Sabar Merawat Harapan
Oleh: Muhamad Pauji, Pegiat organisasi Gema Nusa (Gerakan Membangun Nurani Bangsa)
Ketika seorang oknum polisi viral di media sosial, dengan jelas memukuli seorang ibu dan anaknya yang kedapatan mencuri sebuah barang di supermarket (Bangka Belitung), seorang sahabat mendukung perlakuan polisi tersebut seraya berkomentar: “Dunia ini tidak adil, yang benar dipenjara yang salah justru dibela…”
“Ada apa, Kawan, kok menggerutu sendirian? Siapa yang dipenjara?” tegur saya.
“Masalahnya polisi itu menegakkan hukum, sementara si pencuri justru banyak yang bela. Aku tak mengerti, barangkali dunia ini sudah mau kiamat.”
“Jangan gampang putus harapan, Kawan. Kalau kita bicara soal hukum, ada yang berhak menghukum si pencuri itu. Ini kan negara hukum, dan kita tidak boleh melakukan hukum rimba dengan main hakim sendiri.”
Perdebatan seperti itu kerap terjadi dalam kasus dan tema yang berbeda-beda. Alih-alih dengan agama dan kepercayaan orang lain, bahkan dengan sahabat seiman dan seagama, masyarakat kita gampang tersulut emosi, oleh karena perbedaan pendapat (khilafiyah) semata. Ironisnya, ketika khilafiyah itu menyangkut hal-hal yang sifatnya ‘sunnah’ dalam ajaran agama, seperti soal doa qunut atau jumlah rakaat dalam tarawih, mereka justru melupakan mana yang prioritas dan mana yang sampingan belaka. Coba bayangkan, masalah tarawih dan qunut itu kan hukumnya sunnah, sementara ribut dan tengkar hukumnya haram. Jadi, untuk apa mereka membela sesuatu yang haram, untuk melakukan sesuatu yang sunnah?
Kadang-kadang di antara masyarakat kita, demi untuk kepentingan egoisme pribadi atau kelompok, dengan mengatasnamakan ukhuwah islamiyah, lantas seenaknya menafsirkan amr ma’ruf nahi munkar dalam pengertian kaku dan saklek. Padahal konsep kasih sayang dalam Islam menghadirkan hak dan kehormatan. Sebagai bentuk haknya, mestinya seorang muslim ikhlas membimbing dan mengarahkan saudaranya atau orang lain (wong liyan) untuk keselamatan dunia dan akhiratnya. Karena itu, orang yang mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran, wajib bersikap lembut dan santun agar tujuan menciptakan perbaikan bisa tercapai.
Dalam soal ini, Imam Syafi’i pernah menegaskan bahwa, orang yang mengkritik dan menasihati saudaranya dengan santun, berarti ia telah menunjukkan saudaranya untuk menghiasi dirinya, tetapi mereka yang mengkritik saudaranya secara blak-blakan (di muka umum) berarti akan membuat saudaranya merasa terusik dan tercemar. Seorang mubalig yang menyampaikan syiar Islam harus ekstra hati-hati dalam memberikan nasihat dan mengajak di jalan kebaikan (amr ma’ruf). Tapi juga sebaliknya, ia harus mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya ketika harus menegur dan memberi peringatan (nahi munkar). Karena pada prinsipnya, kritik maupun teguran harus dilandasi rasa kasih sayang untuk mengajak di jalan kebenaran. Harus diawali dengan niat-niat tulus, hingga nasihat maupun kritik itu akan membuahkan rahmat dan berkah (baca: Perasaan Orang Banten).
Sebagai bentuk rasa kasih sayang, seseorang tentu akan menjaga harga diri dan martabat saudaranya dengan memberi saran maupun kritik yang sifatnya membangun. Bukan dengan membeberkan kesalahan atau membuka aibnya di depan umum. Dalam konsep nahi munkar, harus diperhatikan sikon tentang watak dan tabiat orang atau masyarakat. Dengan memahami adat dan budaya setempat, pesan-pesan dakwah akan mudah diterima sesuai daya tangkap dan kemampuan berpikirnya. Seorang pemimpim pemerintahan, tentu saja kurang pas apabila menempatkan sosok Habib Rizieq atau Mamah Dedeh untuk berceramah di kalangan warga Dayak atau Baduy, Lebak. Sebab, melalui penguasaan psikologi massa, misi kebenaran akan tersampaikan dengan baik sesuai dengan kapasitas si penerimanya, apakah ia seorang awam ataukah terpelajar, apakah ia anak seusia TK ataukah sudah lanjut usia.
Pada suatu hari di masa Jahiliyah, Bilal bin Rabah diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, ditindihi batu besar di tengah padang pasir. Abu Bakar memperingatkan para sahabat agar berhati-hati dan menguatkan kesabaran mereka. Masalahnya, ketika para sahabat Nabi menegur dan menentang secara blak-blakan, para pembesar Qurays akan marah dan melakukan perlawanan, hingga mereka tentu akan menghadapi lawan-lawan yang tak seimbang. Saat itu Abu Bakar harus berkorban mengeluarkan sebagian hartanya, untuk menebus dan memerdekakakan budak kelahiran Habsyi (Etiopia) tersebut.
Kadangkala orang terburu nafsu untuk menjuluki penakut atau pengecut kepada seseorang yang dianggap tidak berani menentang kesewenangan dan ketidakadilan, padahal bukan di situ letak persoalannya. Bila melarang kemungkaran itu dapat menimbulkan mafsadah, maka tujuan dakwah sama sekali tidak mengenai sasaran, malah akan terjerumus ke jurang kemungkaran yang lebih parah lagi.
Terkait dengan ini, seorang pemikir dan ulama besar Ibnu Qayyim memberikan testimoni bahwa, Rasulullah sudah memberikan teladan bukan hanya dalam hal mengajak kebaikan, tetapi juga mencegah kemungkaran. Semuanya itu tak lepas dari tujuan dan sasaran apa yang ingin dicapai dari penyampai misi dan risalah dakwah tersebut. Apabila pencegahan kemungkaran itu dapat menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi, konsekuensinya akan merusak tatanan sistem yang sedang berjalan.
Konsep sederhananya, para pejuang kebenaran tidak diperbolehkan untuk membakar lumbung padi sebagai bahan-pangan bagi kebutuhan rakyat, hanya karena ada beberapa hama tikus yang menggerogoti satu atau dua karung padi. Suatu kali, seorang murid bertanya pada gurunya, “Tapi kan kemungkaran itu dibenci oleh Allah, termasuk pelaku dari kemungkaran tersebut?”
Sang guru pun menjawab bahwa sesungguhnya Allah membenci kemungkaran, tetapi Allah lebih murka jika pencegahan kemungkaran itu dapat menimbulkan mafsadah dan kemungkaran yang lebih parah lagi. Di sinilah pesan sentral dari pentingnya takwa dan kesabaran dalam misi dan syiar Islam. Seperti halnya kisah sufistik tentang para malaikat yang menghindari orang-orang yang berteriak ‘Allahu Akbar’, ketika justru teriakan itu dimanfaatkan untuk menimbulkan kerusakan dan keonaran di tengah masyarakat.
Ironisnya, hal-hal yang prinsipil dan substantif dalam konsep Islam ini jarang dikemukakan oleh para mubalig kita yang notabene dijuluki negeri nya para mubalig. Padahal telah terbukti dalam sepanjang sejarah kemanusiaan, ketika kebenaran yang prinsipil tidak ada yang berani mengungkapkannya, niscaya musibah dan malapetaka bisa tertimpa bagi suatu wilayah, di mana tak ada orang yang berani menyatakan yang benar sebagai kebenaran.
Hal ini teramat penting, Saudaraku. Kurangnya kesabaran masyarakat dalam mencegah kemungkaran, seperti pada kasus oknum polisi di Bangka Belitung itu – juga sahabat saya di atas yang membela aksi heroik dari polisi tersebut – yang bersikeras meghilangkan kemungkaran menurut kehendak nafsu dan ego pribadinya, bukanlah suatu pekerjaan yang dapat mengangkat derajat kemuliaan seseorang atau masyarakat bangsa. Pada mulanya orang-orang semacam itu, berniat menghapus kemungkaran dari muka bumi ini, tetapi cara-cara salah dan kurang sabar yang ditempuhnya, dapat menjerumuskannya kepada kemurkaan Allah Swt.
Kita semua tahu, Nabi Muhammad telah melihat beragam kemungkaran terbesar yang dipraktikkan kaum Jahiliyah Arab, tetapi beliau memberikan teladan dengan kekuatan sabar dan takwa. Sampai pada waktunya beliau dan para sahabat – dengan izin dan ridho Allah – berhasil merancang agenda strategis untuk mencapai hegemoni kekuasaan (Fathu Makkah), hingga dominasi politik, ekonomi dan spiritualitas berada dalam kendali kepemimpinan Rasulullah dan sahabatnya. Subhanallah. (*)