Pada Suatu Diskusi Imaji
Almanak pagi tersungkur pada tungku api sedepa-cela. Sesederhana permainan para
bocah yang terkadang dibawakan dengan rumit. Udara mulai memburai pecah, coba
mendiskusikan perihal rasa. Perasaan, tepatnya, bantahmu. Rasa dan perasaan adalah
dua hal yang terlewat berbeda seluk pangkalnya. Diskusi adalah kata yang terlalu
serius, seperti angin tirus, tiada bertangkai pada akal belukar yang dangkal. Aku
menawarkan, tentu bukan menjadikan tawar teh yang diseduh tanpa sari tebu,
melainkan bagaimana jika kata diskusi, dirubah saja menjadi rubah, eh bukan,
bagaimana jika kata diskusi diganti menjadi sebuah perbincangan ringan sembari
berhaha-hihi. Kilat senyum itu cahaya, memandangi berlama-lama. Wajahmu
tengadah. Sudah empat purnama kekanak hujan tak bercurah.
2015
Semut Kecil
semut kecil seumur ganggang cangkir diterkam sepi
mencari ibu yang lemas di dalam dasar geladak kopi
ibu mati tenggelam
atau ibu sekadar menyelam
-ia tak pernah tahu dan tak pernah berjawab-
semut kecil itu sibuk mondar-mandir
mencari ibu yang direnggut takdir
2015
Sebekas Kening Daun
serimbun ini ada yang mendadak terkesiap
dengan raut terkejut tiada dibuat-buat
ia terbangun oleh bedil-bedil kaum peneriak
yang berkeinginan menikahi anak-anak
: adalah kening daun yang hening dalam ketakutannya
aku ingin segera menyeberangi kedua tangkai belulang
dengan kecamuk dada yang teramat debar dan guncang
sebab takkan lama penjajah sebangsa bebas bertualang
merenggut satu persatu nyawa dari pelatuk hulubalang
2015
Membaca Tubuhku Dalam Aku
Rindu kecil itu pecah mengandung-Nya, bukan mengundangmu. Memeranakkannya,
bukan menyorakmu. Kau ada dalam aku yang ia sebut Aku. Antara Aku dan aku
yang bersitatap. Antara Kau dan kau yang berpapasan. Ia membahasakannya sebegitu
apik dengan bahasa tajalli. Ia menuturkannya dengan fasih, sefasih bahasa ibu yang
mengandung aku di dalam Aku. Sedianya aku takut pada ke-"akuan". Semulanya aku
kembali pada Aku si pemilik segala.
Ds, 2015
Membaca Tubuhku Dalam Salat
Aku ingin sujud dan ruku' dalam sebidang hening yang diterakan isi kepalamu. Dan
kau, tak kalah liarnya menakwil makna salat yang dituliskan kaum penalar waktu.
Beralas sajadah biru marun yang sealur dengan motif luka dedaun seturun. Merunduk
dengan khusu' dan tadharru'. Setunduk matahari jelang senja di labuhan makna.
Berpindah antara intiqalku menuju intiqal-Ku. Mengambil arah kiblat dari selasar
bilik pusara yang kaurawat sedemikian sunyi. Kau, tiga langkah tepat di belakangku.
Mengambil alih lagu perapian dunia yang singkat. Untuk mempersiapkan kelana kita.
Persinggahan kita: Akhirat.
Aku mencintaimu, perempuanku, dengan bahasa yang hanya dapat dicecap dengan
arif dan sebegitu khidmat.
Ds, 2015
*Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-puisinya dimuat di media lokal/nasional. Kini aktif di Komunitas Kajian Sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Buku puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna (2014) dan Kampung Halaman (2016).
___________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].