NUSANTARANEWS.CO – Ulama atau juga biasa disebut kyai saat ini turun gunung. Tak lagi sendirian. Beberapa diantaranya bersatu dalam kelompok dan aliansi tertentu. Hiruk pikuk politik, tampaknya disikapi serius. Kondisi ini sangat menentukan nasib umat Islam ke depan.
Sayangnya, umat Islam yang menjadi mayoritas rakyat Indonesia, masih sebatas dimanfaatkan dalam sistem demokrasi. Pasalnya demokrasi tak mengenal etnis dan agama. Sebaliknya umat Islam yang memiliki sistem politik yang khas, pemahamannya tak lagi utuh. Kondisinya cenderung kabur dan berkamuflase.
Selang beberapa waktu ada dua peristiwa politik yang dialami ulama’ di Jawa Timur. Ada ulama’ yang menyerukan bahwa memilih Khofifah dalam Pilgub Jawa Timur Fardhu ‘Ain. Kemudian ada yang meresepon untuk menarik pernyataan tersebut.
Serta memberikan komentar bahwa politik itu urusan duniawi, jangan disamakan dengan urusan ibadah. Kedua, beberapa ulama’ mendatangi Polda Jawa Timur untuk melaporkan Megawati Soekarno Putri. Sebabnya pidato pada Januari 2017 yang ada potensi penghinaan pada agama.
Beberapa waktu yang lalu pun, ulama’ meresepon Perppu Ormas No.2 Tahun 2017. Mereka mendatangi Anggota DPRD hingga DPR RI. Ada pula yang melakukan aksi, demonstrasi, kajian, dan acara yang serupa. Sungguh tiga peristiwa di atas menunjukan bahwa ulama’ masih peduli dan hidup.
Lantas, bagaimanakah posisi ulama zaman now dalam pusaran politik? Akankah mereka mengikuti arus demokratisasi? Ataukah membuat arus sendiri? Inilah yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Islam Dipisahkan dari Politik?
Kemunculan pemisahan Islam dari politik begitu sistematis. Pasca kemunduran pemikiran umat Islam, akhirnya demokrasi dijadikan panutan. Padahal asal usul demokrasi tidak dari Islam. Landasannya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Berbicara demokrasi tak sekadar urusan musyawarah dan pencoblosan. Harus mulai dari akar dan sejarah kelahirannya.
Ada dua hal yang menyebabkan ide pemisahan politik dari Islam. Pertama, propaganda sekularisasi oleh Barat di dunia Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Wujudnya melalui ghazwul fikri yang diikuti ghazwul ‘askari dan ghazwu siyasi. Propaganda ini diopinikan dengan menjauhkan umat Islam dari sumber aslinya, qur’an dan as sunnah. Pun ada yang mengupayakan perpaduan antara Islam dan peradaban Barat.
Misalnya, syura dalam Islam itu identik dengan demokrasi, dan pandangan lainnya. Upaya itu pun disambut oleh sebagian umat Islam yang lantas menjadi perpanjangan tangan propaganda. Latar belakangnya bisa menjadi agen dan silau dengan kemajuan Barat. Pada saat yang sama terjangkit pandemic inveriority complex.
Kedua, ketiadaan gambaran yang jelas tentang Islam, khususnya sistem pemerintahan dan ekonomi. Bisa dikatakan kedua hal tersebut telah lama lenyap dari benak sebagaian besar umat Islam. Kondisi itu diperparah dengan keterlibatan langsung Barat dalam menyusun kurikulum pendidikan agama yang berlaku di sekolah maupun Perguruan Tinggi. Sering yang terjadi kajian agama Islam lebih ditekankan dalam memadukan Islam dengan ide selain Islam, serta memperlakukan Islam sebatas ritual dan moral.
Ditambah lagi dengan pemahaman politik demokrasi saat ini sebagai upaya urusan keduniawiaan. Perwujudan demokrasi sering ditampilkan dengan cara kotor, sadis, money politic, biaya mahal, dan perebutan kekuasaan.
Akibatnya para penguasa menjadi musuh rakyat. Negara hadir seolah menjadi penindas utama. Padahal jika dikaji lebih dalam Islam, politik yang diinginkan yakni berupa pengurusan urusan umat dengan aturan Allah Swt. Sungguh bertolak belakang politik Islam dengan demokrasi.
Arus Baru Ulama’
Ulama’ zaman now dalam berpolitik harus cerdas. Harus ada arus baru untuk mengikis propaganda negatif pada politik Islam. Selain cerdas secara politik juga dibarengi dengan kecerdasan pemahaman hukum. Kemampuan politik ulama’ perlu ditingkatkan dengan hanya berpegang teguh pada sumber Islam. Jangan sampai, ulama’ dimanfaatkan demi kepentingan sesaat partai atau aktor politik yang sengaja mempolitisasi ulama.
Perlu direnungkan pula pesan dari Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang mengklasifikasi ulama menjadi dua, yakni ulama dunia (su’) dan ulama akhirat. Ciri ulama’ dunia menjadikan ilmu untuk mendapatkan kenikmatan duniawi serta sebagai sarana memperoleh kemasyhuran dan popularitas. Sebaliknya, ulama akhirat menjadikan ilmu untuk semakin dekat dengan Allah dan meraih ridha-Nya. Serta mampu menuntun umat ke jalan haq dan kebenaran.
Jangan sampai dalam kepentingan politisasi Pilkada atau pemilu dalam pesta demokrasi, ulama kembali tersandera. Ulama’ sekadar dimanfaatkan pada masa kampanye dan pendulangan suara. Seolah ulama dan Islam sekadar bemper. Sebaliknya, tatkala menjadi pejabat, nasehat ulama’ dan koreksi rakyat diabaikan. Bukankah ini sudah jamak dalam sistem demokrasi?
Aktualisasi ulama’ telah digambarkan oleh Syaikh Ali bin Haj dalam Fashlul Kalam fil Muwajahaati Dzulmil Hukkam. Pertama, ulama yang memadukan ilmu dan amal. Dibuktikan dengan padunya ilmu yang dia kuasai dan aktifitas yang dilakukan. Kedua, selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat.
Oleh karena itu, harus ada arus baru ulama’ dalam percaturan politik. Begitu pun, ulama harus berdiri di garda terdepan dalam pembelaan umat akibat tidak diterapkannya syariah Islam. Upaya penyadaran dan pendidikan politik terus disemarakan, agar rakyat tahu mana air dan mana minyak. Arus ini harus pula ditopang dengan kemampuan berfikir dan bersikap politik. Serta mengetahui strategi lawan agar ulama tidak senantiasa dimanfaatkan dan dininabobokan. (*)
*Hanif Kristianto, penulis adalah Analis Politik dan Media.