Cerpen

Sang Wartawan

Wartawan
Sang wartawan. (Foto: keywordsuggests.com)

Sang Wartawan

“Bangun Din, jangan molor terus, ayo bangun!”

“Jam berapa sekarang, Mas?” tanya Didin sambil menguap dan mengucek-ucek kedua matanya.

“Jam setengah enam,” jawabku singkat.

“Masih terlalu pagi, untuk apa bangun?”

“Pagi ini kamu harus bersiap-siap meliput demonstrasi di alun-alun Serang, ayo cepat bangun!”

Sebagai pemimpin redaksi aku pun menunjukkan surat undangan dari Front Jihad Islam (FJI) yang ditujukan kepada redaksi Banten Bangkit, sebuah majalah bulanan yang kupimpin di Provinsi Banten. Undangan itu dikirimkan beberapa hari lalu, dan aku sudah memberi kewenangan kepada Didin agar meliput semua rangkaian acara yang akan digelar di alun-alun, bahkan menjanjikan bonus khusus apabila ia sanggup menampilkan isi ceramah dari Ketua FJI pada rubrik tersendiri.

Karena sering bertugas sampai larut malam, seperti biasa Didin sering ketiduran di kantor redaksi hingga keesokan harinya. Sengaja aku tak pernah memberinya tugas di waktu pagi, kecuali hari ini, demonstrasi besar-besaran akan digelar oleh FJI berikut orasi yang akan disampaikan oleh Habib Rojak selaku pimpinannya.
Setelah membasuh mukanya di toilet, aku pun sempat menanyakan perihal istrinya yang tengah hamil, namun beginilah jawab Didin:

“Jangan bicara soal lain, kalau urusan hamil itu tugas perempuan, Mas.”

“Tapi sebaiknya kamu sering-sering pulang untuk menemani istrimu, daripada begadang terus-terusan di kantor redaksi.”

“Lho? Saya kan begadang karena mengerjakan tugas?” katanya membela diri.

“Saya kira semua tugas untuk majalah kita bisa dikerjakan di waktu siang atau sore hari.”

Tak berapa lama kami saling diam, kemudian sambungku lagi, “Sudah berapa bulan istrimu hamil?”

“Sembilan bulan,” jawabnya singkat, sambil mengamit ransel dan menggendongnya ke pundak.

Pandanganku terus mengikuti kepergian Didin sambil tersenyum. Ketika ia keluar dari kantor redaksi, aku tak sempat menegurnya agar merapikan kemeja dan menyisir rambutnya yang gondrong berombak itu. Namun di sisi lain tersimpan kebanggaan tersendiri pada kelihaian Didin yang dikenal sebagai jurnalis yang pandai merangkai kata-kata, layaknya seorang seniman yang pintar menempatkan diri dalam imajinasi pembacanya. Terbukti pada hasil reportase yang ditulisnya beberapa waktu lalu ia berhasil menampilkan berita tentang nasib kaum buruh, berikut gambar demonstrasi para buruh yang digiring pihak aparat dari keramaian jalan raya.

Dan siapa lagi kalau bukan Didin yang berani meliput di tengah-tengah bentrokan polisi dengan dua kelompok warga Ciomas dalam kasus kepemilikan tanah. Saat itu pembaca sangat antusias dan oplah majalah kami naik secara drastis.

***

Peringatan yang kuberikan agar Didin hidup berhemat dan jangan terlalu boros, tak pernah diindahkannya. Bahkan setelah kunaikkan pendapatan untuknya tetap saja ia melampiaskan kegemarannya untuk foya-foya bersama beberapa teman wartawannya, sambil menyewa villa dan minum-minuman di Pantai Anyer.

“Din, sekarang kamu sudah punya istri, dan sebentar lagi punya anak. Sebaiknya kamu harus merubah gaya hidupmu,” untuk ke sekian kalinya aku memberi peringatan.

“Mas ini sebagai pemred atau mubalig sih?” katanya ketus.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum melihat gerak-geriknya yang cukup legeg. Tak berapa lama ia pun berkata dengan penuh optimis, “Mau kapan lagi, Mas… mumpung oplah majalah kita naik terus…”

“Tapi hidup manusia tidak selamanya di atas, Din.”

Lagi-lagi Didin menampik, sambil menganggap peringatanku sebagai kata-kata idealis yang berseberangan dengan kebebasannya berekspresi. Baginya, kata-kataku tidak layak dilontarkan buat jurnalis sekelas dia yang sudah banyak makan asam-garam, bahkan sudah dipandang kawakan di kalangan para wartawan lainnya.

Tapi kebiasaan Didin yang gampang meremehkan suatu masalah adalah perkara serius bagi kehidupan wartawan maupun seniman Banten, khususnya ketika aku menugaskannya agar meliput demonstrasi di alun-alun Serang, kemudian ia menerima kabar tentang kelahiran anaknya di rumah Sakit Krakatau Medika. Keesokan harinya aku pun mengucapkan selamat atas kelahiran anak pertamanya, bersamaan dengan terbitnya majalah Banten Bangkit edisi kesembilan, yang memuat berita utama tentang demonstrasi di alun-alun Serang, termasuk foto Habib Rojak yang sedang berorasi di depan panggung.
Di atas laporan yang dibuat Didin tentang acara demonstrasi itu terpampang sebuah judul besar: ORASI KETUA FJI YANG MENGGUNCANG MUSLIMIN BANTEN.

***

Suasana tenang di kantor redaksi tiba-tiba berubah drastis selepas para jamaah melaksanakan solat Jumat. Ratusan orang berpakaian jubah dan sorban tiba-tiba menyerbu kantor redaksi Banten Bangkit sambil menggelar yel-yel dan melontarkan sumpah-serapahnya. Di depan kantor redaksi ramai-ramai mereka membakar Banten Bangkit edisi kesembilan, sambil menggelar yel-yel berbunyi: Majalah Sesat, Majalah Pembohong, Majalah Kafir, Bredel Majalah Banten Bangkit.

Aku sendiri tidak mengerti duduk perkaranya, ketika aku pulang dari mesjid dan berangkat menuju kantor, tiba-tiba orang-orang berkerumun di pintu masuk, bahkan suara hiruk-pikuk bersahutan dari sana-sini. Sesaat aku berhasil menghimpun informasi dari sumber-sumber yang layak dipercaya, kemudian menanyakan Didin sebagai pihak yang terkait langsung perihal pemberitaan demonstrasi di alun-alun itu.

“Dari mana kamu mendapatkan foto-foto demonstrasi itu?”

Ia terdiam sesaat, kemudian jawabnya pelan sambil menundukkan kepala, “Dari internet, Mas.”

“Lantas foto-foto Habib Rojak yang sedang orasi itu?”

“Dari orasi beliau sebulan lalu di sekitar Monas, Jakarta.”

“Jadi, demonstrasi di alun-alun Serang itu, bagaimana?”

“Tidak ada demonstrasi di alun-alun, mereka membatalkan acara itu.”

“Jadi, berita yang kamu tulis?”

“Saya mengarang, Mas.”

Seketika aku menghempaskan badanku di atas kursi. Dengan pandangan menerawang aku pun bergumam: “Oo, jadi kamu mengarang reportase tentang peristiwa yang sebetulnya tidak pernah ada di lapangan?”

Kami saling membisu dalam waktu yang cukup lama. Kemudian Didin mengangkat kepalanya dengan suara memelas, “Mas, saya sedang butuh uang untuk biaya kelahiran anak saya, jadi mohon maaf saya mengarang semua kejadian yang diberitakan di alun-alun Serang itu.”

“Tentang ceramah Habib Rojak di panggung itu?”

“Fotonya saya dapatkan dari internet, tapi isi ceramahnya saya karang juga.”

Sontak aku menghela napas dalam-dalam, meski aku pun kesulitan untuk mengklaim hitam-putihnya persoalan itu, mengingat organisasi FJI tidak pernah mengirimkan surat pembatalan atas undangan yang pernah dikirimkan ke kantor redaksi kami.

Keesokan harinya aku menemukan fenomena baru dalam sejarah peradaban Banten, ketika kasus Didin itu kemudian merebak menjadi headline di koran-koran Banten, bahkan menjadi perbincangan umum di siaran televisi, majlis ta’lim hingga warung-warung kopi. Aku hanya terpana sambil mengernyitkan dahi ketika melihat acara-acara debat dan diskusi di forum-forum pertemuan yang menyatakan bahwa majalah Banten Bangkit dapat menyulut terorisme dan radikalisme di Banten.

Di kalangan akademisi begitu cepatnya mereka berkesimpulan bahwa sosok Didin adalah bentuk dari jurnalisme kiri, liberal dan sekularis. Di kalangan agamawan Didin pun digolongkan sebagai wartawan penganut paham Mu’tazilah, Qadariyah, bahkan ada yang menyatakan beraliran Ahmadiyah. Orang NU menjuluki Didin sebagai sosok yang memiliki garis Muhamadiyah, begitupun orang Muhamadiyah menjuluki Didin sebagai sosok yang memilikji garis dari NU. Di kalangan seniman Didin pun dikategorikan sebagai jurnalis beraliran surrealisme, eksistensialisme, bahkan ada yang menyatakan supra-naturalis dan seterusnya.

Sementara mereka sibuk menggelar acara-acara diskusi dan perdebatan, aku bersama staf-staf redaksi menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah Didin, seraya tersenyum menyaksikan wartawan Banten yang sedang naik daun itu duduk-duduk di sebelah istrinya yang sedang menyusui anak kesayangannya. ***

 

 

Penulis: Hafis Azhari, domisili di Banten

Related Posts

1 of 3,058