KhazanahKolom

Rahmatan Lil’alamin Dari Borobudur (“Nobel” Prize untuk Ummat Islam Magelang)

Oleh: Emha Ainun Nadjib
NUSANTARANEWS.CO – Apa? Borobudur dikepung oleh 200.000 orang dari 185 Laskar dari seluruh Nusantara? Borobudur diputihkan? Borobudur dikepung? Apa-apaan ini? Aksi Bela Rohingya? Mau balas dendam? Nyawa bayar nyawa?
Kapolri Tito Karnavian, di Mekah, terloncat berdiri karena mendengar kabar itu. Ia mempercepat jadwal pulangnya dari berhaji. Langsung terbang ke Jakarta. Malam tiba, dan langsung mengadakan rapat khusus dengan para perwira Mabes.
Laskar apa itu yang berani-beraninya akan mengepung Candi Borobudur? Pasukan dari mana itu yang merencanakan kekejaman untuk mencederai Borobudur? Apakah karena Borobudur adalah monumen spiritual Kaum Budha sedunia, lantas harus menanggung balas dendam atas penderitaan Kaum Muslimin di Rohingya? Apakah mereka hendak merobohkan keajaiban dunia itu?
185 Laskar dari berbagai daerah berkumpul di Magelang untuk bersama-sama menyerbu Borobudur? Laskar-laskar itu tak sekadar datang dari seputar Magelang, Yogya dan Semarang? Tapi juga dari daerah-daerah Jawa Tengah lainnya seperti Wonosobo, Temanggung, Solo, Klaten, Karanganyar, Salatiga dan lain-lain? Bahkan dari Lamongan, Mojokerto, Tasikmalaya, Tangerang, Riau? Yang dimaksud Laskar itu Peleton, Kompi atau Batalyon? Berapa jumlah mereka?
Mau apa ini Ummat Islam? Anak-anak siapa saja yang memimpin Laskar-laskar itu? Pernah sekolah apa nggak? Tahu Borobudur apa tidak? Pernah membaca fakta-fakta tentang Borobudur atau belum? Apa Guru-guru mereka di Sekolah juga tidak mengerti betapa dahsyat karya Borobudur? Tahu nggak mereka bahwa Borobudur dibangun sejak sebelum Nabi Muhammad lahir dan belum selesai hingga wafatnya beliau?
Coba kumpulkan wakil-wakil dari 185 Laskar itu, tanyakan kepada mereka berapa juta jumlah blok batu yang diperlukan untuk membangun Borobudur? Batu-batu itu diambil dari mana? Bagaimana cara mengangkat jutaan batu itu sampai setinggi itu tumpukannya? Bagaimana membuat desain arsitektur untuk sekian ribu panel reliefnya? Sekian ratus pancuran airnya? Lebih banyak ratus lagi patung-patung stupanya? Bagaimana perencanaan dan praktik memastikan ikatan antara jutaan blok batu-batu besar hanya dengan sistem sambungan ekor burung?
Bagaimana merundingkan dan menyepakati draf muatan dan desain relief-relief sebegitu banyak? Tak usah bertanya kepada mereka apa makna filosofis Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Tanyakan bagaimana mempersatukan “madzhab-madzhab” untuk menyepakati penggolongannya? Seleksi kandungan isi cerita relief? Bagaimana mewujudkan draf desain itu? Hanya lewat pembicaraan? Atau tergambar di lontar? Atau secara telepati? Atau langsung dipahat hanya dengan pengarahan makro?
Bagaimana sistem manajemen pekerjaan sebesar itu? Siapa kepala EO-nya? Apakah pemborongnya berpengalaman membangun Pyramid? Siapa yang bertanggung jawab atas komplikasi pekerjaan itu? Anggarannya bocor atau tidak? Bagaimana sistem kontrolnya? Formula pemerintahannya semodern apa? Bagaimana dengan mess atau asrama para pekerja? Bagaimana logistik konsumsi dan akomodasinya? Apa menu makanan dan minuman saat itu? Apa alat makan saat itu? Bagaimana sistem sanitasi? Apa hiburan masyarakat waktu itu, agar tidak jenuh oleh pekerjaan raksasa itu?
Berapa generasi Pemerintahan yang bersetia dan konsisten untuk kontinu menerapkan program pembangunan selama 75 tahun? Apakah tidak terjadi pergantian kurikulum oleh puluhan Menteri yang berganti-ganti? Kenapa pemimpin mau meneruskan pembangunan yang dirintis oleh pemimpin sebelumnya, dan kelak yang mendapat nama baik adalah pemimpin berikutnya? Apakah master plan pembangunan Borobodur tidak diamandemen oleh penguasa berikutnya? Seberapa matang karakter kepemimpinan pada waktu itu?
Silakan datang Laskar-laskar itu ke Borobudur asalkan untuk belajar. Borobudur tetap berdiri megah setelah 14 abad: sebutkan satu atau dua gedung di Jakarta atau kota manapun di Indonesia yang akan masih utuh 14 abad kelak? Tanyakan kepada sekian ratus ribu Arsitek tanah air, bersedia dan mampukah mereka kita biayai untuk membangun seri berikutnya dari Borobudur? Yang tak usah lebih megah dan kuat? Cukup menyamainya saja? Bisakah ditemukan satu saja perupa dari Indonesia atau seluruh dunia, yang mampu membikin satu relief saja yang sehidup, semutu dan serealistis yang terpampang di dinding-dinding Borobudur?
Tahukah Laskar-laskar itu bahwa Borobudur bukan Mal? Bukan bangunan yang dibiayai dengan uang untuk tujuan memperbesar dan memperluas perputaran uang? Tanyakan kepada setiap Presidenmu, semua Menterimu, seluruh anggota lembaga perwakilan rakyatmu: berapa kira-kira biaya yang diperlukan dengan standar keuangan saat ini — untuk membangun Borobudur? Andaikan uang Negaramu mencukupi, mungkinkah semua pihak yang memegang otoritas keuangan menyepakati bahwa anggaran sebesar itu digunakan untuk mendirikan Bangunan Nilai? Bangunan Spiritual? Bangunan Rohani?
Borobudur adalah satu dari tujuh keajaiban dunia. Selama kita menyelenggarakan NKRI tak satu hasil karya pun yang bisa kita banggakan kepada dunia, sekualitas dan seberwibawa Borobudur. NKRI sangat ditolong oleh nenek moyangnya, tanpa pernah menunjukkan apresiasinya terhadap tingginya peradaban nenek moyangnya. Kita hanya mengambil keuntungan dan gengsi dari Borobudur, tetapi tidak menghargai nilai-nilai peradaban manusia yang melahirkan Borobudur. Dan sekarang ada 185 Laskar dari seantero Negeri mau mengepung dan mengancam Borobudur? Siapa mereka ini? Besar amat kepala mereka?
Sudah pasti Kepolisian lokal dan regional menyerahkan hal tanggal 8 ini ke Mabes. Tidak berani menanggung risiko-risikonya. Apalagi tanggal 9-nya Jokowi datang. Tapi tiba-tiba malam itu saya ditelepon oleh salah seorang anak saya. “Masyaallah Cak, saya tidak menyangka ajakan saya untuk unjuk solidaritas kepada saudara-saudara kita di Rohingya, ternyata disambut besar-besaran. Saya tidak menyangka setinggi itu animonya dan seluas itu resonansinya…”, katanya, kemudian ia menjelaskan panjang lebar segala sesuatunya.
“Apakah kalian akan berdemo di Candi Borobudur?”, saya langsung desak.
“Tidak, Cak”, jawabnya.
“Apakah karena Rohingya kalian akan menyerbu Borobudur dan ummat Budha?”
“Siapa bilang Cak? Kalau mau menjahati Borobudur, kenapa nunggu Rohingya? Selama hidup kami tinggal di seputar Bodobudur, kami punya kesempatan puluhan tahun untuk merusak Borobudur. Tapi kami menjaganya. Merawatnya. Mengamankannya…”
Ya juga sih. Ummat Islam penduduk mayoritas di Magelang dan Kecamatan Borobudur. Mereka membuktikan bahwa merekalah pagar keamanan Borobudur. Bahkan sejak jauh sebelum ada NKRI. Saya berpikir untuk kasih Hadiah “Nobel” untuk Ummat Islam Magelang, khususnya Kecamatan Borobudur.
Kemudian dia kirimkan foto-foto mereka bersama Bhikkhu Sri Panavaro, juga teman-teman Walubi. Juga daftar 185 Laskar. “Kami semua sepakat dalam keprihatinan kemanusiaan atas situasi Rohingya, bukan permusuhan antar pemeluk Agama”.
Paginya, Pak Tito Karnavian langsung kirim utusan ke Yogya, dan langsung saya pertemukan dengan sejumlah Kumendam Laskar-laskar yang bertanggung jawab atas rencana gerakan itu. Pertemuan itu tentu saja tidak mengundang wartawan, apalagi divideo kemudian diusahakan memviralkannya.
Judul saya ubah menjadi “Rahmatan Lil’alamin Dari Borobudur”. Para Laskar, Kepolisian, semua perangkat Pemerintahan, dengan merangkul semua tokoh Ormas-ormas, tentu saja Bhikkhu Panavaro, teman Walubi dan semua — diaspirasikan untuk menjadi “Satu Tim NKRI” untuk menduniakan sikap tegas secara kebenaran, bijaksana secara politik dan santun secara budaya.
Bikin garis demarkasi untuk memastikan keamanan Candi Borobudur. Pusatkan semuanya di Masjid. Muatan Gerakan ini adalah Wirid, Shalawat, doa-doa Istighotsah. Dan satu-satunya output tekstualnya adalah Deklarasi tertulis yang rasional dan bijaksana. Mudah-mudahan semua masuk sorga bersama dengan semua yang dianiaya di Rohingya. Para laskar sejak awal menjamin: “Kami tidak makar, tidak melakukan teror dan tidak kriminal”.
Anak-anak muda ini memanifestasikan nurani kemanusiaannya dan bersedekah empati. Selebihnya, ini semua kita hidup di dunia yang mengaku modern, demokratis dan ber-hak asasi manusia. Ada organisasi dan manajemen di muka bumi ini untuk keamanan bersama. Ada PBB. Ada Dewan Keamanan Dunia. Ada OKI. Ada Negara-Negara Islam Timur Tengah yang kaya raya. Ada Pemerintah NKRI, Negara terbesar penduduk Muslimnya. Ada NU dan Muhammadiyah yang raksasa. Ada MUI. Mereka yang berkewajiban untuk menemukan kunci sejarah. Termasuk memojokkan Inggris untuk membuka dokumen-dokumen otentik tentang Myanmar. Supaya dunia tahu siapa sebenarnya warga Myanmar, dan siapa Rohingya ini sehingga dihardik dan dianiaya.
Indonesia adalah warga dunia. Rohingya tidak membuat Indonesia bertengkar di antara mereka. Rakyat jangan terlalu sakit jiwa terhadap Pemerintahnya, dan Pemerintah jangan parno dengan selalu memperlakukan rakyat sebagai musuhnya.
Demikian. Kalau ada gorengan di Medsos, kesepakatan Rahmatan Lil’alamin ini adalah korban yang digoreng, bukan yang menggoreng. Juga kalau ada penelusupan, penunggangan dan subversi — Satu TIM NKRI ini korban yang ditelusupi, ditunggangi dan disubversi. Bukan sebaliknya.
Terakhir, yang terutama saya tuliskan di sini adalah bukan siapa melakukan apa, siapa mengumumkan apa, siapa mengklaim jasa apa dan berupaya memviralkannya — melainkan kegembiraan rahmatan lil’alamin yang disepakati. (***)

Related Posts

1 of 3