Opini

Revolusi Mental dan Sajian Keruntuhan Moral

Di penghujung tahun 2017, ada sesuatu yang mesti direfleksikan secara utuh dan penuh, yakni mengulas kembali sudah sejauh mana kita berdiri, bertahan, maju atau mundur sekalipun. Revolusi mental dan sajian keruntuhan moral adalah bahan untuk kita bersama, khususnya kawula muda agar mampu memasuki ruang refleksi serta mampu bersaing dalam mentadabburi diri guna membangun pondasi kesadaran yang penuh khidmat.

Menilik kembali visi dan misi Joko Widodo terkait revolusi mental, masih sebatas hanya jargon dan belum dilaksanakan seutuhnya. Dari sembilan cita-cita Jokowi, poin kedelapan menarik disimak. Poin tersebut berbunyi ‘melakukan rovolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek penididkan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan.’

Sebagaimana yang kita ketahui, fenomena yang tersingkap menunjukkan wajah Indonesia secara nyata menampilkan kejengkelan amat murka. Berbagai contoh kasus disajikan saban waktunya. Mulai dari kasus kopi maut Mirna yang kemudian menyajikan proses dramatisasi persidangan di hadapan publik, hingga fenomena bergesernya nilai produktifitas dan hilangnya nilai kreatifitas kalangan kawula muda.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Belum lagi persoalan yang dinilai sangat kompleks karena dihampiri oleh seluruh golongan, juga khususnya kawula muda. Di mana seseorang akan dengan mudah mengikuti tren karena hanya ingin dianggap keren. Padahal, hal tersebut hanya berujung pada suatu kebanggaan di tengah klaim modernitas. Artinya, apa yang kita lakukan seakan hanya puas pada pencapaian pengakuan semata, tanpa ada suatu sumber yang dibangun sebagai kebanggaan yang bernilai spektakuler dari kearifan produktivitas, baik esensi maupun substansi.

Bicara obyektivitas juga perlu ditimbang dari sisi keberhasilan atas pencapaian yang telah dimaksimalkan oleh Jokowi melalui sembilan cita-citanya. Telah diketahui bersama, memasuki tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK yang tampak hanya gencarnya pembangunan infrastruktur digencarkan di mana-mana. Hemat penulis, perputaran roda kehidupan melalui potensi sosial, politik dan juga ekonomi memang bisa ditinjau dari aspek keberhasilan atas kemajuan pembangunan infrastruktur. Tapi perlu diingat, bahwa pembangunan atas infrastruktur tidak bersifat kekal, melainkan hanya sementara. Artinya pembangunan yang saat ini sedang digiatkan bisa kita hitung hanya mampu bertahan sekitar lima sampai sepuluh tahun ke depan. Tentu ada hal yang lebih darurat dari persoalan pembangunan infrastruktur, yakni pembangunan mental. Di mana mental adalah pondasi utama yang perlu dimiliki oleh setiap jiwa sebagai potensi kemajuan yang hakiki.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Indonesia menjadi congkak atas penyajian keruntuhan moral yang perlahan mulai menggrogoti dan menyerang setiap manusia. Mengacu terhadap perkembangan, perubahan sosial yang ada di sekeliling bukan hanya memiskinkan kita secara kuantitas, juga mempengaruhi muatan lokal yang kita miliki menjadi miskin etika dan bersikap sebagai cerminan dan ekspresi kehidupan.

Hemat penulis, kita sama-sama mengetahui, bahwa Rasululah SAW yang dinobatkan sebagai pemimpin yang patut menjadi inspirasi dan tauladan yang baik. Ada poin penting yang peru digarisbawahi untuk sama-sama kita jadikan sebagai panutan bersama, mengenai tingginya tingkat kualitas mental yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. Juga akhlak adalah pondasi utama yang selalu Rasulullah SAW tawarkan sebagai jalan dakwah. Sebagaimana hadits Nabi SAW: “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Oleh: Robiatul Adawiyah, Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jakarta Timur & Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam STAI Az-Ziyadah

Related Posts

1 of 14