, maka pemimpin pribumi dianggap “bersalah” dan “tidak sopan” karena berani menggunakan pendapatan minyak mereka untuk kepentingan rakyat mereka sendiri, oleh karena itu mereka harus dihukum. Maduro harus di jatuhkan. Hanya kulit putih yang pantas memimpin Venezuela. Ya, kulit putih yang siap bekerjasama sesuai dengan keinginan imperialis Amerika (Aya)

Related Posts

1 of 3,077